Oleh: Suparto Wijoyo *
SEMARAK Peringatan Hari Buruh setiap tahunnya, termasuk 1 Mei 2019 ini, terpotret tetap membisikkan kerisauan. Apabila kekuasaan merasa nyaman dengan fenomena tenaga kerja asing (TKA) berarti perlu disemat lebih dalam tentang kelindan keberpihakannya terhadap kondisi buruh yang terus saja berlusuh-lusuh. Mereka merasakan adanya kegetiran yang mengaduk-aduk batin warga secara luas, sebelum akhirnya pasrah dalam kepiluan yang menghujam di ruang publik ketenagakerjaan. Bukalah kembali lembar-lembar koran sepanjang “periode ini”, akan terketemukan berita yang menyesak dada: tukang angkut batu bata, semen alias kuli bangunan saja impor.
Baca Juga: Pengkhianat, Waktumu Sudah Habis
Sungguh itu adalah sebuah fakta yang menimbulkan pesan betapa lemahnya pengawasan aparatur negara. Otoritas negara seolah menjadi ciut nyali dan tidak berdaya membendung arus deras TKA yang menyaru sebagai wisatawan. Bahkan ada PSK dan terapis pijat asal Tiongkok turut mengalir menyemarakkan gelombang “impor manusia” dalam ukuran yang melebihi batas-batas “demarkasi ketenangan sosial”. Regulasi ketenagakerjaan diakali dengan terang dan TKA impor dijunjung atas nama investasi dengan mengabaikan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menormakan hak rakyat untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Bukankah jutaan warga pemilik kedaulatan dan pemberi suara dalam pemilu, masih banyak menganggur untuk dapat dientas oleh negara?
Terhadap kondisi ini, demi bergeloranya sumamburat kenegaraan, saya teringat tentang apa yang pernah terhelat di Nusantara pada era kepemimpinan Singhasari di tangan Sri Maharaja Sri Lokawijaya Purusottama Wira Asta Basudewadhipa Aniwariwiryanindita Parakrama Murddhaja Namottunggadewa alias Kertanagara (1268-1292). Singhasari selama 24 tahun menjulang menjadi imperium melalui rencana pembangunan semesta dengan pola menyatukan nusantara. Kertanagara memahami posisi strategis pulau-pulau untuk dirangkai secara geopolitik dalam persemakmuran nusantara (United of Nusantara). 1275 “sidang kabinet” memutuskan untuk melakukan Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin “Jendral” Kebo Anabrang. Ekspedisi ini merupakan ekspansi teritorial yang didasarkan atas komitmen persekutuan untuk menguasai jalur ekonomi dan hankam di Selat Malaka. Jambi, Pahang, Gurun dan Bakulapura serta Melayu bergabung total tahun 1282 sejurus waktu “keputusan istana” menggelar Ekspedisi Pabali, di mana Bali terintegrasi. Kedua ekspedisi ini menyentak Kubilai Khan, pemegang tampuk kekuasaan Mongol dari Dinasti Yuan (1280-1367). Pengaruh Tiongkok di Asia terbendung sempurna oleh Kertanagara.
Kubilai Khan murka merasa tersinggung atas bersatunya nusantara hingga mengeluarkan “maklumat tertulis” yang dibawa Meng Khi tahun 1289-1290 dengan diktum utama agar Kertanagara tunduk. Kertanagara berdiri heroik menolak tunduk sambil “menampar keras wajah sang duta” untuk dikenang sampai di daratan Tiongkok. Peristiwa ini menjadi lonceng peperangan antara Kubilai Khan dengan Kertanagara. Pada 1293, 20.000 tentara asal Hokkian, Kiangsi dan Hukuang yang dikomandani Shih-pi, Kau Hsing dan Ike Mese mendarat di Tuban untuk selanjutnya menyerbu melalui rute Kali Sedayu maupun Kalimas.
Baca Juga: Bedah Buku di Pascasarjana Unair, Prof Badri Sebut Kiai Asep Miliki Modal Psikologis HERO Luthans
Kita menyaksikan bahwa Kertanagara pada kisah historisnya tidak bersimbah darah oleh pasukan Tiongkok tetapi ditikam dari belakang dalam sengkarut politik internal 1292. Jayakatwang, Adipati Gelang-gelang yang kemudian menjadi Raja Kediri itu adalah sepupu, ipar sekaligus besan Kertanagara sendiri. Dia tega memberontak justru dikala penyatuan nusantara. Pemberontakan ini tidak lepas dari konstalasi yang mewarnai mutasi jabatan di Singhasari saat itu. Beragam Kidung, Prasasti, dan ribuan lembar literatur dapat dirujuk bahwa ternyata “urusan jabatan birokrasi” dapat menghancurkan negara. Aria Wiraraja yang semula menduduki posisi ring satu di Istana Singhasari terlempar ke Sumenep dan melakonkan kepiawaiannya membangun relasi diplomatik dengan Mongol maupun Raja Kediri. Terbunuhnya Kertanegara diikuti permainan panggung Aria Wiraraja yang sangat menarik dengan melakukan “penebusan dosa” memberi jalan lahirnya Majapahit dan menjadi panitia pelantikan Raden Wijaya, menantu Kertanagara sebagai raja pada 10 November 1293.
Pergolakan selalu menyertai tatanan rezim di nusantara dan melibatkan orang dalam yang menguasai jaringan TKA. Banyak buku dan artefak menuturkan kalau Kertanagara memang menjalin hubungan internasional dengan banyak negara. TKA juga dihadirkan termasuk dari daratan Tiongkok. TKA asal Thai, Momoki Sato, Champa (kini Vietnam) menjadi tukang pijat favorit di Istana Singhasari. Sementara itu Champa (Lin Yi) sejak abad ke-2 berorientasi ke China dan berotasi ke Singhapura yang abad ke-3 masuk wilayah Desa Tra Kieu.
Membanjirnya pekerja Champa dan Mongol di Singhasari ternyata mengancam tatanan sosial konfederasi Singhasari. Nusantara yang dikonstruksi melalui Eskspedisi Pamalayu dan Ekspedisi Pabali dirong-rong ke arah disintegrasi. Situasi diakhir abad ke-12 dan awal abad ke-13 itu menyerupai dinamika kekuasaan Republik ini di abad ke-21. Membanjirnya TKA terutama asal Tiongkok mustinya menyadarkan stakeholders dalam mendesain pola dan prioritas investasi. Setiap tahun sekarang ini seluruh daerah atas nama UU Pemda melakukan penyegaran organisasi perangkat daerah. Di tengah gonjang-ganjing mutasi jabatan, dan penerimaan CPNS, TKA nylonong memanfaatkan lemahnya hukum yang nyaris tidak memberikan proteksi kepada warga negaranya dalam menghadapi serbuan TKA. Kebijakan pembangunan yang ramah investor jangan sampai melahirkan predator kehidupan berbangsa.
Baca Juga: Kejam dan Rakus, Pengusaha Sarang Burung Walet Rampok Rumah Pasangan Mau Kawin
Negara dengan aparaturnya diadakan bukan dalam tupoksi tanpa misi, melainkan dengan berlandaskan “sense of national mission”. Ini menyangkut soal hajat hidup yang menentukan kedaulatan negara. Saat ini harus menjadi momen melakukan rekonstruksi arah pembangunan nasional yang memberlakukan investor dalam kerangka OBOR China berlebihan. Kepala daerah tahu persis bagaimana lahan di daerahnya “dilepas” atas nama “menjamu pemodal” yang kerap memancing konflik. Kisah Kertanagara adalah sebuah memorabilia untuk berbenah.
*Dr. H. Suparto Wijoyo, Coordinator of Law and Development Master Program Post Graduate School Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News