Tak Tamat SMA, Datuk Low Miliki Tambang Seluas Daratan Singapura, di Kalimantan

Tak Tamat SMA, Datuk Low Miliki Tambang Seluas Daratan Singapura, di Kalimantan Dahlan Iskan

KALIMANTAN, BANGSAONLINE.com Pengusaha asal , Tuck Kwong, tampaknya ingin memanfaatkan peluang secara maksimal untuk menguras di Indonesia. Ia mau meningkatkan produksi menjadi 60 juta ton setahun. Langkah besar itu tentu akan menuai keuntungan berkali-kali lipat. Bayangkan, dua tahun terakhir ini saja kekayaan dia sudah naik Rp 30 triliun.

Nah, dengan menaikkan produksi menjadi 60 juta ton se tahun, tinggal mengalikan saja. Padahal ia secara pendidikan tak tamat SMA. "Meskipun drop out, Anda masih sempat kuliah. Saya ini pintunya universitas saja tidak pernah lihat," ujar kepada Dahlan Iskan, wartawan kondang yang sudah menulis tiga serial tentang .

Baca Juga: Kantor Imigrasi Blitar Deportasi Gadis Berkewarganegaraan Ganda ke Singapura

Karena itu tak peduli meski harus mengeluarkan Rp 3 triliun untuk membangun infrastruktur untuk akses: jalan atau landasan atau apa saja. Toh uang Rp 3 triliun bagi dia sama dengan selilit. Apalagi dia sudah memiliki tambang lebih luas dari daratan , negara asalnya. Di pedalaman .

Tapi konsekuensinya, tentu di Indonesia – terutama – akan terkuras habis. Lalu untuk apa infrastruktur atau jalan dan landasan itu selanjutnya?

Silakan baca tulisan wartawan kondang, Dahlan Iskan, di HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.com hari ini, Kamis 9 Juni 2022. Selamat membaca (PENGANTAR REDAKSI BANGSAONLINE.com)

Baca Juga: Pulang Merantau, Pria di Surabaya Ditemukan Tewas Gantung Diri

KELIHATANNYA seperti mustahil. Tapi inilah langkah besar Tuck Kwong berikutnya. Di usianya yang 74 tahun: meningkatkan produksi menjadi 60 juta ton setahun.

Angka itu hampir dua kali lipat dari produksi grup Bayan Resources tahun lalu. Mustahil? Ia punya akal –akalnya orang kaya: ia bangun jalan baru. Sepanjang 100 km.

Jalan baru itu langsung ke arah sungai Mahakam. Lebih besar dan dalam. Bisa angkut lebih banyak - -dibanding hanya lewat sungai Belayan dan Senyiur seperti selama ini.

Baca Juga: Bukan Main! Punya 16 Ribu Santri, Ulama Besar Miliarder ini Sempat Ditolak 3 Cewek karena Miskin

Ujung jalan baru itu memang di Muara Wahau. Jauh di hulu Mahakam. Di pedalaman sekali. Lebih hulu dari Kotabangun. Bahkan lebih hulu lagi dari Muara Muntai. Berarti lebih hulu dari dua danau besar di sungai itu: Danau Melintang dan Danau Semayang.

Lebih jauh tapi lebih menguntungkan.

Jalan baru itu bukan baru akan dibangun, tapi sedang dibangun. Anggaran pembangunannya Rp 3 triliun lebih. Harus membangun pula tujuh jembatan –salah satunya jembatan besar melintasi sungai Belayan.

Baca Juga: Indonesia Berkibar di Singapura, Raih 11 Emas dalam Asia Arts Festival 2023

Saya menelusuri jalan itu. Di bagian yang sudah jadi. Besar. Lebar. Lurus. Kuat. Kelak, kalau pecah perang, misalnya, jalan ini bisa untuk landasan pesawat tempur. Kelas apa pun.

Jembatan sungai Belayan itu juga sudah selesai. Akan diserahkan ke masyarakat. Bayan memang membangun dua jembatan sungai Belayan. Bersebelahan. Yang satu untuk umum. Satunya lagi khusus untuk –sedang dalam pengerjaan.

Jembatan untuk umum itu bisa disebut jembatan masa depan. Belum ada sambungan jalan di sebelah ''sono"-nya. Tidak ada juga desa atau kota lain di ''sono''. Yang ada kebun sawit melulu.

Baca Juga: IDI Disponsori Singapura dan Malaysia?

Jalan umum itu juga dibangun oleh Bayan. Juga sepanjang 100 km. Akan diserahkan ke masyarakat juga. Letak jalan umum ini juga di sebelah jalan .

Jadi, di samping membangun ''landasan pesawat'' sepanjang 100 km, Bayan juga membangun jalan masyarakat sepanjang itu pula.

Itu melebihi Jakarta-Subang. Atau Surabaya-Malang. Hampir sama dengan Medan ke Danau Toba. Atau, ini dia: lebih panjang dari panjangnya pulau . Tanah itu, dari pantai timur ke pantai barat hanya 50 Km. Dari utara ke selatan lebih pendek lagi: 35 km.

Baca Juga: Sikapi Banyaknya WNI Produktif Berpindah Kewarganegaraan, Imigrasi Keluarkan Strategi Global Talent

Jadi, masyarakat mana yang akan melewati jalan 100 km itu nanti? Bukankah hampir tidak ada penduduk di kawasan itu? Mungkin justru truk pengangkut sawit yang akan lebih banyak melewatinya. Sawit rakyat dan sawit perusahaan lain.

Dalam perjalanan itu saya ikut mobil yang dikemudikan Pak Yudiansyah. Ia asli kampung Gunungsari, di pinggir sungai Belayan. Ia sudah turun temurun tinggal di situ. Sukunya Kutai. Ia punya kebun sawit lebih 100 hektare. Sawit itu sudah berumur 18 tahun. Sudah bisa jadi sumber penghidupan. "Sekarang orang Dayak pun sudah banyak yang punya kebun sawit," ujar Yudi.

Saya diajak keliling tambang. Lalu menyeberangi sungai Belayan dengan feri. Mobil Pak Yudiansyah ikut naik feri: Pajero Sport. Feri itu ternyata miliknya sendiri. Ia punya lima kapal feri. Yakni jenis yang bisa untuk angkut 5 mobil. Salah satu ferinya terbuat dari kayu: bisa untuk dua mobil.

Baca Juga: Kanwil Kemenkumham Jatim Deportasi WN Singapura yang Jadi Dosen di Tulungagung

Lalu saya diajak ke jembatan baru yang sedang dibangun Bayan itu. Yang lokasinya jauh di hulu dari jalur penyeberangan ferinya. "Jembatan ini tidak mengganggu feri saya. Terlalu jauh, lebih 6 km," katanya.

Ikan besar harus didapat dengan kail besar. Investasi jalan Rp 3 triliun agar bisa angkut lebih banyak. Tapi investasi Rp 3 triliun itu mungkin hanya akan dimanfaatkan selama 25 tahun. Habis itu jalan tersebut ditinggalkan. Batu bara habis. Maka perencanaan wilayah masa depan di pedalaman Kaltim bisa memanfaatkan aset berharga ini. Yakni jalan peninggalan Bayan sepanjang 100 km. Apalagi jalan itu nyambung dengan jalan menuju sungai Senyiur yang 70 km.

Tapi belum tahu kapan di situ akan habis. Pun dengan produksi yang dipacu seperti itu.

Baca Juga: 20 Mahasiswa dari Singapura Belajar Buat Tanaman Hidroponik di Kota Batu

Mungkin pula Bayan tidak akan menggunakannya sampai 25 tahun. Tuck Kwong kini punya ide yang lain lagi. Yang lebih out of the box: membangun rel kereta api dari Tabang ke laut Selat Makassar di Sangatta.

Itu berarti dari hulu sungai Belayan, melintasi hulu sungai Senyiur, terus ke atasnya Bontang, berakhir di laut Selat Makassar. Panjang rel itu sekitar 100 km juga. Biayanya bisa sampai Rp 5 triliun. "Lebih mahal bikin jalur kereta api daripada jalan raya," ujar Haji Aseng yang membawa saya ke kawasan ini (lihat Disway edisi Minggu lalu).

Jalan kereta api itu bukan rencana di awang-awang. Bayan sudah mengurus izinnya. Sudah selesai. Ini sebenarnya rencana lama Bayan. Lama sekali. Sebelum keputusan membangun jalan raksasa 100 km menuju Muara Wahau dibuat.

Ide jalan kereta api tersebut sempat diambil alih pemerintah daerah. Lalu ditawarkan ke investor asing: Rusia. Serius sekali. Beberapa mahasiswa Kaltim sudah disekolahkan ke Rusia.

Setelah lebih 10 tahun tertunda, Rusianya mundur. Maka Bayan maju lagi. Tanpa investor asing. Dibiayai sendiri.

Mungkin Bayan menyesal telanjur membangun jalan raksasa 100 km ke arah Muara Wahau. Kenapa tidak sekalian jalan kereta api itu saja. Bisa hemat Rp 3 triliun. Tapi Bayan tidak mau menyalahkan Rusia. Pun Pemda.

Yang jelas, jalan raksasa itu kelak akan jadi kekayaan pedalaman Kaltim. Bayan tidak bisa membawanya ke Jakarta atau ke .

Di lain pihak tidak mungkin mengharapkan pemerintah mau membangun jalan di jalur itu, sepanjang itu, sekokoh itu. Membangun jalan Samarinda-Balikpapan saja –90 km– perlu waktu 20 tahun. Padahal urgensinya jelas tinggi.

Bayan tentu sudah berhitung. Membangun jalan itu habis Rp 3 triliun. Tapi yang bisa lewat di atasnya lebih 30 juta ton setahun. Dengan harga USD 400/ton saat ini angka-angka di atas hanyalah angka.

Pun kalau juga harus membangun rel kereta api ke arah Sangatta. Batu bara yang bisa diangkut menjadi 60 juta ton/tahun. Tanpa biaya tongkang lagi. Tanpa biaya transhipment –memindah dari tongkang ke kapal besar di tengah laut.

Dengan kereta api bisa langsung ke pelabuhan laut. Batu baranya bisa dikucurkan langsung dari conveyor ke perut kapal. Masa tunggu kapalnya pun bisa lebih pendek. Lebih efisien lagi.

Batu bara milik perusahaan lain, dari lahan lain, juga bisa nunut di kereta api itu. Tinggal bayar tol ke Bayan.

Ke depan, Sungai Belayan menjadi bisa agak bernapas. Sungai Senyiur bisa bersiul-siul kembali. Dan sungai Mahakam bisa lebih teduh kembali. Siapa tahu ikan pesut, lumba-lumba air tawar itu,

bisa kembali bersenam dansa di sepanjang hulu Mahakam. Pun sampai Senyiur. Dan ikan patin, jelawat, tidak perlu di kebun binatang lagi.

Tuck Kwong, SMA-pun tidak tamat. Tapi begitu banyak keputusan besar ia ambil dalam hidupnya. Pun ketika sudah berumur 74 tahun.

Umurnya panjang. Uangnya banyak. Saya lihat ia tidak merokok. Juga tidak minum baijiu saat makan hari itu.

Ikan patin ikan jelawat

Ikan pesut kejar-kejaran

(... Please Pak Thamrin dan Aryo Mbediun meneruskannya).(Dahlan Iskan)

Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar http://disway.id/. Setiap hari Dahlan Iskan akan memilih langsung komentar terbaik untuk ditampilkan di Disway.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Usai Diperiksa Bareskrim, Edy Mulyadi: Saya Minta Maaf Sedalam-dalamnya':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO