Oleh: Mukhlas Syarkun---Para pendiri bangsa menyadari bahwa kemajmukan, baik dari segi suku, agama dan ideologi, menyimpan potensi konflik sosial. Oleh sebab itu, para tokoh pendiri itu telah meletakkan pondasi berbangsa dan bernegara sebagai antisipasi agar konflik sosial dapat diminimalisir.
Berikut ini ditampilkan kutipan diskusi para tokoh pendiri bangsa, sebagaimana penuturan oleh KH. Masykur (saksi sejarah). Beliau menuturkan:
Baca Juga: Ajaib, Pohon Sahabi, Tempat Rasulullah Berteduh, Kini Masih Tegak Subur di Yordania
“….di rumahnya Mohammad Yamin, saya (Kiai Masykur), Wahid
Hasyim, Kahar Mudzakkir dari Yogyakarta, bertiga, berempat dengan
Yamin sedang berdiskusi, disusul Bung Karno yang datang kemudian…”
Baca Juga: Khofifah-Emil Kenang Sosok Bung Karno dan Kedekatannya dengan Ulama NU
Setelah membahas sila pertama kemudian Bung Karno sebagai moderator melanjutkan diskusinya, Berikut ini :
“… Bangsa Indonesia itu satu sama lain memang begitu karakternya, kalau datang dikasih wedang, kalau waktu makan dikasih makan. Pokoknya begitu toleransinya, begitu rupa, itulah bangsa Jawa dulu, sampai-sampai kalau sama-sama menemani.’
“Kalau begitu”, kata Bung Karno, “bangsa Indonesia itu dulu bangsa yang perikemanusiaan. Satu sama lain suka menolong, kerjasama, perikemanusiaan”.
Baca Juga: Kaesang Turun ke Blitar, Menangkan Paslon Kepala Daerah yang Diusung PSI
“Lantas kita, sama (Wahid Hasyim), menanggapi…. “Kemanusiaan boleh, tapi harus yang adil. Jangan kalau diri sendiri salah lalu tak diapa-apakan, sementara kalau orang lain yang salah dihantam. Tidak adil itu. Kata Rasulullah: Kalau Siti Fatimah mencuri, saya potong tangannya: Siti Fatimah putri Rasulullah. Jadi harus adil. Biar anaknya, kalau salah, ya salah, dihukum. Ini Islam. Ya, ini memang yang benar”.
Lantas ada lagi. Bung Karno katakan: “Siapa dulu…?”
Kahar Muzakkir mengatakan: “Ada orang yang punya kebiasaan tangannya tidak mau disentuh dengan orang bawahan. Kalau memberi apa-apa dilemparkan. Umpamanya orang bawahan, pengemis. Kasih uang, dilemparkan saja. Kalau dalam Islam itu tidak bisa. Di dalam Islam, memberi itu harus diserahkan dengan baik. Jadi perikemanusiaan yang adil dan beradab. Adabnya ini tadi…”
Baca Juga: BPIP Sosialisasi Pembinaan Ideologi Pancasila di Pasuruan
Demikian isi dialog para tokoh yang kemudian menjadi sila kedua dari Pancasila kemanusiaan yang adil dan beradab.
Inilah nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat kita sejak dahulu kala, dan oleh para tokoh pendiri bangsa ini perlu dilestarikan sebagai bagian penting dalam menjaga persatuan dan keakraban sosial.
Dengan nilai kemanusiaan, maka akan lahir sikap empati dan peduli, dengan menegakan keadilan, maka hukum rimba kedzaliman dapat dielakkan, dengan sikap beradab, maka perasaan riang gembira bisa diaktifkan.
Baca Juga: Pjs Bupati Kediri Ingatkan ASN Jaga Netralitas di Pilkada 2024
Ketiganya saling terkait menjadi faktor penting mewujudkan keakraban sosial, jika tidak ada keadilan, maka akan berubah menjadi kerawanan sosial, karena hukum rimba akan berleluasa.
Itu sebabnya Nabi Muhammad menegaskan bahwa struktur sosial, salah satunya, adalah keadilan para pemimpin. Keadilan menjadi kunci agar keharmonisan dan keakraban sosial bisa diwujudkan.
Memang mudah diucapkan tapi susah diwujudkan bukan.
Baca Juga: Amanat Plt Bupati Lamongan di Peringatan Hari Kesaktian Pancasila
Demikianlah, nilai Islam dominan dalam dialog Bung Karno, Wahid Hasyim, Yamin, Kahar dan Kiai Masykur soal Pancasila. Dan ini sekaligus menunjukkan bahwa tokoh-tokoh Islam sangat berperan penting dalam perumusan dam kelahiran Pancasila.
Jakarta, 10 Ramadhan
Penulis alumnus Universitas Malaya Malaysia jurusan Syariah. Kini banyak menulis buku.
Baca Juga: Pj Gubernur Jatim Ajak Teladani Nilai Pancasila Sebagai Semangat Wujudkan Indonesia Emas 2045
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News