JAKARTA(BangsaOnline) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menegaskan tidak
sependapat dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan rokok.
Sebelumnya, MUI telah mengeluarkan fatwa haram soal merokok di tempat umum
sejak 2009. Tidak hanya di ruang publik, dalam fatwa itu juga disebutkan bahwa
merokok haram bila dilakukan anak-anak dan wanita.
Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat, Asrorun Niam Sholeh menjelaskan institusi
pendidikan seperti sekolah dan madrasah, serta sejenisnya masuk ke dalam
kategori ruang publik. Itu artinya, barang siapa yang masih tetap saja merokok
maka hukumnya haram.
"Rokok itu mubah, sampai kiamat ulama NU tidak akan mengharamkan rokok.
Fatwa rokok haram yang dikeluarkan oleh MUI dan didukung kelompok anti tembakau
ini penuh tendensius, mereka ingin mematikan keberlangsungan hidup petani
tembakau kita," tegas staf Dewan Halal PBNU, Kiai Arwani Faisal melalui
pernyataannya, Selasa (14/10).
PBNU menegaskan bahwa pihaknya tidak mendukung kampanye untuk menekan angka
perokok di Indonesia yang dimotori oleh Kementerian Kesehatan dan kelompok anti
tembakau, termasuk MUI melalui gerakan fatwa haram rokok. Menurut Arwani, semua
kiai NU pun telah sepakat untuk memperbolehkan pengikutnya mengisap rokok. Dia
juga mengklaim bahwa kiai NU sebenarnya mendukung upaya meminimalisir
rokok. Itu dibuktikan dengan penetapan hukum 'makruh' untuk pengikut PBNU.
"Kiai tidak berarti tidak menerima data kesehatan. Rokok makruh karena
menerima data kesehatan. Kalau tidak menerima, kiai akan menetapkan hukum rokok
wajib. Itu justru karena ngerti itu bahaya," sambung Arwani.
Penerapan rokok bukan merupakan suatu hal yang bahaya, menurutnya telah
diperhitungkan masak-masak ketika Muktamar NU ke 32 di Makassar tahun 2010
lalu.
"Harus dilihat kadarnya. Kalau mafsadatnya (kerugian) besar hukumnya
haram. Rokok kan sekali hisap tidak langsung pingsan," ujarnya.
Menurut PBNU, rokok tidak punya bahaya yang berlebihan terhadap kesehatan
manusia sehingga tidak perlu dilarang berlebihan.
Baca Juga: PIK 2 Dianggap Banyak Mudharat, MUI minta Pemerintah Cabut Status PSN
Sementara Peneliti senior pada lembaga Masyarakat Pemangku Kepentingan
Kretek Indonesia (MPKKI) Prof Kabul Santoso mengatakan seharusnya Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak mudah terpengaruh oleh sindiran kalangan
tertentu yang memaksa agar segera mengaksesi Framework Convention on Tobacco
Control (FCTC).
"Jangan hanya karena disindir Indonesia tidak mengaksesi FCTC, lalu
pemerintah memaksakan kehendaknya untuk membunuh petani dan industri
tembakau yang selama ini menjadi sumber penghasilan masyarakat dan
negara," tegas Prof Kabul Santoso dalam keterangan persnya di Jakarta,
Selasa (14/10).
MPKKI berharap di akhir masa pemerintahannya, Presiden SBY memberikan warisan
berharga dengan tidak mengaksesi FCTC. Sikap Presiden SBY bila menolak meneken
FCTC itu merupakan wujud perlindungan terhadap keberlangsungan industri
nasional tembakau dari hulu ke hilir. Ratifikasi tidak hanya berdampak pada
petani tembakau, namun juga bakal merontokkan industri rokok kretek nasional.
Padahal, industri ini menyerap jutaan tenaga kerja. Belum lagi tenaga kerja di
bisnis yang mendukung pertanian tembakau dan industri rokok kreteknya.
Lebih lanjut Kabul mengingatkan, Presiden SBY pernah berjanji tidak akan
mengaksesi FCTC di hadapan petani tembakau saat menghadap Istana pada April
2014 lalu. Studi lapangan MPKKI ke beberapa negara penghasil tembakau, antara
lain Jerman, Amerika Serikat (AS), Jepang, dan Tiongkok menunjukkan
keberpihakan pemerintah negara-negara tersebut terhadap industri tembakau
nasional.
Empat negara tersebut memiliki UU sendiri yang mengatur pertembakauan. Khusus
kasus di Tiongkok, dengan jumlah perokok mencapai 390-an juta lebih. Meskipun
Tiongkok akhirnya mengaksesi FCTC, tetapi keberpihakan pemerintah melindungi
industri rokok dalam negerinya sangat baik. Bahkan, AS sampai hari ini tidak
mengaksesi FCTC. AS dan Swiss hanya tanda tangan FCTC, tetapi tidak
meratifikasi.
"Apakah pemerintah siap dengan dampak ekonomi sosialnya? Apakah pemerintah
mampu menyediakan lapangan pekerjaan untuk sumber daya manusia yang
banyak?," tanyanya.
“Selain itu, rokok kretek di Indonesia sudah menjadi trademark. Di dunia ini,
kretek hanya ada di Indonesia. Seharusnya, kretek justu dilestarikan seperti
halnya cerutu Kuba," tambah mantan rektor Universitas Negeri (Unej) Jember
ini.
Data MPKKI menyebutkan, di Indonesia terdapat 20 daerah sentra penghasil
tembakau di mana masyarakat masih banyak yang membutuhkan sebagai sumber
penghidupan mereka. Fakta ini harus dibarengi adanya serapan industri untuk
bahan baku industri rokok.
"Agak aneh Indonesia sebagai produsen kretek dengan produk sangat khas
dibunuh sendiri oleh pemerintah melalui berbagai regulasi, di antaranya PP
109/2012, Permenkes 28/2013, peraturan tentang cukai rokok," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News