BangsaOnline - Sikap kementerian perhubungan yang
membiarkan pesawat Airbus A-320 PK-AXC terbang tanpa membawa emergency
manual harusnya diusut. Sebab, dokumen yang diwajibkan oleh EASA (badan
keselamatan penerbangan Eropa) sejak 11 Desember itu sangat penting
dalam keselamatan penerbangan pesawat Airbus.
Kemenhub tidak seharusnya membiarkan begitu saja ketika pesawat dengan
nomor penerbangan QZ8501 itu akan terbang dari Surabaya menuju Singapura
pada Minggu lalu (28/12).
"Itu dokumen penting menyangkut
keselamatan penerbangan," kata Amran, Direktur Manajemen Lalu-lintas
penerbangan Air Navigation (Air Nav) Indonesia kemarin (30/12).
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, EASA pada 9 Desember 2014 lalu
merilis Emergency Airworthiness Directive atau perintah terkait kelaikan
terbang saat kondisi darurat. Dua hari kemudian aturan itu berlaku
efektif. Perintah tersebut dikeluarkan untuk seluruh pesawat Airbus
jenis A318, A319, A320, dan A321.
Aturan itu diterbitkan untuk merespon insiden yang terjadi pada sebuah
pesawat Airbus jenis A321. Pesawat itu mengalami gangguan pada mekanisme
Angle of Attack (AOA) saat mencoba naik ke posisi yang lebih tinggi.
Baca Juga: Jelang Mudik Lebaran, Pj Wali Kota Kediri Pantau Ramp Check di Terminal Tamanan dan Kunjungi Stasiun
Insiden itu terjadi saat beberapa sensor
membeku saat melalui cuaca buruk. EASA tidak merinci penerbangan yang
terganggu tersebut, hanya menyebut jika akhirnya pesawat bisa mendarat
dengan selamat.
Karena itu, EASA lantas memerintahkan agar Airbus segera merevisi
Airplane Flight Manual (AFM) atau petunjuk manual penerbangan pesawat.
Alternatif lain adalah, menambahkan lampiran terkait prosedur kondisi
darurat sebagaimana yang terlampir dalam perintah bernomor AD No:
2014-0266-E dalam buku manual penerbangan.
EASA juga sudah meminta Airbus untuk
menginformasikan kepada seluruh kru penerbangan yang mengoperasikan
pesawat jenis A318, A319, A320, dan A321 untuk berjaga-jaga jika
menghadapi kondisi darurat.
Nah, berdasar dokumen Flight Dispatch Release dikeluarkan Kementerian
Perhubungan, pesawat PK-AXC yang menjalani penerbangan nomor QZ8501
ternyata tidak memiliki Emergency Respon Manual maupun Security Program
and Manual. Itu terlihat dari dokumen yang ditandatangani kapten Pilot
Iriyanto. Dokumen itu juga dirilis situs kementerian perhubungan.
Menurut Amran, perintah EASA harus dipatuhi. Setiap pilot yang
menerbangkan pesawat Airbus harus memahami aturan tersebut. Karena itu,
buku panduan itu harus ada di setiap pesawat.
"Yang bertugas mengecek dan memastikan buku manual itu ada adalah regulator, yaitu Kementerian perhubungan," tandasnya.
Amran menambahkan, ada kemungkinan manual book itu belum disebarkan oleh
Kemenhub. Sebab, memang baru diputuskan. "Tanya kementerian perhubungan
saja. Mereka lebih paham. Saya tidak mau berandai-andai," paparnya.
Terpisah, Plt Dirjen Perhubungan Udara Djoko Murjatmojo mengakui bahwa
dokumen tersebut tidak dibawa oleh Air Asia. Namun, pihaknya sampai kini
belum tahu alasannya.
Djoko mengaku, nantinya kasus itu akan dipelajari. Sedangkan wewenang
untuk menyelidiki berada di Komite Nasional Keselamatan Transportasi.
"Itu urusan KNKT. Kami tidak berwenang," jelasnya.
Sementara, terkait panfuan air traffic control (ATC) yang kurang akurat
karena tidak dilengkapi panduan cuaca, Amran menyebut itu bukan tanggung
jawab pihaknya. Dia mengklaim itu adalah tugas BMKG.
"Mereka menyerahkan flight plan. Mau ke mana, lewat jalur mana dan
kecepatannya berapa. Kami yang arahkan dan informasi cuaca kami berikan
dari BMKG," ucapnya.
Dia menyebut, tugas ATC adalah menjaga pesawat saat di udara, memberikan
informasi pada pilot, memperingatkan pesawat tetap pada jalurnya, dan
menghindari tabrakan saat pesawat di bandara.
Pertanyannya, apakah memberikan petunjuk pada pilot untuk mendapatkan
jalur yang benar-benar aman merupakan tugas BMKG? Aman dalam artian
membantu pilot menghindari tabrakan dan cuaca buruk seperti yang
dilakukan ATC di Singapura. "Pokoknya soal cuaca BMKG," kata Amran cuek.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News