Sumamburat: Multifungsi TNI Mengatasi Karhutla

Sumamburat: Multifungsi TNI Mengatasi Karhutla Suparto Wijoyo.

Oleh: Suparto Wijoyo*

BERBAGAI berita menyeruak dengan hentakan yang menggedor batin umat. Dari soal hasil Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Jabar, 27 Februari-1 Maret 2019 yang “memberi pelajaran hebat” bagi rakyat soal kafir, meski ada mengenai hukum haram dalam membuang sampah sembarangan. Ada pula soal sabu-sabu yang menderu di lubuk politisi dengan kerangka rehabilitasi. Belum lagi mengenai cuti petahana yang diusik, serta apresiasi atas penantang yang rela mundur dari jabatan kenegaraannya. Semua menarik dan akan semakin membuncah seiring perjalanan waktu yang terus merangsek ke arah tanggal 17 April 2019, saat coblosan tiba.

Baca Juga: Sumamburat: Pengumuman Saat Shalat Malam Itu Radikal

Dalam kosmologi itu biarlah berbagai-bagai pandangan terus mengalir, tetapi saya tetap akan menepikan diri dengan sebuah gerakan yang sampai hari ini ramai diulas, yaitu soal penolakan pengembalian TNI dalam jabatan-jabatan sipil. Ini dianggap sebagai bentuk reinkarnasi kehendak untuk memulihkan dwi fungsi ABRI zaman Orde Baru. Itu juga silakan didiskusikan di manapun dengan catatan khusus, saya akan memberikan ruang pemahaman bahwa TNI bukan hanya berfungsi ganda, tetapi sangat varian, terutama di kala ada bencana, termasuk di aspek lingkungan hidup.

Bacalah lembaran-lemaran pustaka yang memberitakan keterlibatan TNI untuk mengatasi karhutla di Riau. Begitu banyak judul berita tentang kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang mampu dihentikan karena peran TNI. Terkuaklah sikap responsif TNI terhadap realitas karhutla tempo hari yang tampak meluas. Peran TNI ini secara yuridis-ekologis sangat bermakna dalam penyelamatan ekosistem hutan. TNI sendiri mutlak terpanggil menjalankan fungsi operasional Satgas Karhutla. Pasukan TNI mampu bertindak fungsional mengatasi karhutla secara intensif.

Kemampuan TNI memadamkan karhutla sejatinya hendak menunjukkan sebuah fungsi nonmiliter yang selama ini memang diberikan mandat oleh UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. UU TNI mengatur tupoksi normatif operasi militer non perang dengan cara membantu kepolisian ataupun menanggulangi bencana alam, pengungsian, pemberian bantuan kemanusiaan, termasuk SAR (search and rescue). Peran fungsional mengatasi kerhutla merupakan bentuk multifungsi TNI di luar peran militer untuk perang.

Baca Juga: Sumamburat: Puasa Pembuka Hidayah?

Konstelasi ini sejatinya menepikan isu-isu seputaran kehendak melakukan “reinkarnasi” dwi fungsi TNI yang hari-hari ini ramai dibahas. Apa yang dilakukan TNI dalam Satgas Karhutla dan satgas-satgas kebencanaan, sesungguhnya lebih dari pengertian dwi fungsi TNI, karena TNI dalam konteks pertahanan nasional harus memiliki multifungsi (nonstruktural, terutama dalam menjalankan tugas-tugas ekologis menyelamatkan hutan.

Langkah dan posisi ini justru belum mendapatkan apresiasi secara layak kecuali sebatas “ragam curiga” bahwa TNI hendak keluar barak. Apabila TNI bergerak multifungsi dalam memproteksi hutan berarti mewujudkan benteng pertahanan yang sempurna. Hal ini mengingatkan saya pada sabda agung Raja Majapahit Prabu Hayam Wuruk dalam memberikan perlindungan hutan dan arti penting tentara. Dalam Pupuh 350 Kakawin Nagara Krtagama karya Mpu Prapanca (1365) dinyatakan: Apanikang pura len swawisaya kadi singha lawan gahana/Yan rusakang thani milwangakurangupajiwa tikang nagara/Yan taya bhrtya katon waya nika para nusa tekang reweka/Hetu nikan padha raksanapageha kalih phalaning mawuwus.

Pada lingkup inilah, saya tertegun kagum atas ungkapan tersebut yang berarti: negara dan desa diibaratkan seperti singa dengan hutan/apabila desa rusak, rusaklah negara karena kekurangan pangan/kalau tidak ada tentara yang kuat, pasti negara mudah diserang musuh/untuk itulah peliharalah keduanya. Sebuah pesan yang sangat fenomenal dalam peradaban ekologis antara pertahanan negara dan hutan. Membangun negara harus berpijak pada kepentingan eksosistem hutan, sehingga amatlah logis apabila TNI terpanggil mengatasi karhutla.

Baca Juga: Sumamburat: “Ana Shooimun”

Apalagi kebijakan menambah pasukan TNI dalam Satgas Karhutla itu didasari oleh pengkajian fundamental bahwa kerhutla memilki dampak buruk kepada lingkungan dan kemansiaan. Asap pekat karhutla berpotensi mengganggu aktivitas dan kesehatan masyarakat. Begitulah keterangan yang diberikan Mabes TNI dan saya mengamininya. Penerjunan anggota TNI diharapkan mampu menghentikan karhutla secara efektif sejalan dengan arahan Presiden dalam Rakornas Pengendalian Karhutla di Istana Negara awal tahun 2018 lalu: penegak hukum diperintahkan tidak ada kompromi terhadap perusahaan pelaku karhutla. Sebuah permintaan yang menampar keras pemangku otoritas hukum yang kerap naif menghadapi kasus karhutla yang “dipamerkan” berkelanjutan.

Tentu TNI semakin terpanggil dengan data dari Forest Watch Indonesia yang menyebutkan bahwa hutan alam Sumatera tersisa 11,4 juta hektar akibat alih fungsi hutan untuk tanaman industri, perkebunan, dan pertambangan. Diprediksi dalam 10 tahun ke depan, hutan Sumatera hanya tinggal 16% dari total luas pulau ini. Bukankah selama ini memang aneh, rezim silih berganti, mengapa karhutla tidak berhenti? Sampai kapan “siklus tahunan” karhutla enyah dari negeri ini?

Terhadap kasus karhutla, secara yuridis dapat diterapkan tiga jerat hukum. Pertama, aspek administratif yang dilakukan dengan pengawasan dan penerapan sanksi. Apabila suatu wilayah mengalami karhutla, hal itu menandakan betapa lemahnya kinerja pengawasan instansi birokrasi KLHK. Organisasi pemerintahan menjadi pihak yang dapat diminta pertanggungjawaban hukum atas berkobarnya karhutla. Pejabat pengawas yang tidak melakukan tugasnya secara profesional, dapat dipidana.

Baca Juga: Sumamburat: TKA yang Mengganggu Kertanegara

Kedua adalah aspek kepidanaan terhadap pelaku karhutla. Korporasi menjadi prioritas penanganan karhutla sejurus dikeluarkannya PERMA No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. Pertanggungjawaban pidana lingkungan memang dapat dibebankan kepada perseorangan (natuurlijke persoon) atau badan hukum (rechtspersoon). Pertanggungjawaban pidana terhadap pengurus atau pimpinan ini jugadiatur di USA. Pasal 51UU Pidana Belanda (Stb. 1998 No. 35) pun memuat sanksi dan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi.

Jerat hukum ketiga berupa gugatan atas kerugian yang dialami korban karhutla dengan landasan konstitusional Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28 Piagam Hak Asasi Manusia (Tap. MPR‑RI No. XVII/MPR/1998). Gugatan lingkungan dapat dilakukan oleh perseorangan, kelompok masyarakat (class action), LSM, bahkan pemerintah atas kerugian yang disebabkan karhutla. Langkah ini dikonstruksi semakin kuat dengan dwi fungsi, eh “multifungsi TNI” yang berjiwa ekologis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO