SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Kasus 57 pegawai KPK yang tak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) ternyata mau ditarik menjadi ASN di lingkungan Polri. Padahal sebelumnya mereka distigma sebagai kelompok Taliban. Apa benar stigma itu semata bagian dari upaya penyingkiran? Lalu untuk apa ditarik ke lingkungan Polri?
Tulisan wartawan kondang, Dahlan Iskan, di bawah ini menarik dicermati. Namun agar bisa membaca tuntas, khusus pembaca BaBe, sebaiknya klik tulisan lihat artikel asli di bagian akhir tulisan ini. Selamat membaca:
Baca Juga: Dampingi Kapolri dan Panglima TNI, Pj Adhy Tinjau Persiapan Natal 2024 di Gereja Bethany Surabaya
ANAK buah yang baik adalah yang bisa mencarikan jalan keluar problem atasannya. Kian sering kian baik.
Anak buah yang payah adalah yang suka melempar bola api ke atas. Kian sering kian payah.
Dua prinsip itu yang tiba-tiba teringat ketika Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo memberikan keterangan pers ini: akan menjadikan 57 orang yang diberhentikan dari KPK sebagai aparatur sipil negara di lingkungan Polri.
Baca Juga: KPK Periksa Bupati Karna di Polres Bondowoso, Sejumlah Nama ini Turut Masuk Jadwal
Asumsi saya: Kapolri tahu bahwa Presiden Jokowi, atasannya itu, lagi menghadapi si malakama. Di satu pihak presiden terikat janji untuk memperkuat KPK.
Di sisi lain ada arus besar di bawahnya untuk mengubah KPK. Sampai-sampai dimunculkanlah stigma Taliban. Bahkan sampai diciptakan taktik agar para Taliban itu tersingkir dari KPK: harus dites nilai-nilai kebangsaan.
Hasilnya, Anda sudah tahu: 57 orang itu tidak lulus tes. Harus diberhentikan dari KPK.
Baca Juga: Peringatan Harkodia di Pasuruan, Pj Gubernur Jatim Tekankan Pilar Utama Pencegahan Korupsi
Saya tidak tahu mereka itu dianggap Taliban 1.0 atau 2.0. Jangan-jangan mereka itu Taliban 09.0.
Yang jelas simpati pada para Taliban itu tetap besar –pun bila rasa simpati itu hanya bisa diteriakkan keras-keras di dalam hati.
Saya kenal banyak pemimpin yang memiliki problem simalakama seperti itu. Mulai dari pemimpin yang sangat tinggi sampai yang kelas bawah.
Baca Juga: Menteri ATR/BPN Hadiri Puncak Hakordia 2024
Seorang pemimpin umumnya punya keinginan baik. Tapi ia juga punya lingkungannya sendiri. Belum tentu semua yang ada di lingkungannya seirama dengan sang pemimpin.
Sering kali sang pemimpin ingin juga ''menghukum'' lingkungannya itu. Tentu dengan cara yang ''canggih''. Atau dengan cara muter-muter dulu. Sering juga dengan cara meminjam tangan orang lain.
Sang pemimpin umumnya ingin menjaga perasaan semua kelompok yang ada di lingkungannya. Juga keinginan kelompok di luar lingkungannya.
Baca Juga: JPU KPK Kabulkan Pembukaan Rekening Gus Muhdlor
Keseimbangan lingkungan harus dijaga dengan seharmonis-harmonisnya. Pemimpin selalu berpikiran untuk menghindari guncangan. Guncangan di luar, lebih-lebih di dalam.
Tapi sang pemimpin tetaplah manusia. Ia hanya satu orang. Dengan satu kepala, dua tangan, dan dua kaki. Ketersediaan waktunya pun sama dengan siapa saja: hanya 24 jam.
Maka kalau ada anak buah yang bisa tahu kerumitan yang lagi dihadapi atasannya itulah anak buah yang baik. Lebih baik lagi kalau bawahan itu punya sikap: tidak mau menambah kerumitan atasan. Dengan cara kerja keras dan berprestasi di bidangnya.
Baca Juga: Polsek Prajurit Kulon Ikuti Peluncuran Gugus Tugas Polri Mendukung Program Ketahanan Pangan
Di antara yang baik-baik itu, yang terbaik adalah: kalau anak buah bisa ikut menyelesaikan problem atasannya.
Mengetahui adalah baik. Tidak menambah kerumitan adalah lebih baik. Bisa ikut menyelesaikan adalah yang terbaik.
Saya pun, diam-diam, memuji langkah Kapolri itu: bisa ikut menyelesaikan kerumitan atasannya.
Baca Juga: Silaturahmi Pj Gubernur Jatim, Kapolri dan Panglima TNI Singgung Insiden Berdarah di Sampang
Memang bisa saja Kapolri dianggap sedang melemparkan bola api ke samping: orang yang sudah dinyatakan tidak lulus tes kebangsaan kok dijadikan pegawai negeri di lingkungan Polri –lembaga yang seharusnya berada di barisan depan soal kebangsaan.
Saya bisa membayangkan betapa riuh reaksi dari lembaga yang ada di samping Polri. Bisa saja Kapolri dianggap cari muka. Atau Kapolri dianggap mencampakkan sistem yang baru saja dipakai menyisihkan para Taliban di KPK.
Kemarin semuanya baru jelas: Presiden Jokowi sendiri yang menghendaki itu. Agar 57 Taliban itu dijadikan ASN di lingkungan Polri. Itu sesuai dengan keterangan resmi Mensesneg Pratikno kepada media kemarin.
Baca Juga: Kapolri dan Panglima TNI Luncurkan Gugus Tugas Polri Mendukung Program Ketahanan Pangan di Sidoarjo
Maka selamatlah posisi sulit Kapolri di mata sebelah-sebelahnya.
Ternyata bisa terjadi juga: atasan harus menyelesaikan kerumitan yang dihadapi bawahan.
Sungguh menarik perkembangan ini: untuk apa Presiden Jokowi sampai punya ide menampung 57 orang Taliban itu di lingkungan Polri? Apa tugas yang dibayangkan Presiden untuk mereka?
Sangkaan baik saya: Presiden Jokowi akan melakukan langkah besar pembenahan di bidang hukum. Bukankah sejauh ini reputasi pemerintah dalam bidang hukum tergolong ''rapor merah?''.
Mengapa saya sampai punya prasangka baik seperti itu? Indikasi pertama: saya dengar Kapolri yang baru ini dilarang berhubungan dengan markus –makelar kasus. Saya dengar, kini, banyak markus yang belum berhasil bertemu Kapolri.
Indikasi kedua: 57 Taliban itu kebanyakan adalah mantan penyelidik/penyidik. Mereka teruji dalam menghindari markus.
Siapa tahu mereka akan diminta untuk ikut memperkuat sistem di Polri –meski apakah itu bisa dilakukan oleh hanya 57 orang.
Yang jelas Polri, Kejaksaan dan Kehakiman harus menjadi baik. Harus kita ingat bahwa KPK itu lembaga sementara. Jangan menjadi lembaga permanen –akibat Polri dan Kejaksaan dan Kehakiman belum bisa diandalkan.
Siapa tahu kini pembenahan hukum kita akan dimulai dari Polri. Kita lihatlah perkembangan setelah ini.
Masalahnya: apakah 57 orang Taliban itu mau menjadi ASN di Polri. Mereka bukanlah orang yang sekadar sedang mencari lowongan pekerjaan. Mereka adalah Taliban –dengan prinsip kuat mereka.
Baiklah. Kalaupun mereka menolak, Presiden sudah terlihat menjadi pemimpin yang baik hari. (Dahlan Iskan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News