Meng Wanzhou Huawei, Perang AS-Tiongkok dan Panglima Militer Tak Taat Presiden

Meng Wanzhou Huawei, Perang AS-Tiongkok dan Panglima Militer Tak Taat Presiden Dahlan Iskan. foto: dok. pri

Selama di tahanan rumah, Meng terlihat begitu tegar. Wajahnya selalu tampak sedikit tersenyum. Tidak pernah menunjukkan wajah yang tegang –pun saat dalam perjalanan menuju pengadilan. Gelang hitam di pergelangan kakinyi selalu disorot kamera wartawan.

Putri pendiri Ren Zhengfei itu ditangkap di bandara Vancouver saat transit menuju Meksiko. Dia sebenarnya sudah menghindari transit di kota Amerika. Tapi hubungan Tiongkok-Amerika memang lagi seperti Tom dan Jerry. Meng pun yang saat itu sudah menjabat direktur keuangan harus menjadi sandera Trump.

Seminggu ini Trump sendiri merasa dapat umpan yang berharga: yang saya pun sampai geleng-geleng kepala. Bahkan saya sampai ingat suasana menjelang dilengserkannya Presiden Gus Dur.

Trump, minggu ini, minta agar Panglima Militer Amerika Jenderal Mark Milley dihukum mati. Trump menganggap Jenderal Milley telah menjadi pengkhianat negara.

Jangankan Trump, saya pun tidak menyangka kejadian itu: di akhir masa jabatan Trump, ternyata Jenderal Milley menelepon Panglima Militer Tiongkok Jenderal Li Zuocheng. Isinya: Milley menjamin Amerika tidak akan mendadak berperang atau pun menyerang Tiongkok. Kalau pun ada perintah itu –dari presiden sebagai panglima tertinggi– Milley akan memberi tahu Li Zuocheng.

Kontak telepon serupa diulangi lagi oleh Jenderal Milley beberapa waktu setelah Trump kalah Pilpres dari Joe Biden.

Ternyata militer itu seperti itu. Pun di Amerika. Bisa tidak mau taat pada perintah presiden. Dengan caranya sendiri.

Militer merasa bertanggung jawab kepada keselamatan negara. Melebihi risiko apa pun bagi diri mereka.

Militer harus menjaga negara, termasuk dari kecerobohan dan emosi tak terkontrol dari seorang presiden.

Di Amerika telepon-menelepon rahasia tingkat tinggi seperti itu memang bisa bocor ke publik.

Tentu Trump marah besar. Sekarang. Tapi Trump sudah kehilangan taringnya.

Saya kembali membayangkan: apa yang terjadi kalau pembicaraan telepon seperti itu bocor saat Trump masih presiden.

Seorang presiden, tanpa militer, ternyata bukan siapa-siapa.

Memang kalau –waktu itu– sampai terjadi perang antara Amerika-Tiongkok dunia akan ikut hancur. Tentu militer punya analisis sendiri. Berdasar gelagat, tindakan dan ucapan Trump saat itu.

Bisa jadi perang akan diperintahkan oleh presiden –sekadar untuk membuat Trump memenangkan Pemilu. Untung, waktu itu Trump tetap optimistis bakal menang. Kalau sudah tahu akan kalah bisa jadi perang benar-benar jadi senjata kemenangannya. Seperti George Bush dulu. Atau juga Obama.

Bahwa pembicaraan telepon itu diulangi lagi, tentu ada analisis lain. Trump bisa batal kalah kalau terjadi keadaan darurat perang. Maka militer mencegah agar perang jangan sampai terjadi.

Di Amerika, minggu ini lagi seru memperdebatkan itu: Jenderal Milley pengkhianat negara atau penyelamat negara.

Di Disway, Meng juga pasti seru diramal: berita koran Kanada itu PHP atau bukan. (Dahlan Iskan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO