Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*
101. Walaqad aataynaa muusaa tis’a aayaatin bayyinaatin fais-al banii israa-iila idz jaa-ahum faqaala lahu fir’awnu innii la-azhunnuka yaa muusaa mashuuraan
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Dan sungguh, Kami telah memberikan kepada Musa sembilan mukjizat yang nyata maka tanyakanlah kepada Bani Israil, ketika Musa datang kepada mereka lalu Fir‘aun berkata kepadanya, “Wahai Musa! Sesungguhnya aku benar-benar menduga engkau terkena sihir.”
102. Qaala laqad ‘alimta maa anzala haaulaa-i illaa rabbu alssamaawaati waal-ardhi bashaa-ira wa-innii la-azhunnuka yaa fir’awnu matsbuuraan
Dia (Musa) menjawab, ”Sungguh, engkau telah mengetahui, bahwa tidak ada yang menurunkan (mukjizat-mukjizat) itu kecuali Tuhan (yang memelihara) langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata; dan sungguh, aku benar-benar menduga engkau akan binasa, wahai Fir‘aun.”
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
TAFSIR AKTUAL
Ayat kaji sekarang ini (101 dan 102) membicarakan soal karakter Fir'aun yang ter-cover saat dialog dengan Musa A.S. Musa yang dianugerahi Tuhan sembilan ayat sakti, sehingga membuat Fir'aun kebakaran jenggot dan menuding Musa sebagai penyihir. Dengan tenang Musa membalik: "Bukankah engkau sudah tahu, bahwa itu dari Tuhan...". Jadi, sejatinya Fir'aun itu gengsinya besar dan lihai berpura-pura.
Adalah hak seseorang untuk membentuk dirinya sendiri, menentukan sikap dan mau menjabat apa. Hanya saja faktor kemampuan, kelayakan, dan kepatutan atau sisi Syakilah (skill) dan Makanah (space) mesti diperhatikan. Utamanya ketika seseorang mengemban amanah rakyat, maka itu menjadi mutlak, tidak asal merasa bisa.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Sifat dasar manusia itu "multi talenta", bisa ini dan bisa itu. Apalagi pola kurikulum dasar negeri ini yang sifatnya "tahu sedikit dalam banyak hal dan bukan tahu banyak dalam sedikit hal". Setelah diasah lebih lanjut dan dikhususkan, maka baru menjadi spesifikasi dan ahli.
Dokter umum memang mengerti berbagai penyakit. Ya bisa menangani, tapi tidak seperti dokter spesialis yang lebih ahli. Dokter spesialis, selain lebih ahli, juga lebih punya etika. Dokter spesialis mata tidak akan mau menangani pasien penyakit dalam dan sebaliknya.
Diskusi kecil bersama kawan menyoal susunan kabinet Indonesia Maju era Jokowi-Kiai Ma'ruf. Ada menteri yang berkali-kali menjadi menteri dengan jabatan yang berbeda dan kondisi politik yang berbeda. Pokok e menjabat. Ada menteri yang tidak punya keahlian di bidangnya, tapi mau dan seterusnya. Lalu pertanyaan muncul: "Sejatinya menteri di Indonesia itu apa sih: serba mampu atau serba mau?".
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Teman di sebelah menimpali "... di negara maju, orang-orang hebat itu memang dia benar-benar hebat di bidangnya dan mampu membatasi diri. Membatasi diri itulah etika, itulah moral, dan itulah katawadlu'an". Makanya, menteri di sono itu kayak dokter spesialis. Jangankan jabatan, pemain catur bergelar grand master semisal Anatoly Karpov, dia membatasi diri, meski dia piawai dalam bermain basket.
Rupanya moral tahu diri, lebih memilih pada bidang yang paling dikuasai inilah yang kurang dimiliki oleh para menteri kita. Zaman pak Harto dulu, malah ada menteri dari militer militer, ya pernah menjabat kesektariatan negara, lalu ganti ngurusi sosial, lalu jadi menteri agama. Sah? Ya Sah. Sopo berani ngelawan pak Harto.
Patut digugu wejangan mbah buyut tempo dulu: " ... dadi menungso iku sing iso rumongso, ajo rumongso iso". Jadi manusia itu yang bisa merasa (tahu diri, 'arafa nafsah) dan jangan merasa bisa.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Tapi bagi yang hobi jabatan dan tidak punya prinsip berpolitik akan beralasan lain. Misalnya, bahwa ditunjuk menjadi menteri itu amanah dan tidak boleh ditolak dan lain-lain. Benarkah?
Tafsir aktual menjawab, bahwa dalam agama tidak demikian. Amanah memang tidak boleh diburu, apalagi dibeli. Jika amanah itu datang, maka dia boleh memilih, antara menerima dan menolak. Itu disesuaikan kemampuan dan kesanggupan.
Semisal Amr ibn al-Ash, dia menerima ketika ditunjuk menjadi gubernur di Mesir. Tapi Abdullah ibn Umar menolak ketika ditunjuk pada jabatan yang sama. Bahkan dia lari ke Syam demi menghindar. Para sahabat besar memaklumi sikap itu. Ibn Umar sadar akan beratnya tanggungjawab di hadapan Allah SWT nanti. Tidak sama dengan mereka yang duduk di kabinet kemarin, semua tersenyum gembira, melambai, dan berbangga ketika namanya disebut Jokowi sebagai menteri.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News