JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Cak Imin satu-satunya politisi yang terus terang. Sebagai calon presiden (Capres). Atau wakil presiden (Cawapres). Politisi lain penuh basa-basi. Malu-malu kucing.
Bahkan sejak lima tahun terakhir, Cak Imin fokus sosialisasi diri. Sebagai Capres. Balihonya bertebaran.
Saya ke Jawa Tengah ketemu baliho Cak Imin. Ke Jawa Barat ketemu baliho Cak Imin. Apalagi di Jawa Timur. Hampir merata. Lebih-lebih di Jombang.
Di luar Jawa juga ada. Meski tak massif seperti di Jawa.
Yang menarik, political name calling-nya berubah-ubah. Semula Cak Imin. Kemudian ganti Gus AMI. Lalu berubah lagi menjadi Gus Muhaimin 2024.
Panggilan Gus kini memang jadi komoditas politik. Dengan dipanggil Gus, politisi meyakini akan dapat simpati publik NU. Padahal political name calling yang dipaksakan justru menimbulkan senyum tak ikhlas. Sinis.
Cak Imin sebenarnya layak dipanggil Gus. Karena memang keluarga kiai dan pesantren. Tapi trade mark Cak Imin lebih dulu muncul. Mengakar. Lalu belakangan diubah jadi Gus Muhaimin. Publik pun bingung. Bertanya-tanya. Untuk apa?
Kata sastrawan William Shakespeare, apalah arti nama? Toh mawar, seandainya tak dinamakan mawar, tetap wangi.
Tapi dalam politik perlu poles-memoles. Termasuk nama. Nah.
Posenya juga macam-macam. Ada yang naik motor vespa. Ditulis Gus Muhaimin Goes to 2024. Dan ada pula yang hanya close up pakai songkok. Tapi ada yang tak pakai kopiah. Tapi semua tertulis 2024. Artinya, calon presiden pada pemilu 2024.
Para loyalisnya juga koor: Cak Imin Capres. Jazilul Fawaid, Waketum PKB yang juga Wakil Ketua MPR, terus menyuarakan pencapresan Cak Imin. Begitu juga Hanif Dhakiri. Dan kader PKB yang lain.
Mesin partai PKB, juga terus digerakkan. Menggelorakan Cak Imin Capres. Di mana-mana. Di seluruh Indonesia. Terutama di Jawa Timur. Yang merupakan basis NU dan PKB. Wartawan saya (BANGSAONLINE.com) hampir tiap hari mengirim berita tentang pencapresan Cak Imin.
Banyak yang mencibir. Terutama karena elektabilitasnya yang rendah. Bahkan sangat rendah.
Tapi Cak Imin tak peduli. Politisi bernama lengkap Abdul Muhaimin Iskandar itu terus bergerak. Lobi sana-sini. Cari pasangan. Menawarkan koalisi. Meski belum ada yang merespon serius.
Cak Imin pun pakai jurus mabuk. Koalisi dengan PKS. Partai yang selama ini sangat tak disukai warga NU. Terutama di Jawa Timur. Padahal ketua DPW PKS Jawa Timur Iwan Setiawan, kabarnya, juga NU.
Nama koalisi itu unik. Koalisi Semut Merah. “Kecil, tapi berasa,” kata Jazil – panggilan Jazilul Fawaid, dikutip detik.com, Rabu (8/6/2022).
Menurut Jazil, di luar Koalisi Semut Merah, adalah partai-partai gajah (partai besar). Karena itu ia yakin Koalisi Semut Merah akan menjadi magnet baru. Yang bisa menarik partai lain untuk bergabung.
Pria asal Bawean itu menyebut romantisme masa lalu. Ketika Gus Dur diusung Poros Tengah. Untuk jadi Presiden RI. Pada 1999. Yang didukung koalisi partai-partai Islam: PKS, PBB, PAN dan PPP.
Tapi Jazil lupa. Gus Dur diusung partai-partai Islam saat itu sebagai “jalan tengah”. Menengahi konflik keras. Bahkan sangat keras. Antara pendukung Mega dan BJ Habibie. Yang kalau dibiarkan, tanpa Gus Dur presiden, Indonesia meledak. NKRI dan Pancasila hancur. Berkeping-keping.
Hanya nama besar Gus Dur. Yang bisa meredam. Saat itu. Jadi Gus Dur itu solusi. Bukan beban. Bagi negara dan bangsa: Indonesia.
Jazil juga lupa. Bahwa saat itu Ketua Umum PKB Matori Abdul Jalil mendukung Mega. Meski kemudian dia melakukan manuver. Mendukung Poros Tengah. Yang dipelopori Amien Rais. Untuk mendukung Gus Dur sebagai Presiden.
“Saya jadi presiden modal dengkul, itu juga dengkul Amien Rais,” seloroh Gus Dur.
(KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Foto: Setneg)
Amien sejatinya sangat ambisi jadi presiden. Tapi ia harus menahan nafsu politiknya. Karena situasi tak memungkinkan. Hanya Gus Dur, yang bisa menyelamatkan Indonesia. Termasuk menghadang Mega, teman karibnya. Karena kalau Mega yang jadi presiden, niscaya juga terjadi huru-hara. Mengingat pendukung BJ Habibie juga sangat besar.
Pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago juga menilai Koalisi Semut Merah sangat rapuh. Terutama karena basis dua partai itu berbeda. Menurut dia, ada perbedaan spektrum ideologis antara PKB dan PKS.
“Walaupun elitnya menyatukan, tapi di bawah bagaikan minyak dan air,” kata analis politik Voxpol Research and Consulting itu seperti dikutip Sindonews.com
Klik Berita Selanjutnya