Oleh: Suparto Wijoyo*
PEMILU 2019 ini kian beronak. Semula airnya sangat tenang walaupun dalam bejana bernegara yang sudah penuh gelombang. Para calon bergerilya sejak awal mula dengan berbagai pilihan partai yang menggeliat menunjukkan pesonanya. Caleg atupun capres-cawapres telah lama terkuras energinya untuk mengikuti tahapan-tahapan pemilihan demi meraih tampuk kekuasaan esok hari.
Baca Juga: Pengkhianat, Waktumu Sudah Habis
Betapa banyaknya orang tertarik dan dengan susah payah mereka mengeluarkan kemampuan agar rakyat menoleh kepadanya. Terlihat sudah bahwa kekuasaan itu amat menggoda dengan daya goda yang melebihi dari “harga tubuh artis” yang hari-hari ini terberitakan sedang membuat cuitan “menjemput rezeki awal tahun” di Surabaya.
Sebuah jemputan yang “salah rute” dengan menabrak norma-norma sosial yang dikukuhi oleh khalayak untuk tetap dijaga. Harga diri dipertaruhkan dengan lelehan tangis dan ungkapan maaf yang dilantunkan, itupun tidak akan mampu melunasi rasa kecewa penggemarnya. Kita menjadi tersentak atas transaksi yang begitu menggiurkan dengan “air suci mahkota” yang alirannya dirasa sangat memikat.
Tetapi apalah artinya itu apabila dibandingkan dengan syahwat politik yang telah lama membuncah di lubuk kaum politisi. Mereka sudah lama bertansaksi dengan biaya yang sangat melangit setarikan nafas munculnya istilah “politik berbiaya tinggi”. Begitulah demokrasi dipertontonkan sambil memanfaatkan media untuk memasang gambar-gambar perkenalan.
Baca Juga: Kejam dan Rakus, Pengusaha Sarang Burung Walet Rampok Rumah Pasangan Mau Kawin
Iklan-iklan layanan disorong tanpa batas imaji sebab yang dipentingkan adalah keterkenalan untuk selanjutkan keterpilihan. Guliran pemilu muncul selaksa parade citra diri sehingga setiap pelakunya senantiasa “swa foto” di manapun berada. Tidak peduli sedang berada di areal bencana atau kunjungan kerja ke kolega yang tengah “ngunduh mantu”, yang penting foto harus diambil dengan kilatan kamera yang tidak henti dalam menyilaukan pandangan.
Pemilu memanglah ajang kontestasi yang setiap pelakunya demikian gandrungnya. Caleg dan capres bersama parpolnya tida henti mengumbar mantra agar rakyat berkenan menepikan diri bersamanya. Untuk itulah visi-misi harus dipersiapkan guna diunggah ke ranah yang semestinya dengan konsekuensi setiap pemilih mengendapkan ingatannya tentang calon yang hendak dicoblosnya pada 17 April 2019.
Capres-cawapres digadang-gadang tampil prima dalam panggung yang dibiayai oleh negara melalui penyelenggara pemilu. Para kandidat didapuk terlebih dahulu untuk mengucapkan visi-misinya sebagai penanda paling orisinal dalam menakar “isi mimpi-mimpi” pemimpinnya lima tahun mendatang. Agenda demikian pastilah perlu dan penting artinya bagi pengembangan pribadi diri calon penguasa. Namun acara yang sudah direncanakan mengenai “pembunyian” visi-misi itu tidak jadi digelar oleh KPU, termasuk adai pun harus diwakilkan kepada Timses.
Baca Juga: Angka Vaksinasi: Jakarta 120 Persen, Surabaya 89,24 Persen, Jatim Kalahkan Jateng dan Jabar
Kondisi ini membuat rakyat meradang kecewa dengan badan kena demam demokrasi untuk menantiyang telah disinggahi. Rakyat tetap saja ingin menyaksikan capres-cawapresnya tampil dalam sesi visi-misi yang telah dijadwalkan sebelumnya oleh KPU. Bukan soal capres itu wajah lama atau tidak karena yang hendak dikata oleh petahana maupun sang penantang, yang sejatinya sama-sama petahana, sudah diintip oleh rakyat selama empat tahun terakhir ini. Rakyat berombak dalam kubangan untuk menepikan dirinya sebab acara visi-misi dianggap belum menjadi keputusan soal hidupnya.
Lagi pula “penyeletukan” visi-misi bisa saja digabung dalam arena Debat Capres 17 Januari 2019 nanti. Inilah alibi yang sangat argumentatif terhadap rakyat yang berkesabaran tertinggi. Pasti rakyat mampu mencegah dirinya dalam gerakan yang memberikan penilaian bahwa KPU sangat diketahui ke man arah posisinya. Pendulum organ KPU tampak dalam bidikan yang arah bandulumnya agak “menepi” kepada kandidat yang dielusnya, meski sangat samar. Untuk itulah KPU harus tetap menyemburatkan ruhaninya sebagai institusi penyelenggara pemilu yang independen, bila perlu nyaris merdeka tanpa bisa “disentuh” oleh siapapun.
Dalam lingkup itulah pandangan awam ke KPU menjadi semakin remang dengan urusan yang menyangkut kotak kardus dan mengenai tuduhan liar yang sesungguhnya orang sekadar bertanya seputaran kertas suara yang diviralkan berkontiner-kontiner dicoblos. Agar tidak semakin liar tentulah hal semacam ini musti dipungkasi KPU dengan membawa-bawa aparatur hukum untuk menindaklanjuti. Semua episode yang telah ramai diberitakan selama ini menyangkut KPU dan kini merembet ke para caleg, capres-cawapres dan calon anggota DPD. Entah berapa lama lagi isu-isu itu “menetas” tanpa pernafasan alias diakhiri?
Baca Juga: Tiga Tipe Ulama Era Jokowi: Oposan, Pragmatis, dan Idealis
Simak saja kisah-kisah pemilu ke depan dan kiranya tidak akan lepas dari kesadaran yang berkembang tentang perebutan kursi jabatan. Kekuasaan memang mengenal periodesasinya dan untuk itu ajaran demokrasi memberikan fasilitasi untuk mempertahankan ataupun merebutnya. Jadi pemilu itu masalah perebutan kekuasaan yang tersepakati dengan “slilit coblosan” yang diberi legitimasi suara mayoritas. Dengan pemilu berarti “kekuasaan” adalah tropi bergilir yang diperebutkan. Akankah pemilu 17 April 2019 itu menajdi ajang berkompetisi yang bermartabat ataukah akan menjadi forum perancangan yang tidak diharapkan? Mari menjadi pemilih waras, tidak hanya cerdas.
*Dr H Suparto Wijoyo: Esais, Pengajar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga serta Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News