GRESIK,BANGSAONLINE.com - Direktur YLBH Fajar Trilaksana, Andi Fajar Yulianto, S.H., C.T.L. menyatakan, kasus virus Corona (COVID-19) merupakan kejadian luar biasa, yang dapat membahayakan dampak kesehatan lintas wilayah atau negara.
Salah satu penanggulangannya adalah penerapan kekarantinaan bagi wilayah atau daerah. Hal ini sudah dilakukan hampir di seluruh negara, termasuk Indonesia.
Baca Juga: Antisipasi Lonjakan Covid-19, Kepala Dinkes Jember Imbau Lansia Tidak Keluar Kota
Namun, Fajar mengingatkan bahwa penerapan karantina itu bisa berdampak pada hukum kalau salah penerapannya.
"Jadi, pemerintah mengacu UU Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan agar bisa melakukan Karantina. Namun, kalau salah dalam pelaksanaannya bisa berbuntut hukum," ujar Fajar kepada BANGSAONLINE.com, Senin (6/4).
Fajar membeberkan bunyi Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 6 tahun 2018, tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Baca Juga: Masa Transisi Menuju Endemi, Gubernur Khofifah: Masyarakat Boleh Tak Kenakan Masker Asal Sehat
"Pasal dimaksud menyatakan bahwa Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan pada Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat secara cepat dan tepat berdasarkan besarnya ancaman, efektivitas, dukungan sumber daya, dan teknik operasional. Kemudian, pada Pasal 16 ayat (2) dan (3) pada pokok intinya Kekarantinaan sebagaimana dimaksud hanya dilaksanakan oleh Pejabat Karantina Kesehatan melalui Penetapan oleh Menteri," paparnya.
"Artinya apa? Penetapan status Kekarantinaan berupa pembatasan gerak ini adalah Hak penuh wewenang Pemerintah Pusat," ungkap Sekretaris DPC Peradi Kabupaten Gresik ini.
Untuk itu, Fajar mengimbau pembatasan gerak terhadap masyarakat yang diberlakukan secara mandiri oleh daerah atau lingkungan masing-masing yang diputuskan oleh pemerintah setempat, khususnya di tingkat Kabupaten/Kota hingga Desa atau di bawahnya harus dilakukan hati-hati.
Baca Juga: Kemenkes Sebut Isu Hoaks Pengaruhi Capaian Imunisasi Nasional Masih Rendah
"Mengapa? Sebab, akan sangat berpotensi berakibat hukum karena tidak punya payung hukum. Apalagi dengan penetapan pembatasan gerak tersebut dapat menimbulkan ketidaknyaman hingga berdampak pada timbulnya kerugian yang dialami oleh orang dan atau warga masyarakat setempat," jelasnya.
Ia mencontohkan, penetapan kekarantinaan atau pembatasan gerak di sebuah lingkungan sampai adanya sekelompok orang melakukan pemeriksaan diri, identitas, penggeledahan, menahan seseorang, sampai menyita dokumen seperti e-KTP dan lain-lain.
"Ini adalah sebuah pelanggaran hukum, karena yang punya wewenang untuk itu semua ada pada penyidik Kepolisian atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu (Pasal 85 UU Nomor 6 Tahun 2018)," urainya.
Baca Juga: Kasus Covid-19 Meningkat, Gubernur Khofifah: Segera Vaksinasi Booster dan Tetap Prokes saat Berlibur
"Pemangku kebijakan boleh waspada, dan melakukan langkah langkah preventif, tapi jangan sampai menimbulkan persoalan baru yang dapat menimbulkan risiko hukum, baik pidana maupun perdata bagi pejabat yang menerapkan pembatasan gerak tersebut yang berdampak terhadap ketidak nyamanan warga masyarakatnya sendiri hingga merasa dirugikan," katanya.
Fajar juga mengingatkan, agar Pemerintah Daerah bersama dengan DPRD setempat harus segera tanggap akan konsekuensi kampanye dalam rangka menahan penyebaran COVID-19 ini dengan anjuran "di rumah saja".
"Kebijakan ini cepat atau lambat akan dapat berdampak gejolak sosial karena bagi saudara-saudara kita yang penghasilannya dari hasil kerja harian akan semakin berat untuk memenuhi kebutuhan hidup kesehariannya," pungkasnya. (hud/dur)
Baca Juga: Presiden Jokowi Ingatkan Masyarakat untuk Segera Lakukan Vaksinasi Booster
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News