Oleh: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag
39. Dzaalika mimmaa awhaa ilaika rabbuka mina alhikmati. walaa taj’al ma’a Allaahi ilaahan aakhara fatulqaa fii jahannama maluuman madhuraa
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Tuhan kepadamu (Muhammad). Dan janganlah engkau mengadakan tuhan yang lain di samping Allah, nanti engkau dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan tercela dan dijauhkan (dari rahmat Allah).
TAFSIR AKTUAL:
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
“fatulqaa fii jahannama maluuman madhuraa”. Mereka yang mengingkari ekistensi Allah SWT atau menyekutukan akan terlempar di neraka jahanam dalam kondisi “maluma, madhura”. Malum, artinya tercela dan madhur artinya jauh. Tafsir klasik mengarahkan pesan ayat studi ini ke alam akhirat dengan makna, bahwa pendusta itu sangat hina karena dilempar ke dalam jahannam begitu jauh dan menukik hingga sangat menyiksa, hina, dan rendah.
Sedangkan sisi substansial terkait pengingkar wahyu, bahwa pengingkar wahyu akan terpental kalah dan tidak akan pernah bisa mengungguli konsep wahyu. Kita ambil satu acara ritual haji. Orang barat membahasakan haji dengan festival. Ya, tapi festival yang melampaui semua festival.
Teman penulis yang nonmuslim berseloroh soal peribadatan dalam islam termasuk haji yang kira-kira arah ngomongnya begini “wong islam itu dikibuli agamanya wong arab”. Namanya benci, memandang ibadah haji hanya dilihat dari grudag-grudugnya, kayak anak-anak yang sedang bermain-main atau camping.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Pakai seragam ihram, berawal dari start tertentu (miqat makani), sorak-sorak (talibiyah), jalan mengelilingi Ka’bah (tawaf), jalan lincah (sa’iy), camping (wuquf), dilanjutkan kerkemah malam hari (mabit), ritual buang sial (jamrah), gunting pita (tahallul) dan lain-lain.
Silakan, begitulah cara pandang orang yang tidak beriman. Sedangkan cara pandang orang beriman hanya satu kata. Semua itu dilakukan hanya karena murni mematuhi perintah Allah SWT saja, titik. Itulah wahyu, itulah agama, itulah kepatuhan, itulah keimanan. Perkara ada hikmah di balik simbol-simbol dan gerak ritual itu soal lain. Tidak ngerti hikmahnya juga tidak apa-apa.
Itulah, maka ikrar pelaku ibadah haji saat menjalani ritual tawaf – misalnya – mereka berikrar yang prolognya begini “Allahumm, imana Bik wa tashdiqa bi kitabik wa ittiba’a bi Rasululik...“. Ya Tuhan, kami jalani ibadah ini murni karena beriman kepadaMU, karena membenarkan pesan kitab suci-MU, karena mengikuti laku utusan-MU ... dst.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Tafsir ini tidak mengungkap hikmah masing-masing ritual, karena dulu beberapa sudah dibahas, lagian sudah banyak buku soal spiritual dan filosufi haji. Soal eksistensi wahyu seperti tertera pada ayat studi, jika diserang dari sisi main-main, maka terma baliknya begini, Sepak bola yang diselenggarakan FIFA, piala dunia itu main-main atau serius?
Bagi penulis, sepak bola hanyalah olah raga biasa dan cenderung sebuah permainan dan main-main. Tidak banyak manfaat bagi agama selain sehat dan sehat tidak hanya lewat sepak bola. Banyak olah raga bermanfaat dan tidak risiko tinggi. Ya, karena penulis tidak suka main bola yang cenderung brutal dan menghambur-hamburkan banyak uang, mubazir, dan teman syetan. Dan pandangan ini sah tanpa menafikan pandangan lain.
Beda dengan insan bola, di mana hidupnya dari bola dan untuk bola. Sepak bola adalah permainan serius tingkat tinggi, universal, penuh strategi dan filosufi serta.. bla bla bla... Dihadirkan pelatih dengan bayaran sangat mahal dan pemain harus super serius ketika bertanding di lapangan.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Apa pemain harus pakai seragam kostum? Atau boleh membawa HP? Jika ada pelanggaran berat, pemain dikartu merah. Kenapa patuh dan keluar lapangan? Jika ketahuan ada yang mengatur skor atau bermain gajah, maka FIFA turun tangan dan menghukum.
Oke, ibadah haji itu festival kolosal mendunia dan cenderung ibadah wisata, penuh simbol, ritual bahkan “main-main” dan lain sebagainya. Teruskan dan teruskan.. kenapa dipatuhi dan sangat diingini oleh setiap orang beriman, muslim?. Mereka rela membayar sendiri, susah payah pergi ke Makkah, susah payah menjalankan setiap ritualnya, bahkan usianya sudah tua-tua, sanggup ngantri puluhan tahun, rela ditakdir mati saat haji dan keluarga pun ikhlas, malah meyakini sebagai kematian yang baik, “husnul khatimah”.
Semua ini tidak bisa dicerna oleh akal sehat dan tidak bisa pula dinalar. Ya karena bukan ranahnya akal, melainkan ranah keimanan. Kalau sudah masuk ke rana keimanan, maka di sinilah sesungguhnya konsep agama harus siap diuji. Ujiannya bukan ujian akademik dengan sekian kisi-kisi ilmiah, melainkan ujian kepatuhan, bukti kepatuhan dari pemeluknya.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman
Karena keimanan itu paket dari Tuhan, amanat Tuhan, perintah Tuhan, maka keimanan sangat terkait dengan kekuasaan Tuhan. Tuhan yang menurunkan aturan, Tuhan pasti punya power maha dahsyat untuk menggerakkan hamba-Nya mematuhi aturan itu dengan cara-Nya sendiri. Dan Tuhannya umat islam, yaitu Allah SWT, lewat lisan Rasul-Nya, Muhammad SWT sudah membuktikan kebenaran Islam sebagai agama-Nya dan dunia menyaksikan.
Jutaan umat islam menunaikan ibadah haji secara suka rela, setiap saat menjalankan ibadah umrah, sehingga Ka’bah, Baitullah, rumah Allah tidak pernah sepi dari umat Islam yang tawaf mengelilingi. Lambang terus berada dalam pusaran Tuhan dan tidak ingin terpental lepas.
Realisasi ibadah haji, jika dipandang secara jujur dan terbuka, sesungguhnya pamer kekuasaan dari Tuhan Allah SWT sekaligus tantangan-Nya kepada siapa saja yang dianggap Tuhan dan punya agama. Seolah Allah SWT menantang begini: ”Hai Tuhan-Tuhanan, jika kalian merasa sebagai Tuhan, maka buktikan kekuasaan kalian. Silakan, buatlah syariah haji seperti yang Kami syariatkan untuk umat islam".
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman
Di sini pentingnya bagi setiap pemeluk agama perlu mengoreksi konsep agama yang sedang dipeluk, utamanya soal keimaman atau konsep teologis. Adakah bukti penguat? Islam selalu terbuka dan menerima dialaog sekaligus memberi bukti meski tidak serta merta. Dalam konsep teologis, islam tidak cengeng, lalu menutup dialog dengan gaya eksklusif mati. “itu urusan pribadi dengan Yang di Sono”.
Itulah yang disindir oleh penutup ayat kaji ini. Bahwa wahyu itu penuh hikmah dan para pendusta dan pendurhakanya akan terpental jauh dalam kehinaan. “fatulqaa fii jahannama maluuman madhuraa”.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News