Tafsir Al-Isra' 71: Beribadah itu Kewajiban, Kebutuhan atau Hobi? Ini Bedanya

Tafsir Al-Isra Ilustrasi

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

71. Yawma nad’uu kulla unaasin bi-imaamihim faman uutiya kitaabahu biyamiinihi faulaa-ika yaqrauuna kitaabahum walaa yuzhlamuuna fatiilaan.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

(Ingatlah), pada hari (ketika) Kami panggil setiap umat dengan pemimpinnya; dan barang siapa diberikan catatan amalnya di tangan kanannya mereka akan membaca catatannya (dengan baik), dan mereka tidak akan dirugikan sedikit pun.


TAFSIR AKTUAL

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

Berhentilah menjadi imam shalat tarawih cepet-cepetan. Beristighfarlah dan lakukan yang terbaik buat umat islam, bukan sekadar melayani shalat. Pandulah umat menjadi terbiasa beribadah secara berkualitas. Tingkatkan ibadah umat dari pandangan, bahwa ibadah itu sebagai "KEWAJIBAN". Arahkan menjadi "KEBUTUHAN", lalu menjadi "HOBI". Bedanya?

Pertama, bila Ibadah sebagai kewajiban, maka kita beribadah murni terdorong atas perintah Tuhan. Andai Tuhan tidak memerintahkan, maka kita tidak beribadah. Pandangan ini benar, tetapi ada rasa terpaksa. Lazimnya punya rasa malas ketika hendak mengerjakan ibadah.

Andai ada pilihan antara menunaikan ibadah atau tidak, maka yang dipilih adalah tidak ibadah. Kelas ini umum ada pada kebanyakan orang Islam. Bermalas-malasan ibadah, shalat, adalah tanda jiwa masih munafik. Salah satu tanda jiwa masih munafik adalah enggan mengerjakan ibadah sunnah. Orang munafik tidak butuh ibadah sunnah.

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Kedua, bila ibadah sebagai kebutuhan, maka seseorang akan merasa butuh terhadap ibadah itu. Jika dia tertinggal ibadah, maka merasa ada sesuatu yang hilang pada dirinya. Seperti anda butuh makan. Jika tidak makan, maka akan mencari makanan. Bahkan rela membeli. Di sini, orang beriman merasa menyesal bila tertidur dan ketinggalan shalat berjamaah. Terhadap amal sunnah, meskipun tidak aktif, masih sering dilakukan.

Ketiga, bila ibadah sebagai hobi, maka ibadah itu ditempatkan paling atas dari segala kebutuhan. Namanya hobi, apapun keadaannya, berapapun biayanya, pasti diburu dan dibeli. Dalam hobi, seseorang menjadi nyaman, fresh, dan enjoy tanpa memperhitungkan risikonya.

Maniak bola, meskipun diguyur hujan deras, angin dingin menerpa dan menderu, tetap saja tenang dan asyik berjingkrak di lapangan. Berapa pun mahalnya harga tiket, tetap dibeli. Jika dia tidak punya uang, tetap ngotot ingin masuk stadion, apapun usahanya, sampai cara tidak halal pun bisa dilakukan.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Teori sufistik "al-mahabbah", milik sang wali perempuan, al-sayyidah Rabi'ah al-Adwiyah menunjukkan, bahwa beribadah kepada Allah SWT itu hanya atas dasar cinta mendalam kepada Allah SWT belaka, lain tidak. Maka sang wali itu bermunajah: "Ya Tuhan, jika aku beribadah kepada-MU ini karena ingin masuk surga, maka segera tutup semua pintu surga. Jika karena aku takut neraka, maka bukalah semua pintu nereka. Aku beribadah kehadirat-Mu hanya murni atas dasar cinta kepada-Mu.

Statement sufistik ini memang bagus, jernih dan filosufis, tapi tidak perlu digagas nemen-nemen. Biarlah itu milik mereka yang sudah berderajat tinggi di hadapan Tuhan. Meski demikian, perlu rasanya kita sedikit demi sedikit memperbanyak amal ibadah dan meningkatkan kualitasnya. Diusahakan amal harian terus bertambah, setidaknya tetap seperti kemarin, Jangan sampai malah menurun.

Persoalan kembali ke tafsir. Mengapa "kitab" dibahasakan dengan "imam"? Sebab kitab suci itu merupakan panduan dalam kehidupan, seperti imam atau pemimpin yang berdiri dan berjalan di depan memandu perjalanan umat menuju tujuan yang benar. Kita mengerti ajaran yang baik dan yang buruk bermula dari al-kitab yang kemudian difatwakan oleh imam.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Makanya, menjadi juru bicara al-kitab itu yang jujur, yang shalih dan terpercaya agar umat yakin dan percaya bahwa yang anda sampaikan itu sebuah kebenaran sejati. Bukan kebenaran berbalut tendensi dan kepentingan.

Untuk itu, melihat kebenaran apakah cukup pakai pepatah "undhur MA qal, wala tandhur MAN qal". Lihatlah apa yang dikatakan, jangan melihat siapa yang mengatakan.

Rasanya, di era hoax dan banyak kepentingan ini perlu pakai juga "undhur MA qal, wa undhur - aidla - MAN qal". Lihatlah apa yang dikatakan dan lihat pula siapa yang mengatakan. Dan dalam tradisi ilmu Hadis, justru melihat kredibel perawi itu sangat penting, sama pentingnya dengan melihat kualitas matannya.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO