Oleh: Yogi Indra Pratama, ST.,MT.*
Istilah golput atau golongan putih pertama kali muncul pada tahun 1971. Pada masa itu, golput merupakan suatu bentuk gerakan protes yang dikumandangkan oleh pemuda dan mahasiswa dengan datang ke TPS untuk mencoblos kertas putih di sekitar tanda gambar. Namun, seiring perkembangan zaman, istilah golput dianggap sebagai orang yang tidak ikut dan menentukan pilihannya dengan datang ke TPS langsung. Dari istilah golput tersebut, setiap pelaksanaan pemilu terdapat angka yang menunjukkan tingkat antusias pemilih yang berbeda-beda.
Baca Juga: Pengkhianat, Waktumu Sudah Habis
Salah satu tolok ukur kesuksesan pemilu yaitu rendahnya angka golput. Pemilihan Umum (Pemilu) pertama kali dilaksanakan pada tahun 1955 pada masa kepemimpinan presiden Soekarno atau yang biasa disebut orde lama. Sistem Pemilu yang pertama kali dilaksanakan tentu mempunyai perbedaan yang luar biasa dengan Pemilu yang kita kenal saat ini. Pada Pemilu 1955 TNI dan Polri mempunyai hak pilih untuk mencoblos. Pada masa Orde Lama ini Pemilu dilaksanakan selama 2 (Dua) kali di tahun yang sama, yaitu pada bulan September 1955 dan bulan Desember 1955. Pada masa ini, tingkat golput menunjukkan angka 8,60 persen.
Pemilu yang kedua dilaksanakan pada masa Orde Baru yaitu pada waktu kepemimpinan Presiden Soeharto. Berdasarkan UU No. 15 tahun 1969 Pemilu kedua di Indonesia ini dilaksanakan pada tahun 1971 dengan jumlah 10 Partai Politik yang menjadi peserta dengan tingkat golput sebesar 3,40 persen. Setelah Pemilu 1971, selanjutnya Pemilu di masa orde baru kembali dilaksanakan setiap 5 tahun sekali, pertama tahun 1982 dan 1987 dengan tingkat golput sebesar 3,50 persen. Sedangkan pada Pemilu tahun 1992 dan 1997 angka golput mengalami peningkatan, yakni masing-masing sebesar 3,60 persen dan 4,90 persen.
Pada masa ini, Pemilu hanya diikuti 3 (Tiga) Partai politik yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan fusi dari Partai NU, Parmusi, Perti, dan PSII. Partai selanjutnya yang menjadi peserta Pemilu yaitu Partai Golongan Karya (Golkar) yang merupakan partai milik penguasa presiden Soeharto. Partai terakhir yang mengikuti Pemilu pada masa itu adalah Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan fusi dari PNI, Parkindo, Partai Katolik, Partai IPKI dan Partai Murba.
Baca Juga: Kejam dan Rakus, Pengusaha Sarang Burung Walet Rampok Rumah Pasangan Mau Kawin
Setelah runtuhnya rezim orde baru, pada masa orde reformasi Pemilu pertama dilaksanakan pada tahun 1999. Pemilu yang diikuti sebanyak 48 Parpol ini persiapannya tergolong begitu singkat namun terlaksana dengan damai meskipun angka golput menunjukkan peningkatan daripada pemilu sebelumnya, yaitu sebesar 7,30 persen. Selanjutnya Pemilu yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali ini secara berturut-turut pelaksanaannya pada tahun 2004, 2009, 2014 dan 2019.
Pemilu 2004 secara serentak dilaksanakan pada tanggal 5 April 2004 yang memilih 550 anggota DPR dan 128 anggota DPD dengan angka golput sebesar 15,90 persen. Sedangkan pemilihan presiden yang dilaksanakan secara langsung untuk pertama kalinya, pada putaran pertama dilaksanakan pada 5 Juli 2004 dan putaran kedua dilaksanakan pada 20 September 2004 dengan masing-masing angka golput sebesar 21,80 persen dan 23,40 persen. Selanjutnya, Pemilu 2009 yang kembali dilaksanakan ini diikuti oleh 44 partai politik yang terdiri dari 38 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal Aceh. Pada pemilu legislatif tahun 2009 ini angka golput mampu mencapai 29,10 persen atau bisa dikatakan sebagai golput tertinggi sepanjang sejarah. Sedangkan untuk pemilihan presiden angka golput hanya mengalami penurunan sedikit yaitu sebesar 28,30 persen.
Pemilu selanjutnya digelar pada tahun 2014, tepatnya pada 9 April 2014 Pileg digelar dengan angka golput sebesar 24,89 persen yang disusul 3 bulan selanjutnya yaitu pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 9 Juli 2014 yang mempunyai angka golput sebesar 29,01 persen. Pada Pemilu 2014 ini, Partai Politik yang memenuhi syarat untuk menjadi peserta yaitu 10 (Sepuluh) Parpol.
Baca Juga: Angka Vaksinasi: Jakarta 120 Persen, Surabaya 89,24 Persen, Jatim Kalahkan Jateng dan Jabar
Pada tahun ini, tahun 2019 Indonesia kembali menggelar hajatan pesta demokrasi yang dilaksanakan pada tanggal 17 April kemarin. Pemilu tahun ini merupakan Pemilu pertama yang serentak dilaksanakan bersamaan antara pemilihan legislatif dengan pemilihan presiden.
Lantas, dari berbagai pelaksanaan Pemilu di Indonesia sejak pertama kali dilaksanakan pada tahun 1955 sampai dengan 2019 ini, apakah masyarakat mempunyai kesadaran untuk terus aktif berpartisipasi pada setiap momentum 5 (Lima) tahunan tersebut?
Jawabannya tidak. Ini dapat terlihat pada data yang dirilis oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA pada hari Kamis 18 April 2019 yang mana Golput untuk Pilpres 19,27% dan untuk Pileg 30,05%. Padahal setiap pelaksanaan pemilu mempunyai konstelasi politik yang berbeda meskipun calonnya hampir sama. Seperti kita ketahui, pemilihan legislatif dan pemilihan presiden yang biasanya dilaksanakan berbeda tentu mempunyai tingkat partisipasi atau angka golput yang berbeda pula. Ketimpangan golput di tahun ini dikarenakan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden menjadi satu sehingga banyak masyarakat tidak mengetahui calon legislatifnya. Ini dikarenakan pemilihan calon legistatif kalah popularitas dengan pemilihan presiden.
Baca Juga: Tiga Tipe Ulama Era Jokowi: Oposan, Pragmatis, dan Idealis
Pelaksanaan Pemilu secara serentak pada tahun ini masih menunggu data resmi yang dikeluarkan oleh KPU RI. Kita akan menunggu apakah tingkat golput yang muncul mampu menurun dari Pemilu sebelumnya, ataukah meningkat dari Pemilu sebelumnya.
Dengan adanya angka golput ini yang besar ini, besar harapan kita angka golput terus ditekan menjadi lebih kecil dengan memberikan pendidikan pemilu kepada masyarakat akan pentingnya menggunakan hak suaranya pada setiap pesta demokrasi. Karena suksesnya Pemilu dan jalannya pemerintahan bagi yang terpilih menjadi pemimpin menjadi tanggung jawab bersama setiap individu mengawal dari proses pemilu hingga berjalannya pemerintahan di negara ini.
Dengan melihat kondisi sekarang, ini menjadi pekerjaan kita bersama dengan mencoba memberikan penyadaran kepada masyarakat agar nantinya kedepan angka golput ini dapat berkurang.
Baca Juga: Buzzer, Radikalis Kristen vs Radikalis Islam
*Yogi Indra Pratama, Alumni GMNI dan Peneliti di Projeksi Indonesia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News