Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*
78. Aqimi alshshalaata liduluuki alsysyamsi ilaa ghasaqi allayli waqur-aana alfajri inna qur-aana alfajri kaana masyhuudaan.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 81-82: Titanic dan Nelayan Desa
Laksanakanlah salat sejak matahari tergelincir sampai gelapnya malam dan (laksanakan pula salat) Subuh. Sungguh, salat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).
TAFSIR AKTUAL
Shalat shubuh inilah satu-satunya shalat yang pernah membuat Nabi Muhammad SAW tidak tepat waktu. Jadi ada dua shalat wajib yang sempat membuat Nabi kedodoran mengerjakannya. Pertama, shalat Ashar. Orang-orang kafir sengaja menyerang pasukan Islam ditepatkan pada waktu dhuhur, lalu menjalar hingga menjelang maghrib.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 81-82: Jin, Sang Pekerja Tambang
Di penghujung ashar, barulah pertempuran mulai reda, dan Nabi cepat-cepat membuat baris untuk melakukan shalat jamaah Ashar. Dengan nada agak kesal, nabi bergumam: "Syaghaluna shalah al-wustha shalah al-ashr" - Orang-orang kafir itu merepotkan kita mengerjakan shalat wushtha alias shalat ashar.
Untuk ini, nabi dan para sahabat tetap shalat ashar secara tepat waktu (ada') dan tidak qadla', walau akhir.
Kedua, sama, juga pada waktu perang, Nabi dan para shahabat bermalam di padang sahara dalam tenda-tenda. Maunya, beliau berjaga semalam suntuk, sekalian langsung shalat shubuh. Hal itu karena sudah tengah malam, baru bisa istirahat setelah seharian sibuk perang dan segala urusannya.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 81-82: Angin, Pesawat Pribadi Nabi Sulaiman, Pesan untuk Dunia Transportasi Udara
Melihat gerak-gerik Rasululah SWT yang agak lemas, Bilal ibn Abi Rabah sedia pasang badan dan berkata: "Ya Rasulallah, sebaiknya Rasul tidur saja, izinkan saya yang berjaga semalaman. Bila nanti waktu shubuh tiba, kami bangunkan".
Niat baik sahabatnya itu diapresiasi dan diiyakan. Kemudian Nabi segera berbaring. Bilal mulai berjaga menggantikan Nabi sesuai janjinya.
Ternyata, matahari terbit dan mulai meninggi, sehingga sengat sinarnya terasa. Dan itulah yang menyebabkan nabi terbagun. Ternyata justru nabi yang bangun duluan, sementara si Bilal malah asyik ngorok. Nabi mendekati Bilal dan membangunkan pelan: Hai Bilal, bangun, bangun. Mana omonganmu semalam. Sudahlah, sekarang: "qum fa adz-dzin". Segera berdiri dan adzanlah. Di bawah ini fiqh al-Hadis, antara lain:
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Mukjizat Nabi Daud A.S.
Pertama, bahwa shalat fardlu yang tertinggal atau tidak tertunaikan pada waktunya (ada'), karena faktor apapun, disengaja atau tidak, maka wajib dilakukan sesegera mungkin (qadla). Menunda-nunda tanpa alasan yang benar, seperti membaca HP lebih dahulu, merokok, dan sebangsanya, maka penundaan tersebut berhukum haram.
Kedua, piranti sunnah yang melengkapi shalat wajib tetap dikerjakan dan tidak gugur. Jadi, masih tetap disunnahkan adzan, iqamah, shalat sunnah qabliyah, dan berjamaah.
Ketiga, qadla' shalat tertinggal tidak harus sesuai dengan waktu shalat yang bersangkutan, melainkan segera, setelah ingat. Misalnya, tertinggal shalat Maghrib tidak harus diqadla' pada waktu maghrib berikutnya. Malah berdosa. Lupa, kemarin belum shalat dhuhur karena asyik main game. Ya langsung qadla' saja, tidak perlu nunggu dhuhur berikutnya. Mosok utang duit hari Ahad, lalu bayarnya harus hari Ahad juga. Lebih cepat lebih baik.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Inggris, Negara Islam Masa Depan
Keempat, memperbanyak istighfar, memohon ampunan atas kelalaian. Terlihat betapa Nabi kecewa kepada Bilal yang menjamin membangunkan shalat Shubuh, dan ternyata tak terbukti. Nabi tidak marah, melainkan memerintahkan para sahabat segera shalat qadla. Itulah istighfar nyata, bukan sebatas di mulut saja.
Kelima, hikmah tertidurnya Nabi dan para sahabat hingga kesiangan tersebut untuk memberikan tuntunan tasyri' kepada ummat terkait tata cara mengqodlo' shalat. Makanya, kejadian tersebut sepanjang usia Rasulullah hanya terjadi sekali. Ini tragedi tasyri' yang bersifat pengajaran atau ta'lim, bukan untuk dijadikan dalil langganan bangun kesiangan.
Keenam, mengisyaratkan, bahwa shalat shubuh berpotensi besar sering ditinggalkan umatnya. Andai mereka mengerti keutamaan shalat jamaah Isya' dan Shubuh, pastilah mereka rela datang ke masjid meskipun berjalan merangkak.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Gunung-Gunung Ikut Bertasbih
*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News