Tafsir Al-Kahfi 32-33: Sesaudara, Tapi Nasibnya Tidak Sama

Tafsir Al-Kahfi 32-33: Sesaudara, Tapi Nasibnya Tidak Sama Ilustrasi.

Suatu ketika pria shalih itu melamar kerja kepada temannya yang kaya raya. Begitu mengerti bahwa yang melamar itu teman kongsinya dulu, dia bertanya: "Uang sekian banyak itu kamu buat apa saja? Nih, hartaku kini makin melimpah?". Kemudian dijelaskan panjang lebar. Spontan si kaya tadi membodoh-bodohkan, tak beda dengan kisah sebelumnya.

Ketiga, versi lain menggambarkan hal senada, tapi lebih emosional. Dua pria, sebut saja Fulan dan Rajul sama-sama memiliki harta 4.000 dinar. Si Fulan membeli sebidang tanah seharga 1.000 dinar. Si Rajul mengerti, lalu menghadap Tuhan dan berikrar: "Allahumma, sesungguhnya Fulan telah membeli tanah seharga 1.000 dinar, kini aku membeli dari Engkau tanah surga dengan harga yang sama. Kemudian mensedekahkan 1.000 dinar.

Lain waktu mendengar si Fulan membeli rumah seharga 1.000 dinar, lalu si Rajul berikrar kepada Tuhan. "Ya Allah, si Fulan telah membeli rumah seharga 1.000 dinar, maka kini aku membeli dari Engkau rumah di surga dengan harga yang sama. Kemudian 1.000 dinar disedekahkan.

Selang beberapa waktu mendengar juga si Fulan telah menikahi wanita cantik dengan mas kawin 1.000 dinar. Langsung si Rajul menghadap Tuhan dan berikrar: "Ya Allah, si Fulan telah menikahi seorang wanita cantik dengan mas kawin 1.000 dinar. Kini aku datang melamar wanita surga dengan mas kawin 1.000 dinar. Kemudian 1.000 dinar disedekahkan.

Tidak lama, mendengar lagi bahwa si Fulan membeli perlengkapan rumah tangga yang mewah-mewah, termasuk seorang pelayan wanita. Si Rajul berikrar: "Ya Allah, si Fulan telah membeli perkakas rumah tangga, kini aku juga membeli dari Engkau perkakas surga dengan harga yang sama. Kemuadian sisa 1.000 dinar tadi disedekahkan.

Kisahnya sama, si Rajul menjadi orang miskin dan meminta bantuan kepada si Fulan. Bukan diberi, tapi dimaki. Dikatakan, bahwa kamu salah menyembah Tuhan langit yang tidak ada seperti yang disampaikan Muhammad. Makanya, kamu melarat. Tidak sama dengan saya yang menyembah Tuhan bumi yang nampak (berhala) dan nyatanya saya kaya.

Secara umum, ketiga versi sabab nuzul itu mengajarkan kita, bahwa sikap orang beriman sama sekali tidak sama dengan sikap orang yang tidak beriman. Orang beriman memakai tolok ukur akhirat, sementara orang kafir pakai tolok ukur dunia. Bagi orang beriman, kaya dan miskin, pangkat dan jelata sama sekali tidak menjadi ukuran kebahagiaan di akhirat nanti.

Adalah hal biasa, orang beriman diuji dengan kemiskinan, meskipun yang kaya raya juga banyak. Sementara orang kafir diberi harta berlimpah, meskipun yang melarat juga banyak. Yang terakhir ini yang paling berat, yaitu, di dunia melarat, di akhirat nambah melarat. Makanya, kalau jadi orang miskin itu harus lebih totalitas beribadah, karena hanya itu andalannya. Tidak sama dengan orang kaya, masih punya peluang ke surga dengan hartanya.

Kisah-kisah di atas sebagai penggambaran perilaku orang beriman dan orang kafir tentang harta. Orang beriman memandang harta itu titipan Tuhan, maka dikembalikan kepada Tuhan. Andai kita memahami falsafah penitipan sepeda, maka seperti itu keimanan kita. Pengusaha jasa penitipan tidak ada yang kecewa ketika barang titipan diambil kembali, justru lega setelah bisa menyerahkan dalam keadaan utuh.

Tidak sama dengan orang kafir, harta dipandang sebagai miliknya sendiri dan harus dinikmati sendiri. Bagi kafir, rezeki itu didapat murni karena kerjanya sendiri, bukan pemberian Tuhan, sehingga tidak ada kaitan antara rezeki dengan Tuhan. Makanya, mereka tidak mau membelanjakan harta di jalan Tuhan.

Soal latar belakang atau pendorong orang bersedekah itu dibolehkan berdasar emosi kebajikan, bukan emosi nafsu. Tapi tetap hanya karena Allah SWT semata. Seperti contoh di atas, si shalih tidak mau kalah dengan si durhaka. Si durhaka membeli kebon di dunia, si shalih membeli kebon di surga.

Si durhaka menikahi cewek dengan mahar tinggi, si shalih melamar gadis surga dengan mahar senada dst. Makanya, agama membolehkan orang berlaku hasud, iri kepada orang lain, asal pada kebaikan. Seperti kepada orang kaya yang penderma dan peduli sesama. Kepada orang pandai ilmu agama yang beramal bagus, dll. 

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO