Sumamburat: Baju Putih atau yang Berdasi?

Sumamburat: Baju Putih atau yang Berdasi? Suparto Wijoyo.

Oleh: Suparto Wijoyo*

RABU 17 April 2019 telah beranjak dari gawe demokrasi yang amat besar bagi Republik ini. Pemilu untuk memilih capres-cawapres, caleg DPR RI maupun DPRD dan insan DPD bagi kepentingan kepemimpinan lima tahun mendatang telah usai. Tetapi yang selesai adalah coblosannya karena makna perhitungan serta rekapitulasi suara terus melaju dalam tahapan yang sejatinya menyiratkan banyak problema. Gemuruh kekisruhan coblosan di luar negeri sudah tersiarkan dan aroma kecurangan terendus tanpa dapat dibantah kecuali dihilangkan termasuk soal DPT ”illegal” 17.5 juta suara yang lama diprotes sebagian kontenstan. Luber dan jurdil menjadi tanda tanya semata.

Baca Juga: Pengkhianat, Waktumu Sudah Habis

Kini semua penonton dipersilakan mengelus dada atas ulah pemegang otoritas yang begitu kentara jumawahnya. Pemilu inipun dirasa paling menghentak kesadaran dan memobilisasi kenyataan betapa aparatur negara turut masuk dalam politik praktis yang sedemikian vulgar. Tetapi itu selalu dibantah bahwa yang terlihat hanyalah sekadar ”adu kuat tahan nafas” belaka. Usai pengumuman pemenang oleh KPU akan berlangsung seperti sedia kala, kehidupan pastilah kembali normal, wajar dan seruan didengungkan ”berdamai dengan pemain utama akal-akalan”. Permainan dapat ditoleransi mengingat keriuhan harus dipungkasi. Begitukah?

Begitulah yang terdengar dan tergambar dari narasi sosial yang acapkali terhelat. Kedaulatan rakyat sejujurnya hanya tampak pada saat coblosan sehingga atas gerakan mencoblos itulah terdapat konsekuensi betapa ”daulat rakyat terus diarak”. Daulat itu diarak dari tempat-tempat tersembunyi dalam jiwa manusia yang terus dimunculkan dalam sempitnya bilik suara di TPS untuk pada akhirnya memanggungkan peraih suara terbanyak agar singgah menggapai tahta.

Untuk itulah, ketertundukan dan simpuh hormat selalu kuhantarkan kepada para mereka yang selam ini “mendadar” diriku. Dari beliau-beliau itulah saya mendapatkan pengajaran dan teladan menyeru hikmah. Belajar bersesuci dengan air suci yang menyucikan maupun urusan-urusan fiqih seperti diterangkan Imam Al-Ghazali dalam kitab induknya Ihya Ulumiddin yang tak elok dilupakan. Puluhan kitab Sang Imam kelahiran Kota Thus, Khurasan tahun 450 Hijriyah ini memang menjadi rujukan yang senantiasa diwarnakan kepadaku.

Baca Juga: Kejam dan Rakus, Pengusaha Sarang Burung Walet Rampok Rumah Pasangan Mau Kawin

Hari ini petinggi agama yang tinggal di pedesaan sampai dengan perkotaan yang dipenuhi gedung-gedung angkuh menjulang menyapa angkasa tetaplah ada dalam poros meneduhkan jamaahnya. Beragam pilihan dilintasi para kiai tanpa jeda meski sesekali fitnah membubung dari setiap jejak langkahnya. Kiai memanggul pesona dan menuang kehangatan dengan martabat dan keluhuran budinya senafas fungsi utamanya “sebagai pewaris para nabi” sebagaimana hadits yang diriwayatkan At-Tirmidzi. Semua santri paham betul mengenai kiai selaku pengemban ilmu alias ulama “penyambung suara umat” Nabi.

Dalam tingkat ini saya sangat mengerti mengapa dahulu guru-guru, modin di langgar kampung sangat keras mengajari mengaji dan tata cara berwudhu serta shalat. Melalui cara hidup bersih itulah harum diri rakyat menyerbak ke suluruh relung kehidupan. Maka pelajaran kiai kepada rakyatnya sangat menentukan kualitas hidup tetapi sering diabaikan melalui propaganda “operasi disfungsional ulama” agar menepi dari jalannya negara. Kiai berpuluh tahun digiring menghindari “kandang” urusan pemerintahan.

Cukuplah kiai itu berkiprah di mushollah-langgar-surau dan masjid, itupun dengan “pendampingan” demi “ketertiban umum”. Dewan masjid musti diisi oleh pejabat-pejabat “cucuk lampah” agar semua ada dalam “bincangan kelompencapir yang nyinyirnya senada”. Kenapa “petinggi super RT” harus melirik jabatan “dewan langgar nasional”? Terhadap hal ini jangan keburu curigai sebab mereka sejatinya ingin menghirup segarnya wangi kaum cendekia. Orang mau sobho masjid kok diviralkan selaksa “dewan mushollah” ini untuk mengantisipasi hasil pilpres 2019 yang banyak kejutan atasnya. Ojok curiga kepada kelana imaji “rakyat berdaulat”.

Baca Juga: Angka Vaksinasi: Jakarta 120 Persen, Surabaya 89,24 Persen, Jatim Kalahkan Jateng dan Jabar

Ah… ojo nggumunan lan ojok kaguman atas kasunyatan hari-hari ini bilamana daulat rakyat menjadi lambang kekuasaan. Walau untuk merebut jabatan di kursi yang menunjukkan tahtah terhebat harus diberi “sajadah keagamaan” guna meraih rekomendasi partai. Kekuasaan itu memang mempesona dan kiai tidaklah haram turut terlibat menentukan siapa jago yang digadang-gadang menang demi kokohnya agama, bukan yang menista-nista iman. Di lingkup inilah aroma suara rakyat tidak hanya di karpet musholla yang lusuh. Wangi “jamaah rakyat” harus disemerbakkan ke seantero ruang pemilu dengan risiko nyaringnya teriakan para “hulubalang kuasa” produk fase sejarah yang pernah mengajarkan “jangan berpolitik terlalu berlebihan”.

Bagaimana rakyat tidak boleh melakukan gerakan politik sementara kedudukan daulat rakyat sendiri adalah politik? Bahkan perlu diketahui bahwa menentukan wudhu dan tayamum saja memasuki wilayah birokrasi karena menyangkut bersesucinya kepala negara yang masuk rumah paling mulia. Memang terkadang saya sendiri tercengan dengan kemantapan ucap seseorang yang sudah tamat semua jenjang pendidikan yang berujar kencang: tidak ada tradisi negara dalam Islam atau Islam tidak mengajarkan tata cara bernegara. Kawan saya yang tinggal di pinggiran kota ini membuat saya bersenyum dengan bisiknya: “Cak, iku wong pinter opo wong keblinger”. Islam tidak “merawikan tradisi bernegara”, iku ngomong, opo kora-kora. Kata pembaca setia Sumamburat asal ndeso.

Pada saat Kanjeng Nabi Muhammad saw di Madinah dengan Piagam Madinah (622) sambil berkirim surat ke raja-raja sekitar, itu statusnya sebagai Nabi apa sebagai Kepala Negara? Dan Madinah saat sugengnya Kanjeng Nabi saw itu, dipresideni sopo yo? Sewaktu khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq (632-634), Umar Ibnul-Khaththab (634-643), Utsman Bin Affan (644-656), termasuk Ali Bin Abi Thalib (656-661), apa sejatinya beliau itu hanya “takmir masjid Nabawi” dan ada “presidennya sendiri” selain beliau ya?

Baca Juga: Tiga Tipe Ulama Era Jokowi: Oposan, Pragmatis, dan Idealis

Ah … omongan ahistoris tidak usah dibincangpanjangkan kata teman ini, anggap saja hanya ingin dianggap paling nasionalis di negeri ini “orang tega jadi rayap agamanya” . Amboi, mau menjadi nasionalis tidak perlu “menggerhanai agama” dengan ujaran “Islam tak pernah mentradisikan hidup bernegara”? Nyuwun sewu njih, panjenengan harus terpanggil mengawal jalannya pemilu ini, dan terimalah semua paslon yang kini sedang menanti takdir sejati meski sudah terang di pendulum mana rakyat berposisi: di baju putih atau yang berdasi. Sabarlah menanti sebentar lagi karena kedaulatan sedang diarak untuk sampai di puncak supremasi.

*Dr. H. Suparto Wijoyo, Penulis Esais, Akademisi Fakultas Hukum, dan Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO