Oleh: M Mas’ud Adnan*
Mengerikan! Itulah gambaran sikap saling serang atau saling bully antar penganut agama di media sosial (medsos). Tanpa risih dan tedeng aling-aling mereka saling serang dengan memakai kata-kata kasar, sadis, dan kejam. Mereka seolah bukan manusia yang memiliki hati, jiwa, dan akal, tapi seolah gerombolan serigala liar yang menerkam siapa saja yang dianggap lawan, terutama lawan politik, etnis dan agama. Fenomena ini seolah membenarkan teori tokoh psikoanalisis Sigmund Freud, bahwa manusia adalah binatang paling kejam yang pernah ada di dunia.
Baca Juga: Sowan ke Tokoh Agama GKJW di Balewiyata Malang, Khofifah Napak Tilas Perjuangan Gus Dur
Cermati saja istilah yang mereka pakai. Mereka menyebut “kadal gurun” untuk mencerca panganut Islam. Sebaliknya, mereka pakai istilah “pemuja tarzan” untuk penganut Kristiani. Istilah “bacot” juga biasa mereka hamburkan kepada siapa saja yang dianggap lawan. Mereka tak mengenal “unggah ungguh”, akhlak atau sopan santun. Mereka juga tak mengenal tua-muda. Semua dibully atau diserang sesuai “protap” yang sudah mereka gariskan secara sepihak.
Akibatnya, medsos yang seharusnya bisa menjadi instrumen mulia untuk menyambung silaturahim, informasi pencerahan, dan melahirkan peradaban, justru menjadi instrumen destruktif, dekadensi moral, dan anti kemanusiaan.
Lebih parah lagi, tulisan tentang agama yang bersifat internal pun mereka serang secara membabi buta. Mereka menyerang wilayah internal penganut agama lain secara keji sehingga cenderung memancing persoalan dan menciptakan kegaduhan. Bahkan medsos - pada akhirnya - menjadi ajang atau instrumen penistaan agama.
Baca Juga: Aneh, Baca Syahadat 9 Kali Sehari Semalam, Dahlan Iskan Masih Dituding Murtad
Saya sendiri (penulis artikel ini) sadar bahwa tulisan saya ini tak bakal lepas dari bully mereka. Tapi tak masalah. Yang penting niat saya baik. Demi terciptanya kesejukan dan perbaikan hubungan antar umat beragama ke depan.
Memang, sebagian mereka adalah para buzzer, akun robot, akun palsu, dan “penyerang bayaran” yang sejatinya tak perlu direspons serius. Bukankah sudah muncul banyak pengakuan bahwa para buzzer itu dibayar oleh kelompok tertentu. Mereka juga mengaku bahwa satu orang buzzer memiliki 20 akun palsu sehingga suara mereka tak signifikan. Karena itu, tak perlu diperhitungkan.
Tapi di balik buzzer, akun robot dan “penyerang bayaran” itu ada aktor intelektual dan penyandang dana yang punya kepentingan, baik kepentingan agama, etnis, maupun politik. Artinya, keberadaan para buzzer dan akun robot itu paralel dengan keberadaan kelompok kepentingan baik di panggung nasional maupun internasional. Artinya, para buzzer dan akun robot itu eksis dan beraksi karena ada order dari kelompok kepentingan, baik politik, agama, maupun etnis.
Baca Juga: Luncurkan Video Kampanye Bareng Dewa 19, Khofifah-Emil Kompak Nyanyikan Hidup adalah Perjuangan
Kita semua maklum, fenomena buzzer dan akun robot itu subur sejak pilkada DKI Jakarta. Pemicunya jelas, yaitu sentimen politik, etnis, dan agama. Ironisnya, hingga sekarang, pertikaian antara pendukung Ahok dan Anies tak pernah selesai. Di medsos mereka terus saling serang tanpa menghiraukan benar-salah. Mereka terkesan penuh dendam, tidak move on!
SAMA-SAMA INTOLERAN
Mencermati fenomena saling serang antar penganut agama itu akhirnya kita menemukan fakta bahwa mereka sama-sama intoleran dan radikal. Hanya saja mereka tidak berani menampakkan diri secara terbuka. Mereka berlindung di balik anonimitas, tapi terus melampiaskan sikap intoleran mereka lewat para buzzer dan akun palsu. Karena itu dalam upaya memberantas sikap intoleran dan radikal, kita tidak relevan mengaitkan dengan soal mayoritas-minoritas, Islam-Kristen, Pribumi-China, karena faktanya mereka sama-sama intoleran dan radikal.
Baca Juga: Ulama NU Asal Sulsel Ini Terkejut Ditunjuk Prabowo Jadi Menteri Agama
Ini tentu sangat ironis. Di tengah upaya pemerintah memadamkan gerakan radikalisme dan sikap intoleran, ternyata kelompok-kelompok kepentingan di panggung nasional justru mengobarkan sentimen kebencian ras, etnis, agama dan politik di medsos. Kecenderungan ini bukan saja tidak membantu program deradikalisasi yang digencarkan pemerintah, sebaliknya justru menyuburkan sikap intoleran dan radikal. Sebab penganut agama yang semula plural dan inklusif pun akan merasa terusik rasa keagamaanya ketika melihat agama yang diyakini terus-menerus dicerca dan direndahkan. Konsekuensinya, radikalisme dan sikap intoleran tumbuh subur dengan sendirinya.
DIALOG TEOLOGIS TERBUKA
Lalu bagaimana solusinya? Para elit agama harus sportif, obyektif, arif, dan lapang dada. Kita perlu menciptakan dialog terbuka antar umat beragama agar rakyat bisa menyaksikan secara obyektif dan komprehensif. Caranya, dari masing-masing penganut agama mengutus tokoh agama yang dianggap kompeten dan ahli untuk dialog secara terbuka dengan para tokoh agama lain dalam panggung terbuka.
Baca Juga: Khofifah Pernah Jadi Bintang Senayan, Prof Kiai Asep: Cagub Paling Lengkap dan Berprestasi
Sudah saatnya para elit agama mengedukasi para penganut agama masing-masing secara terbuka dengan ajaran-ajaran yang obyektif dan substansial. Bahkan, jika perlu, dialog terbuka itu tidak hanya menyangkut moral, baik-buruk, tapi juga membahas teologi agama masing-masing sehingga rakyat atau umat semua agama bisa menilai mana yang baik dan yang buruk, mana yang rasional dan yang irrasional. Ini sekaligus menguji obyektivitas dan sportivitas kita dalam beragama.
Dengan demikian, para penganut agama - terutama yang awam - tidak temperamental, dan tidak saling bully di medsos seperti selama ini. Sebaliknya mereka menyadari ketidakpahamannya tentang agamanya masing-masing.
Selama ini dialog antar penganut agama secara terbuka seolah tabu. Padahal pada tahun 80-an dialog terbuka antar tokoh agama sudah berlangsung, terutama dipandegani KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan para tokoh agama non-Islam. Dialog antar penganut agama itu berlangsung secara kontinyu dan santun sehingga menciptakan kesejukan pada semua penganut agama.
Baca Juga: Pemkab Resmi Ganti Beberapa Acara di Gelaran Jombang Fest 2024, Ini Alasannya
Saya masih ingat bagaimana dengan susah-payah Gus Dur membangun pondasi kerukunan antar umat beragama dan melindungi kelompok minoritas - terutama etnis Tionghoa - di Indonesia. Cucu pendiri NU Hadratussyaikh KHM Hasyim Asy’ari itu bahkan “pasang badan” membela etnis Tionghoa dan kelompok non-muslim demi terwujudkan Bhinneka Tunggal Ika yang dicita-citakan para The Founding Republik Indonesia.
Sayangnya, ketika posisi Gus Dur terjepit, terutama saat dilengserkan dari kursi presiden ternyata tak satu pun orang-orang atau kelompok yang pernah dibela itu membantu. Para etnis Tionghoa dan tokoh-tokoh Kristen justru merapat ke kelompok yang melengserkan Gus Dur. Akhirnya, gerakan politik yang dipimpin Amien Rais itu berhasil melengserkan Gus Dur.
Memang, dialog antar penganut agama di negeri ini punya sejarah penting. Bahkan pada tahun 70-an KH Bahauddin Mudhary, ulama kesohor yang dikenal sebagai kristolog juga melakukan debat terbuka dengan misionaris Kristen, Antonius Widuri. Materi debat itu kemudian dibukukan dengan judul Dialog Masalah Ketuhanan Yesus. Buku ini diterbitkan ulang oleh Cambridge University Press, Inggris.
Baca Juga: Barisan Loyalis Gus Dur Lumajang Deklarasi Dukung Khofifah-Emil di Pilgub Jatim 2024
Karena itu para elit agama di negeri ini perlu terus menciptakan dialog antar penganut agama secara terbuka agar tercipta kesejukan sesuai harapan rakyat Indonesia. Sayangnya, masih banyak elit agama yang belum siap mental tampil dalam dialog terbuka secara akal sehat. Padahal umat mereka di medsos sudah bertindak diluar batas yang potensial memupuk kesuburan radikalisme dan sikap intoleran.
*M Mas'ud Adnan adalah praktisi media, alumnus Pesantren Tebuireng dan Pascasarjana Unair
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News