Tafsir Al-Kahfi 65: Nabi Khidir A.S. Sudah Wafat

Tafsir Al-Kahfi 65: Nabi Khidir A.S. Sudah Wafat Ilustrasi. foto: islami.co

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

65. fawajadaa ‘abdan min ‘ibaadinaa aataynaahu rahmatan min ‘indinaa wa’allamnaahu min ladunnaa ‘ilmaan

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami.

TAFSIR AKTUAL

Persoalan apakah Khidir A.S. itu nabi atau bukan, al-qur’an hanya menyatakan dia sebagai “’abd” (‘abda min ibadina), hamba Allah SWT belaka, tanpa gelar populis. Namun Tuhan memberi anugerah khusus baginya, yaitu “rahmah”, (atainah rahmah min ‘indina) dan “ilmu” (wa ‘allamnah min ladunna ‘ilma”).

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

Kata “rahmat” berkonotasi belas kasih Tuhan secara umum yang lazim diberikan kepada siapa saja secara non diskriminatif. Tidak pandang manusia atau bukan, mukmin atau kafir, taat atau durhaka. Tak beda dengan “ilmu”, merupakan anugerah intelektual yang biasa dimiliki oleh manusia kebanyakan. Juga tidak sama dengan anugerah untuk para Rasul, lazimnya memakai kata “al-nubuwwah, hikmah, ayat, bayyinat dsb.”.

Berdasar uraian di atas, kebanyakan ulama’ menyatakan, bahwa Khidir adalah NABI, tidak sampai derajat Rasul dan tidak pula sekadar orang shalih. Nabi itu manusia penerima wahyu yang pasif dan tidak total beaktivitas di publik, tapi berperilaku sangat shalih dan memberi manfaat. Sedangkan Rasul, sangat aktif membimbing umat.

Ilmu yang dimiliki Khidir A.S. acap kali disebut sebagai “ilmu laduni”. Ilmu anugerah tanpa belajar, pinter tanpo sinau. Ada ilmu yang didapat dengan proses belajar, seperti kebiasaan kita. Itu disebut “ilmu muktasab”. Tapi ada juga ilmu yang didapat secara pulung, anugerah. Peparing soko ngersane Gusti Allah SWT. Tidak pernah belajar, tapi tiba-tiba pandai dan menguasai. Ini disebut ilmu laduny, atau ilmu mauhibah. Memang “wis potongane” demikian.

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Ilmu Laduny itu bisa dimiliki seseorang, karena memang benar-benar anugerah dari Allah SWT. Itu otorita Tuhan, seperti yang diberikan kepada hamba-Nya yang dipilih, semisal para nabi atau orang shalih lainnya. Kadang pula melalui doa orang tua atau pendahulunya.

Kok ada gus, putra kiai yang sejak kecil tidak pernah kelihatan mengaji atau belajar, bahkan ndablek, tapi tiba-tiba gedenya pinter dan menjadi kiai. Bisa jadi, mungkin itu berkah doa orang tuanya yang sangat dekat dengan Tuhan. Atau belajar malam hari saat manusia terlelap tidur. Meski sebentar, hanya sebagai syarat ikhtiar, tapi mantap dan berkah.

Kadang bisa diraih dengan cara riyadhah, mujahadah, mengolah diri melalui lelaku spiritual dengan penuh ketaqwaan kepada-Nya. Lalu, pada titik tertentu, Tuhan akan belas kasihan dan mengajari dia, memberinya dengan ilmu anugerah. Itulah sindir firman-Nya “wa ittaqu Allah, wa yu’allimukum Allah”. (al-baqarah:282).

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Sangat sedikit orang yang memiliki ilmu laduni. Atau hanya sedikit ilmu laduni yang bisa dimiliki orang. Artinya, mungkin hanya bidang tertentu dan dalam batas tertentu pula. Tapi percikan ilmu laduni sangat sering terjadi. Semisal tidak terbayang mengetahui hal tertentu atau berpikir soal tertentu, lalu tiba-tiba terterawang dalam pikirannya dan bisa berujar-ujar dengar lancar tentang hal tersebut.

Persoalan apakah kini Nabi Khidir A.S. masih hidup? Di dalam kitab tafsir klasik ada keterangan demikian, nabi misteri ini diberi anugerah umur panjang hingga hari kiamat dalam bingkai hidup kemisteriusan. Riwayatnya, beliau meminum “ma’ al-hayah”, air kehidupan, air sembung nyowo, langgeng jiwo kayak dalam kisah wayang kuno. Hingga jiwanya terus lelono dan bisa datang ke mana-mana. Itu kisah, cerita, dan bukan nash wahyu, baik alqur’an maupun al-hadis.

Alqur’an sendiri hanya mengisyaratkan, bahwa semua manusia utusan Tuhan mesti mati sebelum nabi Muhammad SAW diutus. (al-anbiya’:34). Tidak mungkin era Rasulullah SAW ada matahari kembar, dua utusan yang eksis dalam satu kurun waktu. Kalau era nabi sebelumnya boleh-boleh saja. Seperti Ya’qub A.S. dan Yusuf A.S., Dawud A.S. dan Sulaiman A.S., bapak - anak. Ibrahim A.S. dan Luth A.S., paman – keponakan. Musa A.S. dan Harum A.S., kakak-beradik.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Hal demikian untuk menjaga dan memurnikan eksistensi Muhammad SWT sebagai nabi pemungkas, khatam al-anbiya’ wa al-mursalin. Maka atas dasar ini, cukup kuat dikatakan bahwa nabi Khidir A.S. sudah wafat secara fisis sebelum nabi Muhammad SAW diutus.

Persoalannya kok ada orang yang mengaku bisa menjumpai nabi Khidir A.S. di sungai, di jalan, di al-masjid al-haram, di Arafah, di Madinah dan lain-lain? Itu sangat mungkin, tapi bukan jasad alami bawaan lahir, melainkan jelmaan, penampakan ruh beliau yang suci dan sesaat. Sebab semua nabi itu sejatinya hidup, (hum ahya’, bal ahya’) dan bisa dikonsultasi oleh orang tertentu. Tapi jangan sok bisa. Atau memang bisa, tapi jangan nggedabrus dan ngomong-ngomong wong.

Memang betul, puasa 6 hari di bulan Syawal itu punya nilai utama. Ini berdasarkan hadis laporan Saad bin Said, beliau bersabda:

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

“Barang siapa berpuasa di bulan Ramadan, kemudian ia teruskan puasa itu sampai 6 hari di bulan Syawal, maka pahalanya setara dengan puasa setahun”.

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO