>>>>>> Rubrik ini menjawab pertanyaan soal Islam dalam kehidupan sehari-hari dengan pembimbing Dr. KH. Imam Ghazali Said. SMS ke 081357919060, atau email ke bangsa2000@yahoo.com. Jangan lupa sertakan nama dan alamat. <<<<<<
Baca Juga: Saya Dilamar Laki-Laki yang Statusnya Pernah Adik, Keluarga Melarang, Bagaimana Kiai?
Pertanyaan: السلام عليكم. Bolehkah bersandar pada hadits-hadits yang dishahihkan oleh seorang ulama tapi didhaifkan ulama lain? Apakah sebagai orang awam, kami harus benar-benar berlepas diri dari hadits-hadits yang ulama ada yang mendhaifkan meskipun ada juga yang menshahihkan?
Contohnya, hadits mengenai penangguhan catatan amal buruk selama beberapa waktu yang diriwayatkan oleh Tabrani (dalam Al-Mu’jam Al-Kabeer no. 7677) dan Baihaqi (dalam Shu’ab Al-Eemaan no. 6648-6650), yang dinilai shahih oleh Shaykh Al-Albaani dalam Shahih Al-Jami’ 2/212, namun, Al-‘Iroqi mendhoifkan hadis tersebut dengan alasan Sanadnya ghorib sebagaimana dijelaskan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah. Salah satu perawinya yang bernama Urwah bin Ruwaim banyak melakukan irsal dan tidak pernah dikenal meriwayatkan dari Al-Qosim bin Abi Abdirrohman. Di dalam sanadnya juga ada perawi yang bernama ‘Ashim bin Roja’ dan perawi ini shoduq yahim, sehingga dinilai lin oleh Al-‘Iroqi.
Affaan, Jacksonheights, Queens, New York
Baca Juga: Skema Murur, Mabit di Muzdalifah Wajib atau Sunnah Haji? Ini Kata Prof Kiai Imam Ghazali Said
Jawaban:
Bapak Affaan terima kasih atas pertanyaan yang ada ajukan. Semoga Anda di sana dalam kondisi sehat selalu. Amirul Mukminin di bidang hadis menegaskan:
ﻗﻠﺖ ﺗﻌﻠﻴﻞ اﻷﺋﻤﺔ ﻟﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﻣﺒﻨﻲ ﻋﻠﻰ ﻏﻠﺒﺔ اﻟﻈﻦ ﻓﺈﺫا ﻗﺎﻟﻮا ﺃﺧﻄﺄ ﻓﻼﻥ ﻓﻲ ﻛﺬا ﻟﻢ ﻳﺘﻌﻴﻦ ﺧﻄﺆﻩ ﻓﻲ ﻧﻔﺲ اﻷﻣﺮ ﺑﻞ ﻫﻮ ﺭاﺟﺢ اﻻﺣﺘﻤﺎﻝ ﻓﻴﻌﺘﻤﺪ
Baca Juga: Minta Kebijakan Murur Dievaluasi, Prof Kiai Imam Ghazali: Hajinya Digantung, Tak Sempurna, Jika...
Saya (Ibnu Hajar [852 H]) katakan: "Penilaian cacat terhadap hadis oleh para ulama di bidang hadis adalah berdasarkan prasangka yang kuat (ijtihadi). Jika ulama mengatakan "Fulan salah dalam hal ini" maka belum tentu salah pada kenyataannya, tapi sesuatu yang diduga kuat sehingga dijadikan pedoman (Fath Al-Bari, 1/585)
Ulama ahli hadis, Syekh Al-Ajluni (1162 H), juga mempertegas:
ﻫﺬا ﻭاﻟﺤﻜﻢ ﻋﻠﻰ اﻟﺤﺪﻳﺚ ﺑﺎﻟﻮﺿﻊ ﺃﻭ اﻟﺼﺤﺔ ﺃﻭ ﻏﻴﺮﻫﻤﺎ ﺇﻧﻤﺎ ﻫﻮ ﺑﺤﺴﺐ اﻟﻈﺎﻫﺮ ﻟﻠﻤﺤﺪﺛﻴﻦ ﺑﺎﻋﺘﺒﺎﺭ اﻹﺳﻨﺎﺩ ﺃﻭ ﻏﻴﺮﻩ، ﻻ ﺑﺎﻋﺘﺒﺎﺭ ﻧﻔﺲ اﻷﻣﺮ ﻭاﻟﻘﻄﻊ ﻟﺠﻮاﺯ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ اﻟﺼﺤﻴﺢ ﻣﺜﻼ - ﺑﺎﻋﺘﺒﺎﺭ ﻧﻈﺮ اﻟﻤﺤﺪﺙ - ﻣﻮﺿﻮﻋﺎ ﺃﻭ ﺿﻌﻴﻔﺎ ﻓﻲ ﻧﻔﺲ اﻷﻣﺮ، ﻭﺑﺎﻟﻌﻜﺲ ﻭﻟﻮ ﻟﻤﺎ ﻓﻲ اﻟﺼﺤﻴﺤﻴﻦ ﻋﻠﻰ اﻟﺼﺤﻴﺢ، ﺧﻼﻓﺎ ﻻﺑﻦ اﻟﺼﻼﺡ ... ﻭﻣﻊ ﻛﻮﻥ اﻟﺤﺪﻳﺚ ﻳﺤﺘﻤﻞ ﺫﻟﻚ ﻓﻴﻌﻤﻞ ﺑﻤﻘﺘﻀﻰ ﻣﺎ ﻳﺜﺒﺖ ﻋﻨﺪ اﻟﻤﺤﺪﺛﻴﻦ، ﻭﻳﺘﺮﺗﺐ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺤﻜﻢ اﻟﺸﺮﻋﻲ اﻟﻤﺴﺘﻔﺎﺩ ﻣﻨﻪ ﻟﻠﻤﺴﺘﻨﺒﻄﻴﻦ
Baca Juga: Istri Tak Penuhi Kebutuhan Biologis, Saya Onani, Berdosakah Saya?
"Perlu dipahami bahwa penilaian sebuah hadis dengan status palsu, sahih, atau lainnya adalah berdasarkan lahiriah saja bagi para ulama ahli hadis, karena aspek sanad dan lainnya, bukan penilaian kenyataannya dan kepastian. Sebab boleh jadi hadis sahih dalam pandangan ahli hadis, namun kenyataannya adalah hadis palsu. Demikian pula sebaliknya, meskipun dalam Bukhari dan Muslim, tapi pernyataan berbeda dikemukakan oleh Ibnu Shalah... Karena hadis tersebut memiliki kemungkinan sahih dan tidak, maka hadis tersebut diamalkan berdasarkan ketetapan dari ahli hadis dan otomatis memiliki hukum syar'i yang disimpulkan oleh para ulama yang menggali hukum dari hadis tersebut" (Kasyf Al-Khafa', 1/9)
Sebagai contoh, ketika Al-Hafidz As-Suyuthi (911 H) menyampaikan dalam Mukadimah Al-Jami' Ash-Shaghir, bahwa beliau tidak akan menyampaikan riwayat hadis dari perawi tunggal yang pendusta, ternyata disanggah oleh Al-Hafidz Ahmad Al-Ghummari (1380 H). Bahwa kenyataannya dalam kitab tersebut banyak hadis dengan status perawi pendusta. Padahal dalam kitab As-Suyuthi lainnya beliau mengakui sebagai hadis palsu. Akan tetapi, kata Syekh Al-Ghummari, perubahan penilaian tersebut boleh jadi karena lupa atau Ijtihad yang berubah (Al-Mughir, 1/51)
Contoh konkret yang tidak sekadar penilaian palsu dalam wacana tetapi justru diamalkan, ada sebuah hadis yang populer dan kebanyakan ulama ahli hadis dan Fikih menilai palsu, adalah hadis tentang Salat Nishfu Sya'ban dan dicantumkan dalam kitab Ihya' Ulumiddin. Akan tetapi dalam pandangan ulama lain tetap diamalkan, yaitu oleh Imam Ibnu Qudamah (629 H) dari Mazhab Hambali:
Baca Juga: Rencana Nikah Tak Direstui karena Weton Wanita Lebih Besar dan Masih Satu Buyut
ﻗﺎﻝ اﻟﺤﺎﻓﻆ اﻟﻀﻴﺎء: ﻭﻛﺎﻥ اﻟﻠﻪ ﻗﺪ ﺟﻤﻊ ﻟﻪ ﻣﻌﺮﻓﺔ اﻟﻔﻘﻪ، ﻭاﻟﻔﺮاﺋﺾ، ﻭاﻟﻨﺤﻮ، ﻣﻊ اﻟﺰﻫﺪ ﻭاﻟﻌﻤﻞ. ﻗﺎﻝ: ﻭﻛﺎﻥ ﻻ ﻳﻜﺎﺩ ﻳﺴﻤﻊ ﺩﻋﺎء ﺇﻻ ﺣﻔﻈﻪ ﻭﺩﻋﺎ ﺑﻪ، ﻭﻻ ﻳﺴﻤﻊ ﺫﻛﺮ ﺻﻼﺓ ﺇﻻ ﺻﻼﻫﺎ، ﻭﻻ ﻳﺴﻤﻊ ﺣﺪﻳﺜﺎ ﺇﻻ ﻋﻤﻞ ﺑﻪ. ﻭﻛﺎﻥ ﻳﺼﻠﻲ ﺑﺎﻟﻨﺎﺱ ﻓﻲ ﻧﺼﻒ ﺷﻌﺒﺎﻥ ﻣﺎﺋﺔ ﺭﻛﻌﺔ
Al-Hafidz Dhiyauddin (643 H) berkata: "Allah telah menghimpun pengetahuan fikih, faraidl dan nahwu kepada Ibnu Qudamah, juga sifat zuhud dan beramal. Hampir tidak pernah Ibnu Qudamah mendengar doa kecuali ia hapal dan membacanya. Ia tidak pernah mendengar tentang salat kecuali ia melakukannya. Dan ia tidak pernah mendengar sebuah hadis kecuali ia amalkan. Ia menjadi imam Salat 100 rakaat di malam Nishfu Sya'ban" (Al-Hafidz Ibnu Rajab, Dzail Thabaqat Al-Hanabilah, 3/113)
Wallahualam Bissawab
Baca Juga: Peletakan Batu Pertama Perpustakaan Khofifah, Prof Kiai Imam Ghazali Berharap seperti Al-Azhar Mesir
(Jawaban dari KH Ma'ruf Khozin (Ketua Aswaja Centre) PWNU Jatim, sepengetahuan pengasuh rubrik Prof. Dr. KH. Imam Ghazali Said)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News