Oleh: Khariri Makmun --- Jihad merupakan puncak agama. Jihad yang benar adalah menegakkan kebenaran agama, membela tauhid, menjaga dan membela keselamatan umat islam.
عن النبي صلى الله عليه وسلم ( الجهاد سنام الدين) اي اعلاه ان تعين. (نصائح العباد محمد بن عمر نواوي الجاوي)
Baca Juga: Merasa Dipersulit Urus Izin, Seniman di Pamekasan Tuding Polisi Takut FPI, Begini Kata Wakapolres
Hadis Nabi Muhammad SAW : jihad adalah puncak agama.
Dalam kitab Nashaihul Ibad Syeikh Muhammad Ibnu Umar Nawawi AlJawi yang populer dengan sebutan Syeikh Nawawi Banten mengutip hadis Nabi SAW sebagus-bagusnya orang beragama itu jika mau berperang. Tapi menurut beliau, jihad atau perang yang menjadikan seseorang dalam puncak ketinggian derajat agama jika perang itu hukumnya fardhu ain (wajib untuk setiap individu). Artinya perang tersebut hukumnya wajib dan memenuhi syarat-syarat secara syariah.
Tidak boleh ada perang yang dipicu oleh sikap emosional atau temperamental. Seorang yang memiliki watak keras dan temperamen berpotensi untuk meng-agama-kan sifat temperamen. Ia akan dengan mudah membawa agama dengan cara keras, membangkitkan semangat perlawanan atau perang terhadap segala hal yang memicu emosinya.
Baca Juga: Pengkhianat, Waktumu Sudah Habis
Sayyidina Ali saat perang menewaskan banyak musuh, hingga terjadi suatu momen ketika Sayyidina Ali mampu merobohkan musuhnya dan berkesempatan untuk membunuh sang musuh, tiba-tiba musuh itu meludahi wajah beliau. Sayyidina Ali marah dan emosi. Saat dalam kemarahan, Imam Ali enggan membunuh musuh karena khawatir pembunuhan terhadap musuh didorong oleh nafsu untuk menjaga kehormatanya, bukan membunuh karena jihad fi sabilillah.
Betapa bahayanya jihad jika salah niat. Tipis sekali perbedaan motif jihad syar'i dengan jihad karena emosi, antara jihad fi sabilillah dengan jihad lil hawa. Antara jihad karena Allah dengan jihad karena membela gengsi atau harga diri.
Perang seperti ini bukan perang syar'i. Karena terkadang individu yang temperamen dengan tetangganya, keluarganya, anak istrinya juga memperlakukan sikap perang atau perlakuan kasar.
Baca Juga: Menghabisi Etnis Arab, Membela Etnis Tionghoa, Radikalisme tanpa Pengakuan
Jihad syar'i yang berarti peperangan menurut pandangan Ahlus Sunnah wal Jamaah memiliki lima syarat.
Pertama, Jihad tersebut dimaksudkan untuk mencari ridho Allah dan bertujuan membela agama dalam rangka menegakkan tauhid.
Kedua, Jihad harus melahirkan optimisme kemenangan sehingga seluruh daya dipergunakan untuk mempersiapkan potensi maksimal sehingga kemungkinan untuk memperoleh kemenangan lebih besar dari kekalahan.
Baca Juga: Kejam dan Rakus, Pengusaha Sarang Burung Walet Rampok Rumah Pasangan Mau Kawin
Ketiga, Jihad (perang) tidak boleh menyebabkan mafsadah (kerusakan) yang lebih besar jika dibandingkan dengan menahan diri untuk tidak perang.
Keempat, Jihad harus memiliki royah atau panji dan tujuan yang jelas. Jihad tidak boleh hanya didorong oleh faktor duniawi seperti membela partai, ormas, atau sentimen politik.
Kelima, Jihad harus medapat izin atau persetujuan waliyul amri (penguasa yang sah). Kepala negara adalah panglima tertinggi yang mengambil keputusan dalam berjihad.
Baca Juga: Angka Vaksinasi: Jakarta 120 Persen, Surabaya 89,24 Persen, Jatim Kalahkan Jateng dan Jabar
Meskipun keputusan dan persetujuan waliyul amri menjadi syarat jihad, namun dalam keadaan kritis dan berbahaya, persetujuan waliyul amri tidak lagi menjadi syarat. Seperti perang menghadapi musuh yang secara tiba-tiba memberontak negara, mengancam keutuhan bangsa, dan memicu fitnah serta perpecahan.
Jadi, selain kondisi darurat, keputusan jihad harus memenuhi lima syarat yang telah dijelaskan tersebut.
Pertanyaanya, apakah agitasi, provokasi, dan pemberontakan terhadap negara bisa disebut jihad? Mayoritas ulama ahli fikih menganggap pemberontakan terhadap pemerintah yang sah bukanlah jihad. Jika ada kelompok pemberontak yang melawan Negara, maka saat gugur dalam pertempuran,mereka meninggal dalam kondisi jahiliyah. Karena pemberontakan menyebabkan negara tidak aman, memicu disintegrasi, perpecahan, serta menyebabkan perang saudara.
Baca Juga: Tiga Tipe Ulama Era Jokowi: Oposan, Pragmatis, dan Idealis
Para pemberontak dianggap tidak taat kepada waliyul amri, merusak perjanjian atau kontrak politik kebangsaan yang berlaku legal dan mengikat untuk seluruh warga negara. Karena itu pemberontak yang memiliki karakter ideologi khawarij sudah selayaknya ditindak dan mendapat hukuman setimpal sesuai kejahatanya.
Penulis, Direktur Moderation Corner Jakarta dan Wakil Direktur Eksekutif International Conference of Islamic Scholars (ICIS).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News