Oleh: Suparto Wijoyo*
PEMILU 17 April 2019 terus menyiratkan geliat yang sangat mengkhawatirkan. Pedih perih dirasa sebagian khalayak yang telah dengan sungguh-sungguh mendharmabaktikan suaranya pada saat coblosan. Kegembiraan para tetangga dan kolega yang bertegur sapa di TPS masih saya kenang sebagai bentuk kemenangan demokrasi di Indonesia. Cengkerama indah meski beda pilihan sudah lumrah dan saya menyaksikan keindahan berdemokrasi.
Baca Juga: Pengkhianat, Waktumu Sudah Habis
Suara terbanyak menjadi kunci dan untuk itulah pemimpin dipilih agar memiliki legitimasi yang kuat. Situasinya amat terasa betapa kedewasaan mengendap dalam jiwa-jiwa rakyat yang sudah sangat paham arti pemilu dengan asasnya luber nan jurdil. Kata jujur dan adil adalah pijakan paling hakiki dalam menghormati kedaulatan rakyat. Begitulah hukum pemilu ditetapkan dan KPU serta Bawaslu menyelenggarakan hajatan yang menandakan bahwa mandatharus disemat dari kehendak mayoritas rakyat.
Sampai pada tahapan itulah pemilu sangat pantas diacungi jempol dengan apresiasi masyarakat internasional. Puja puji didapat sebagai legenda kinerja negara. Pemerintah berikut aparatur keamanan negara tanggap atas semuanya hingga terus mengambil ancang-ancang siaga satu. Demikianlah yang dirasakan oleh jiwa-jiwa teguh mengawal helatan kadaulatan yang paling kuat dalam menentukan arah kepemimpinan nasional. Kondisi siaga satu tersebut bergulir dan satuan-satuan pengamanan ditarik ke Ibu Kota untuk mengantisipasi jalannya roda demokrasi. Mengapa semua itu terjadi?
Saya menanyai Mispon sebagai kolega yang biasanya sangat paham tentang “sesuatu di balik peristiwa”. Dia ceritakan tentang hari-hari pasca coblosan. Perhitungan yang melelahkan hingga para petugas ada yang wafat atas nama demokrasi. Itulah pengorbanan yang begitu tinggi.
Baca Juga: Kejam dan Rakus, Pengusaha Sarang Burung Walet Rampok Rumah Pasangan Mau Kawin
Tetapi semua juga tahu bagaimana perhitungan itu terjadi dengan hitung cepat yang sangat vulgar mengganti angka-angka yang dapat diikuti Mispon dan kawan-kawan. Rakyat kebanyakan mengerti bahwa angka-angka itu ditukar tanpa ada narasi penjelasan atas nama sains yang dikukuhi sangat metodologis. Pelaku pencoblosan “mandiri” di TPS semacam memiliki “kemerdekaan pribadi” untuk mengarahkan coblosan atas pasangan capres-cawapres tertentu.
Institusi spesial bahkan sudah jauh-jauh hari “menggiring” agar rakyat memilih sosok tertentu dan mengabaikan sisi lainnya. Apa boleh? Kalau ormas yang berafiliasi kepada paslon tertentu silakan saja. Tetapi ini adalah soal sikap yang mengikuti induknya yang paling “bebas menikmati layanan fasilitas negara” meski dia sendiri sedang mencalonkan. Akhirnya kabar antara calon dan penguasa tidak dapat imun kritik terhadapnya. Sampai di sini rakyat tetap memendamkan “harga diri” yang dilecehkan.
Konsidinya semakin menaik meski belum memuncak. Perhitungan dan coblosan ada yang kentara “berakalnya”. Ada petugas mewakili pemilih dengan probabilitas dalih “mempercepat proses” agar tidak lama-lama di bilik suara. Begitu kira-kira yang saya bayangkan. Lantas entri suara menjadi sangat barbar. Antara data C1 dan yang ditayangkan tidaklah sama, serta material pemilu yang bersemliwer seakan menantang: inilah aku yang sedang berkuasa? Kau mau apa?
Baca Juga: Angka Vaksinasi: Jakarta 120 Persen, Surabaya 89,24 Persen, Jatim Kalahkan Jateng dan Jabar
Lantas, kata kecurangan dan kehendak untuk menang menjadi tidak terbantahkan meski tidak dibicarakan. Pemeo biar curang asal menang dikukuhi dengan “cinta kursi” karena sekarang ini siapa yang “jujur akan hancur”. Begitu kata Mispon yang selanjutnya tetap bersuara bahwa kejujuran lah yang pada puncaknya akan menang dengan dalih abadi yang dipahami bahwa yang “curang jadi arang dan yang jujur pastilah mujur.
Sampai di sini, saya terus memantau dan sedikit memahami atas deklarasi-deklarasi yang beruntun karena memang pertarungan masih tetap berlangsung. Tetapi dunia medsos yang bisa diverifikasi tetap membuncahkan curiga bahwa ada “pembengkakan suara” yang sangat kentara. Atas itu semua, adakah rakyat disuruh bungkan atas nama perdamaian demi tampilan luar yang indah-indah. Kalaulah kebijakan itu disikapi sebagai bentuk ketertundukan kepada kecurangan dan membiarkan ketidakpatutan itu bergerilya, ini menjadi penanda lahirnya sinyal-sinyal bangsa yang memiliki bibit ketidakmampuan bertanggung jawab atas dirinya.
Siapa yang curang, siapa yang menginput data secara salah dengan konsisten, siapa yang melakukan “parade amplop”, siapa yang punya kuasa memaksakan kehendak untuk menang dengan segala cara. Biarlah arah zaman menuntunkan ke dalam pertanggungjawaban hukum. Hukum pemilu mengatur semua itu dalam norma yang dapat dibaca dalam UU Pemilu.
Baca Juga: Tiga Tipe Ulama Era Jokowi: Oposan, Pragmatis, dan Idealis
Kini semua orang yang merasa hak berdaulatnya dilecehkan dengan “data yang diinput” dengan dusta sedang meradangkan gelora. Terhadap hal ini janganlah dilawan dengan mengobarkan kekuatan yang seakan menghentak. Siaga satu itu mestinya untuk menindak yang berbuat inkonstitusional yaitu memasukkan data yang tidak sesuai dengan yang sejatinya. Mencoblos sendiri berpuluh kertas suara adalah tindakan melanggar hukum pemilu dan secara demokrasi telah melecehkan kedaulatan rakyat.
Dalam posisi itulah saya setuju berada dalam siaga satu untuk mengatasi berbuatan melanggar huukm pemilu. Bukan siaga satau untuk menghadapi pihak yang menunjukkan adanya kecurangan dengan mendistorsi bahwa akibat ulahmu kecurangan itu terketahui dan menimbulkan kegaduhan. Apabila itu yang dirasakan, maka kita mengalami tahapan baru utnuk menambah ciri khas orang Indonesia sebagaimana dilansir Mochtar Lubis dalam Ceramah pada tanggal 6 April 2019 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta dengan judul Manusia Indonesia.
Dalam pidato itu diuraikan enam sifat manusia Indonesia: munafik atau hipokrit yang menampilkan dan menyuburkan asal bapak senang, enggan bertanggungjawab, bersikap feudal, percaya takhayul, artistik, dan lemah watak atau karakternya. Adakah kini bertambah secara terang “dapat berdamai dengan kecurangan”. Orang kampus tugasnya tetap saja, yaitu berkatalah yang benar dalam menjaga marwah moral dan intelektual.
Baca Juga: Buzzer, Radikalis Kristen vs Radikalis Islam
Di lingkup inilah saya membaca kembalai tulisan Michel Foucault yang berjudul Prrhesiapada tanggal 10 Oktober 1983. Marilah kita semua Berani Berkata Benar (2018). Titik tekannya adalah di zaman sekarang ini, tidak bisa lagi kita harus bertindak sesuka-suka hingga kami rakyat membiarkan berbuatan “suka-suka kamu”. Jujurlah dan berdemokrasilah yang jurdil. Pada lingkup ini langit-langit negara selalu menorehkan berita demokrasi yang membuat jutaan rakyat memasuki etape sorak-sorak nestapa, bukan sorak-sorak bergembira, sebuah sorakan massa “setimpal” dari yang terlontar kepada sang pencari kuasa.
*Dr. H. Suparto Wijoyo, Coordinator of Law and Development Master Program Post Graduate School Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News