Tafsir Al-Kahfi 16: Musyrik itu Tradisi (?)

Tafsir Al-Kahfi 16: Musyrik itu Tradisi (?) Ilustrasi berhala. foto: Busy

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

16. Wa-idzi i’tazaltumuuhum wamaa ya’buduuna illaa allaaha fa’wuu ilaa alkahfi yansyur lakum rabbukum min rahmatihi wayuhayyi’lakum min amrikum mirfaqaan

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusanmu.

TAFSIR AKTUAL

Ayat sebelumnya (15) bertutur tentang tuntutan Tuhan terhadap mereka yang menyembah berhala, bahkan terhadap berhalanya sekalian. Mereka dituntut memberi alasan yang jelas, yang diterima akal, mengapa menyembah berhala dan mengapa si berhala itu mau disembah.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

Berhala adalah apa saja, siapa saja yang disembah selain Allah SWT, termasuk manusia. Manusia menyembah manusia. Tentu tidak bisa meberi alasan yang benar. Yang ada hanya ngarang dan kebohongan belaka. Karena syarat mutlak bagi Tuhan adalah Maha Pencipta, bisa mencipta, bukan dicipta.

Dan ayat studi ini membicarakan pemuda goa (ashab al-kahfi) yang menghindari komunitas kafir dan sesembahannya. Lalu pergi ke goa terpencil demi menyelamatkan diri dari kekejaman mereka. Dan benar, Tuhan melindungi dengan cara-Nya sendiri.

Al-Imam 'Atha' al-Khurasany membaca ayat ini dari perspektif teologis terkait tradisi keimanan umat masa lalu. Bahwa pola kemusyrikan itu sejak dulu ada, bahkan tradisinya demikian. Artinya, ya menyembah Allah SWT dan menyembah lain-Nya pula.

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Zaman nabi Nuh A.S. misalnya, kaum Nuh sangat mengerti Allah SWT, tapi juga mengkoleksi berhala sesembahan, bahkan lebih dari satu. Ada berhala bernama Wadd, Shuwa', Yaghuts, Ya'uq, dan Nasr. Perhatikan pula zaman nabi Musa A.S. dan zaman nabi Isa, anak lelaki Maryam A.S. Mereka mengerti Allah, tapi musyrik.

Bedanya, kalau Fir'aun memaksakan rakyat menyembah dirinya, sedangkan Isa A.S. justru menolak dirinya disembah. Kesamaannya, antara Fir'aun dan Isa A.S. sama-sama manusia yang dilahirkan lewat rahim ibu. Sedangkan kesamaan antar pemeluknya, mereka sama-sama manusia yang menyembah manusia dan sama-sama mati semuanya.

Dan terbacalah, bawa ashab al-kahfi ini dulunya juga penyembah Allah SWT dan penyembah selain-Nya. Lalu Allah SWT memberi hidayah kepada mereka, sehingga mampu melepas total sesembahan yang selain Allah, dan hanya Allah SWT saja yang dipilih sebagai Tuhan satu-satunya, lain tidak.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Ayat ini memberi pelajaran kepada kita, bahwa tradisi itu tidak mesti baik, lalu dilestarikan. Justru harus dikoreksi, harus diubah, dan wajib ditinggalkan bila berlawanan dengan agama. Untuk itu, studi agama versus budaya menyajikan tiga pendekatan:

Pertama, Tahmil (akomodatif). Artinya, budaya atau tradisi yang cocok dengan agama, maka diapresiasi, diambil sebagai sesuatu yang bagus yang mesti dilestarikan. Malahan agama menggunakannya sebagai rujukan masalah tertentu. Semisal besaran nafkah kepada istri.

Al-Qur'an hanya menyatakan secara umum. Bagi suami yang kaya, maka memberi nafkah seukuran orang kaya. Dan bagi yang miskin, seukuran orang miskin. Ya, tapi berapa? Pedomannya disesuaikan pribadi dan kepantasan masing-masing dengan merujuk tradisi daerah setempat. Atau seperti tradisi sedekah desa. Di desa tertentu masih ada tradisi sedekahan secara massal dengan tujuan menyantuni mereka yang membutuhkan, atau menolak balak.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Kedua, taghyir (korektif). Tradisi yang kurang atau tidak sesuai dengan agama, sebisanya dikoreksi dengan tetap memelihara esensinya. Seperti tradisi sedekah yang disajikan di pepunden atau tempat sesembahan atau di bawah pohon angker tertuju kepada Dayang atau Sing Baurekso. Para kiai dulu mengubahnya secara perlahan dan dialihkan ke masjid. Sang imam, kiai atau ustadz mesti arif dan mengalihkan. Dari yang semula dipersembahkan kepada Dayang kemusyrikan, menjadi hanya kepada Allah SWT saja.

Ketiga, Tathrid (penetratif, penolakan). Tradisi yang bertentangan dengan agama dan hingga tidak bisa direka atau diarahkan sesuai agama, maka wajib ditolak dan dibuang. Larung sesaji, meski arahnya sedekah laut, tapi karena dipersembahkan kepada Dewa Laut (bukan Allah) dengan membuang kepala sapi, makanan ke laut secara mubadzir, maka harus dihentikan. Tidak bisa dengan alasan memberi makan ikan di laut, karena tidak jelas. Lebih jelas disedekahkan kepada fakir dan miskin yang sudah nyata. Allah a'lam.

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO