Begini Tanggapan Pakar Farmasi Soal Penolakan Kiai Asep Terhadap Vaksin AstraZeneca

Begini Tanggapan Pakar Farmasi Soal Penolakan Kiai Asep Terhadap Vaksin AstraZeneca Ainul Yaqin bersama Kiai Asep.

Ainul membeberkan proses produksi Covid-19 dari AstraZeneca muulai dari penyiapan inang virus. Sel inang yang digunakan berasal dari sel diploid manusia dengan kode HEK 293 (Human Epithelial Kidney Cells) yang didapat dari jaringan ginjal bayi manusia puluhan tahun lalu. Sel tersebut ditumbuhkan pada media Fetal Bovine Serum dengan diberi suplemen asam amino, sumber karbon, bahan tambahan lain, dan antibiotik.

"Pada tahap ini ada penggunaan enzim tripsin yang diperoleh dari pankreas babi yang digunakan untuk memisahkan atau melepaskan sel dari plate-nya. Sel ini dijual oleh Thermo Fisher dengan merk T-Rex-293," bebernya.

Selanjutnya, kata Ainul, sel HEK 293 yang diperoleh dari Thermo Fisher dilakukan perbanyakan di CBF, Oxford UK sesuai kebutuhan. Sel dilepaskan dari pelat menggunakan enzim TrypLETMSelect. Kemudian dilakukan proses pencucian, sentrifugal dan penambahan medium DMEM, dan diinkubasi. "Proses ini dilakukan berulang sampai memperoleh jumlah sel yang diinginkan," jelasnya.

Enzim TryPLEselect yang digunakan adalah enzim yang dibuat dari rekayasa genetika menggunakan jamur yang dibuat secara rekombinan. Di antaranya, sel yang telah diperbanyak ini kemudian disimpan sebagai bank sel master, Penyiapan bibit rekombinan (Research Virus Seed) hingga siap digunakan untuk produksi (tahap master seed dan working seed).

"Yang menjadi masalah, perbedaan itu mencuat ke publik secara terbuka tanpa penjelasan yang mencukupi, sehingga menimbulkan kebingungan. Lebih-lebih, lembaga yang menerbitkan fatwa berbeda ini, sama-sama MUI, yang satu MUI pusat, satunya lagi MUI Provinsi Jawa Timur. Di era media sosial saat ini, informasi bisa menyebar secara luas, namun demikian bisa menimbulkan paradoks, yakni kebingungan terhadap informasi itu sendiri," ungkap Ainul.

Pada kasus perbedaan fatwa ini, akar masalahnya adalah karena dasar istinbath hukum yang digunakan berbeda. Komisi Fatwa MUI pusat mendasarkan pada larangan intifa’ (pemanfaatan) babi dalam kondisi normal. Komisi Fatwa MUI pusat menyimpulkan, adanya pemanfaatan bagian dari babi (intifa’) dalam proses produksi menjadi dasar keharaman produk yang dibuat. "Dalam hal ini, adanya istihalal selama proses produksi menjadi tidak dilihat, karena intifa’ mendahuluinya," pungkasnya. (ris/ian)

Video Terkait

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Sedekah dan Zakat Rp 8 M, Kiai Asep Tak Punya Uang, Jika Tak Gemar Bersedekah':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO