Oleh: Wahidul Anam*
Munculnya Surat Edaran Menteri Agama No 5 tahun 2022 tentang pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musala menuai kontroversi. Ada sebagian umat Islam yang menolak, sebaliknya sebagian yang lain mendukung.
Baca Juga: Sejarah Pesantren Dibelokkan, Menag: Pesantren Harus Jadi Tuan Rumah di Republik Ini
Salah satu landasan teologis yang dijadikan dasar para penolak surat edaran tersebut adalah hadits Nabi Muhammad SAW riwayat Abu Hurairah. Adapun potongan redaksi hadits tersebut adalah sebagai berikut الْمُؤَذِّنُيُغْفَرُلَهُمَدَىصَوْتِهِ, yang artinya “Muadzin (orang yang mengumandangkan adzan) diberi ampunan untuknya sejauh suaranya”.
Menurut data yang penulis peroleh, hadits tersebut diriwayatkan oleh banyak mukharij hadits dan sanad hadits tersebut dapat dipertanggungjawabkan keotentikannaya, sehingga hadits tersebut bernilai shahih. Sebagian orang memahami hadits tersebut bahwa suara adzan harus dikeraskan. Semakin keras adzan yang dikumandangkan, maka sang muadzin semakin banyak mendapatkan ampunan dari Allah SWT.
Pertanyaannya adalah, apakah pemaknaan hadits yang demikian sudah tepat, atau ada aspek lain yang perlu diperhatikan dalam memberikan makna terhadap hadits tersebut. Dalam teori tafsir, ada beberapa pertimbangan yang harus dijadikan landasan berpikir dalam memahami teks. Dalam salah satu teori hermenutika misalnya, dalam memahami teks, seorang penafsir harus memahami teks, konteks, dan kontekstualisasi teks.
Baca Juga: Ulama NU Asal Sulsel Ini Terkejut Ditunjuk Prabowo Jadi Menteri Agama
Secara tekstual, hadits di atas mendorong umat Islam untuk mengeraskan suara adzan. Semakin suara adzan itu keras dan didengarkan oleh banyak orang, maka dosa-dosa orang akan diampuni. Bahkan dalam lanjutan teks hadits di atas, jika seorang muadzin yang mengumandangkan adzan dapat menghadirkan satu orang saja, maka akan dicatat untuk muadzin tersebut sebanyak dua puluh shalat dan diberi ampunan di antara dua shalat. Ini memberikan pengertian bahwa mengeraskan adzan merupakan sebuah keniscayaan, walaupun bukan sebuah kewajiban. Ada sebagian Imam Madzhab yang mensunnahkan mengeraskan adzan tersebut.
Selanjutnya, seorang penafsir juga harus memperhatikan konteks di mana hadits itu beredar. Kalau melihat situasi masyarakat Arab saat itu, maka cara pandang yang digunakan adalah cara pandang di mana seolah-olah seorang penafsir hidup pada zaman Nabi Muhammad SAW, suatu masa di mana belum ada teknologi yang berkembang sebagaimana saat ini.
Menurut Rusli Kusma (2017), percakapan dengan berteriakan sepadan dengan 50 Db. Seandainya volume suara adzan yang dikumandangkan oleh seorang muadzin yang tidak menggunakan sound system disepadankan dengan 50 Db, maka dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya adzan yang dilakukan para sahabat pada zaman Nabi Muhammad juga tidak lebih dari ukuran manusia pada umumnya, yaitu 50 Db.
Baca Juga: Menkominfo dan Menag Dianggap Adu Domba Umat Beragama, Umat Kristiani Tak Persoalkan Adzan
Ini memberi pengertian bahwa panggilan adzan diutamakan bagi mereka yang ada di sekitar masjid atau mushala untuk melaksanakan shalat berjam’ah di masjid atau mushala di mana suara adzan itu dikumandangkan (lihat juga Ahmad Muntaha AM, 2018).
Bagaimana kontekstualisasi hadits tersebut dalam negara pluralis seperti Indonesia?
Sebagaimana kita maklumi, bahwa Indonesia adalah negara berkembang dengan berbagai macam suku, agama, dan budaya. Maka untuk merawat harmoni antara umat beragama dibutuhkan sikap saling menghargai antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok lainnya, antara satu penganut agama dengan penganut agama lainnya, sehingga dibutuhkan sikap teposeliro, dan menghargai keragaman. Dalam konteks inilah surat edaran Menteri Agama No 5 tahun 2022 tentang pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musala diterbitkan.
Baca Juga: Skema Murur, Mabit di Muzdalifah Wajib atau Sunnah Haji? Ini Kata Prof Kiai Imam Ghazali Said
Bila Surat Edaran Menteri Agama No 5 tahun 2022 dicermati dengan pemikiran yang jernih, justru surat edaran tersebut memberikan keleluasaan dan menjamin dakwah Islam secara konstitusional. Umat Islam, yang secara geografis berada di daerah mayoritas, diharapkan dapat menghargai keragaman dan mengormati yang minoritas.
Umat Islam yang mayoritas juga harus memastikan bahwa penggunaan pengeras suara tidak menimbulkan potensi gangguan ketenteraman, ketertiban, dan keharmonisan antar warga masyarakat. Demikian juga ketika umat Islam dalam posisi minoritas, maka dengan Surat Edaran Menteri Agama No 5 tahun 2022 dapat dijadikan sebagai landasan hukum untuk melaksanakan kegiatan keagamaan di mana mereka berdomisili. Sehingga pada saat umat Islam Indonesia ini minoritas di daerah tertentu, ada jaminan ketenteraman dan ketenangan dalam menjalankan ibadah, karena Negara melalui Kementerian Agama RI hadir untuk menjamin hal tersebut.
Di beberapa Negara Islam, seperti Arab Saudi, Mesir, Bahrain, dan Malaysia (Merdeka.com, 2018), penggunaan pengeras suara juga diatur secara ketat. Di Arab Saudi, sejak tahun 2015, dilarang keras menggunakan pengeras suara bagian luar, kecuali untuk adzan, shalat Jum’at, sholat ‘Idul Fitri, dan sholat ‘Idul Adha.
Baca Juga: Kemenag: 17 Calon Haji Indonesia Berpulang
Bahkan di Mesir, keputusan pemerintah melarang pengeras suara di masjid, mendapat dukungan dari ulama al-Azhar. Lebih lanjut menurut al-Azhar, suara adzan yang mengganggu pasien di rumah sakit atau manula, telah dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.
Akhirnya, penulis mengajak kepada seluruh umat Islam, agar memahami surat edaran Menteri Agama No 5 tahun 2022 dengan jernih dan komprehensif sehingga kerukunan antar umat beragama di Indonesia dapat terawat dengan baik. Sikap saling menghormati, saling menghargai dan menjaga keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus kita kedepankan.
Wallahua’lam
Baca Juga: Sore Ini Pengurus Ansor 2024-2029 Dilantik di Istora Senayan, Undang Jokowi dan Prabowo
*Penulis adalah Dosen IAIN Kediri
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News