Oleh: Suparto Wijoyo*
KORUPSI terus saja terjadi tanpa pernah basi. Para capres bersuara lantang antikorupsi meski dengan cara yang penuh tanda tanya. Peserta koalisi banyak dibidik meski di sisi lain ada yang hendak memberikan pengampunan atas pertobatan koruptor. Selaksa sebuah virus, korupsi memang menjalar di ragam partai maupun kementerian. Baru-baru ini ada suguhan berpuluh miliar dana korupsi dengan berbagai jenis mata uang di lorong-lorong kebijakan Kementerian PUPR.
Baca Juga: Sumamburat: Pengumuman Saat Shalat Malam Itu Radikal
Sebelumnya KPK telah memendarkan energi kedigdayaannya dalam memproteksi kepentingan demokrasi agar pemilu 17 April 2019 terbebas dari praktik brutal korupsi kaum politisi. OTT terhadap anggota DPR-RI dari Partai Golkar (28/3) maupun PPP (15/3) itu semakin menambah deret statistikal para legislator yang terjerembap di “kubangan anyir” korupsi: 998 kasus sejak 2004-2018. Di tahun 2018 saja 103 anggota DPR dan DPRD terciduk, serta para profesional selain BUMN, pun tergoda bertindak korup sebanyak 238. Dari 2009-2019 tercatat 15 Gubernur dan 87 Walikota/Bupati maupun Wakilnya yang terjaring lembaga antirasuah.
Suatu realitas telanjang yang menggoreskan luka teramat perih dirasa pada saat bangsa ini bergairah menyambut “festival politik lima tahunan”. Komitmen para capres memberantas korupsi tampak ditenggelamkan oleh berita korupsi, mulai yang recehan sampai gelondongan Rp 5,8 triliun yang melibatkan Bupati Kotawaringin Timur, Supian Hadi, saat menjabat periode 2010-2015.
Jumlah lembar rupiah itu ditambah dengan 82 kardus dan 400 ribu amplop yang tersita KPK membawa imajinasi saya ke tahun 1766 saat John Spilsbury menciptakan jigsaw puzzle. Dia lukis peta wilayah dalam sebuah kayu untuk selanjutnya dipotong-potong guna menderaskan pikiran agar mampu menyusunnya secara logik. Bahkan lebih tua lagi dalam legenda Dewa Tan 4000 tahun lalu, di Cina yang mengkreasi permainan dengan 700 balok yang dikonstruksi kembali di tahun 1815 bernama Tangram Puzzle. Melalui 700 kepingan balok ini saja sebuah teka-teki menjadi mustahil dipecahkan, apalagi dengan 400 ribu amplop dan 82 kardus - yang menambah jenis puzzle baru berupa puzzle amplop. Amplop-amplop itu sejatinya tidak sekadar berisikan pecahan rupiah untuk serangan fajar menjelang jam dimulainya coblosan, tetapi ada narasi esensial berupa niat jahat berkorupsi.
Baca Juga: Sumamburat: Puasa Pembuka Hidayah?
Memang konsepsi kejahatan selalu memadukan antara niat dan kesempatan dalam kerangkausur ekspresif actus reus (physical element) serta mens rea (fault element). Elemen mental (mental element) acapkali mengkristal dalam “niat tertinggi” untuk hebat atau jahat secara personal. Meminjam terminologi dalam ajaran Manunggaling Kawula-Gusti ala Syekh Siti Jenar (1404-1517) yang mendiskripsikan puncak niat teragung nan sempurna manusia untuk manunggal (kebaikan) itu dengan menggunakan kata “ingsun”. Sebuah kata yang merefleksikan kedalaman jiwa dan menunjukkan supremasi keluhuran subyeknya. Kosmologi atas “puzzle amplop” yang dapat disusun membentuk gedung DPR itu adalah “mangkuk rindu kepalsuan” anggota parlemen kepada konstituen.
Itulah kiriman cinta yang menebarkan celaka dan mengajarkan serakah dari “amplop niat ingsun korupsi” gerombolan politikus. Kalaulah engkau menemukannya maka pungkasilah dengan merobeknya agar tidak ada lagi yang main-main dengan daulat rakyat. Sungguh, kejadian yang melibatkan mereka merupakan fenomena brandalan yang menjadikan demokrasi sebagai ajang menginstitusikan pesta besar “madu beracun” yang bernama korupsi. Kisahnya serupa dengan cerita hidup yang dituang David Albahari, Cerpenis asal Serbia dalam karyanya Trash is Better, Cinta Semanis Racun (2016). Saya terpana diam-diam sambil menyelami maknanya bahwa korupsi memang “semanis racun”. Inilah kasmaran harta yang menyengsarakan pada akhirnya.
Apa yang dapat diteladani dari pejabat negara yang mengalami “sampar” korupsi? Tidak ada kecuali merendahkan kehormatan rakyat. Uang rakyat itu didistribusi secara proporsional olehnya dengan penempuh jalan politik. Dalam lingkup demikian, benarlah apa yang diungkapkan Arnold J. Heidenheimer dan Michael Johnston dalam bukunya Political Corruption (2009) yang menganalisis kedudukan finansial partai politik, sistem kampanye dan kompetisi politik yang tergiring memasuki lahan politik yang bernama korupsi. Ingatlah pula torehan Pramoedya Ananta Toer sejak 1957 melalui novel Korupsi, bahwa korupsi telah bergerak dari urusan moral individual menjadi masalah sosial politik, fenomena yang membudaya.
Baca Juga: Sumamburat: “Ana Shooimun”
Kondisi itu pastilah menambah kelam eksistensi Republik yang meneguhkan diri sebagai negara hukum. Parlemen dan pemerintah adalah pembentuk hukum (rechtsvorming) yang menelurkan undang-undang. Konsekuensi terjauh dalam relasi legislatif dan eksekutif yang berlaku koruptif adalah hadirnya regulasi yang disusun dengan sekongkol uang haram. Rancangan pasal-pasal hukum memuai menjadi pasar-pasar yang menata struktur anggaran berbagai proyek pemerintahan yang dibungkus dalam APBN/APBD. Prahara korupsi di parlemen dan birokrasi dapat memburamkan warna asli tugas pejabat publik.
Akhirnya, tulisan ini dianggitkan sebagai dukungan akademik terhadap KPK untuk mengusut tuntas korupsi pelaku politik. Sang intelektual berperan menjadi suluh moral dan keilmuan dalam mengelola semangat khalayak membentengi KPK senafas amanat tri dharma perguruan tinggi. Nalar kejujuran berkata agar kejahatan korupsi tidak diproteksi. Atas kondisi ini saya menyelami novel A Confession karya Leo Tolstoy yang terbit 1882 yang merilis: “Menjadi jelas untuk mengatakan, di ruang dan waktu tanpa batas, semuanya berkembang menjadi lebih sempurna dan semakin sempurna adalah berbeda”. Ya berbeda antara politisi yang korupsi dan yang mengabdi. Selebihnya saya melanjutkan membaca buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (661-728 H) yang berjudul Tazkiyatun Nafs yang membekali penyucian jiwa agar hidup mulia nata niat: niat ingsun antikorupsi.
*Dr. H. Suparto Wijoyo, Coordinator of Law and Development Master Program, Post Graduate School Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga
Baca Juga: Sumamburat: TKA yang Mengganggu Kertanegara
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News