PCNU Tolak Sistem Ahwa, Dianggap Manuver Elite dan Bertentangan dengan AD/ART NU

PCNU Tolak Sistem Ahwa, Dianggap Manuver Elite dan Bertentangan dengan AD/ART NU KH Saiful Chalim. foto: BangsaOnline.com

BangsaOnline - Tampaknya makin banyak Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) yang menolak Ahlul Halli Wal Aqdi (Ahwa) sebagai instrumen untuk memilih Rais Aam pada Muktamar NU ke-33 yang akan berlangsung di Jombang Jawa Timur awal Agustus 2015 ini. Mereka berpendapat bahwa untuk memberlakukan sistem pemilihan model Ahwa harus mendapat persetujuan forum Muktamar terlebih dahulu. Padahal konsep Ahwa yang diusulkan oleh tim PBNU baru dibicarakan di tingkat Munas dan Konbes PBNU dan itupun banyak yang menolak. Munas dan Konbes adalah forum di bawah muktamar.

''Kami menolak Ahwa diberlakukan pada muktamar sekarang, karena muktamar sekarang landasannya masih memakai AD/ART Muktamar ke-32 di Makasar. Jelas sekali di AD/ART NU yang berlaku sistem pemilihan rais aam adalah bersifat langsung,'' ujar Ketua Tanfidziyah PCNU Surabaya KH Saiful CHalim.

Baca Juga: Mitos Khittah NU dan Logika Kekuasaan

Menurut ia, kalau pun misalnya nanti disetujui oleh peserta muktamar itu pun tidak bisa otomatis berlaku saat itu juga. Karena konsep Ahwa itu adalah barang baru di NU, jadi masih perlu proses panjang untuk bisa memberlakukan Ahwa dalam muktamar.

''Konsepnya harus matang biar NU tidak jadi korban, kalau seumpamanya nanti disetujui di muktamar, itu pun tidak bisa langsung diberlakukan di level PBNU. Harus diuji coba dulu mulai dari tingkat kecamatan atau MWC NU, PCNU dan PWNU, baru kemudian di PBNU. Terlalu beresiko langsung memberlakukan Ahwa di tingkat PBNU,'' papar cucu pembuat lambang NU KH Ridwan Abdullah itu.

Menurut dia, Ahwa tidak gampang mendapat persetujuan peserta muktamar, karena cabang-cabang NU dan wilayah NU sekarang banyak yang memahami bahwa dimunculkannya konsep Ahwa ini hanya sebatas manuver elite NU di PBNU karena takut kalah bersaing dalam sistem pilihan langsung. Para elite NU yang bermanuver ini tidak bisa mengukur diri dan tidak sensitif terhadap dinamika yang berkembang di NU selama ini.

Baca Juga: Kembangkan Kewirausahaan di Lingkungan NU, Kementerian BUMN Teken MoU dengan PBNU

''Karena mereka ini tidak pernah turun ke bawah, mereka tahunya hanya Jakarta. Mestinya mereka harus bisa mengukur apakah konsep itu akan diterima oleh cabang-cabang yang di bawah, tidak boleh memaksakan kehendaknya. Sekarang ini eranya demokratisasi di NU dan ada semangat egalitarianisme di NU. Sementara orang-orang ini masih berpandangan konservatif, di era di mana NU dulu masih mengandalkan kharisma kiai,'' paparnya.

Sikap menolak juga dilontarkan Ketua Tanfidziyah PCNU Sidoarjo, KH Abdul Manaf. Ia menolak sistem Ahwa itu karena pihak-pihak yang mengusung itu adalah orang-orang yang ingin mempertahankan status quo di tubuh NU. Mereka ingin mempertahankan posisinya saat ini. Padahal suara cabang-cabang menghendaki adanya perubahan di tubuh NU. Karena kepemimpinan sekarang membuat NU kurang dinamis dan terjadinya kemandegan organisatoris di mana-mana.

''Mereka hanya ingin menjadikan NU sebagai alat legitimasi massa dan memperkuat posisi politiknya,'' kata kiai asal Bawean itu. 

Baca Juga: Konflik Baru Cak Imin, Istri Said Aqil Mundur dari PKB, Akibat Khianat saat Muktamar NU?

Menurut Kiai Manaf, munculnya Ahwa di Jawa Timur awalnya adalah pada saat akan berlangsung Musyawarah Wilayah (Muswil) NU. Waktu itu Ahwa muncul untuk menangkal praktik riswah atau money politics dalam pemilihan kepengurusan NU. Tetapi, cabang-cabang banyak yang mempertanyakan apakah bisa dibuktikan Ahwa bisa menangkal riswah. Akhirnya semua cabang menolak, apalagi konsep Ahwa itu sendiri tidak ada dasar hukumnya. Mengingat AD/ART yang berlaku masih memberlakukan sistem pemilihan langsung.

Pihaknya juga sepakat bahwa seharusnya konsep Ahwa harus ditolak, karena tidak cukup alasan untuk bisa memberlakukan Ahwa dalam pemilihan Rais Aam maupun ketua umum tanfidziyah NU. Dalam sejarahnya, menurut dia, sejak berdirinya NU sampai sekarang hanya sekali saja Ahwa diberlakukan yaitu pada muktamatar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984. Saat itu, karena alasan darurat, yaitu menghentikan kepemimpinan KH Idham Chalid yang terlalu lama memimpin NU, yaitu selama 28 tahun. Di samping itu juga karena alasan perubahan mendasar NU, yaitu yang semula terkungkung partai politik kembali ke khittah yakni menjadi ormas ijtima'iyah diniyah.

Rais Syuriyah NU Kota Malang, KH Hamzawi juga mengamini dua PCNU tersebut. Menurut ia, masih perlu sosialisasi yang panjang untuk bisa memberlakukan Ahwa. Karena dari segi pemahaman saja, masih sangat terbatas pengurus yang memahami konsep Ahwa itu. Ini belum lagi tingkat kesulitan dalam implementasinya, karena praktik itu belum begitu lazim dilakukan di tubuh NU.

Baca Juga: Emil Dardak Dukung Muktamar NU ke-35 di Surabaya

(zis)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Mobil Dihadang Petugas, Caketum PBNU Kiai As'ad Ali dan Kiai Asep Jalan Kaki ke Pembukaan Muktamar':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO