Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*
86. Hattaa idzaa balagha maghriba alsysyamsi wajadahaa taghrubu fii ‘aynin hami-atin wawajada ‘indahaa qawman qulnaa yaa dzaa alqarnayni immaa an tu’adzdziba wa-immaa an tattakhidza fiihim husnaan
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Hingga ketika telah sampai ke tempat terbenamnya matahari, dia mendapatinya terbenam di dalam mata air panas lagi berlumpur hitam. Di sana dia menemukan suatu kaum (yang tidak mengenal agama). Kami berfirman, “Wahai Zulqarnain, engkau boleh menghukum atau berbuat kebaikan kepada mereka (dengan mengajak mereka beriman).”
87. Qaala ammaa man zhalama fasawfa nu’adzdzibuhu tsumma yuraddu ilaa rabbihi fayu’adzdzibuhu ‘adzaaban nukraan
Dia (Zulqarnain) berkata, “Adapun orang yang berbuat zalim akan kami hukum. Lalu, dia akan dikembalikan kepada Tuhannya. Kemudian, Dia mengazabnya dengan azab yang sangat keras.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
88. Wa-ammaa man aamana wa’amila shaalihan falahu jazaa-an alhusnaa wasanaquulu lahu min amrinaa yusraan
Adapun orang yang beriman dan beramal saleh mendapat (pahala) yang terbaik sebagai balasan dan akan kami sampaikan kepadanya perintah kami yang mudah-mudah.”
TAFSIR AKTUAL
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Ayat kaji ini hingga ayat nomor 98 berikutnya mengisahkan tiga blusukan raja Dzu al-Qarnain. Pada blusukan pertama, Dzu al-Qarnain bersama rombongan meninjau rakyat yang ada di belahan paling barat wilayah kekuasaannya, “maghrib al-syams”. Tidak ada keterangan pasti soal nama wilayah itu atau di negara mana sekarang.
Al-Qur’an hanya memberikan sifat-sifat dari daerah itu, yakni “maghrib al-syams” dan “‘ain hami’ah”. Maghrib al-syams yang artinya lokasi matahari terbenam menunjukkan daerah tersebut ada di wilayah paling barat yang perbatasannya ditandai dengan terlihatnya matahari terbenam. Bisa jadi, daerah itu berupa tanah lapang yang sangat luas atau dekat lautan atau pinggir pantai.
Kedua, “fi ‘ain hami’ah”. Daerah bertanah lembab, tapi ada unsur panasnya. Kata “hami’ah” seirama dengan kata “hamiyah”, seperti qiraah “Amir, Hamzah, dan Ali al-Kisa’iy” yang artinya panas.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Ka’b, sang pakar kitab samawi klasik ditanya tentang kata ini, bagaimana kitab al-Taurah berbicara tentang kisah ini? Ka’b al-Ahbar menjawab: “saya memahami itu adalah daerah bertanah liat yang legit dan menghitam”. Jika tafsiran-tafsiran di atas dirangkum dan diaktualkan sesuai kondisi sekarang, terbacalah bahwa daerah itu – mungkin – punya kandungan minyak yang sangat tinggi.
Apapun pemahaman kita, yang tidak benar adalah memahami kalimah tersebut (maghrib al-syams) secara harfiyah, text book, yakni kunjungan sampai ke tempat matahari terbenam secara persis dan fisis. Sebab kita tidak bisa ke sana dan tidak mungkin bisa ke sana.
Selanjutnya al-Qur’an membicarakan identitas penduduknya yang diilustrasikan sebagai masyarakat heterogin dan menengah. Ada yang shalih dan berbudi pekerti tinggi dan ada yang durhaka dan hobi berbuat onar. Terbaca ada banyak kerusuhan dan tindak pidana di daerah itu, tapi tidak ada supremasi hukum yang tegak dan mampu mengatasi. Maka kehadiran Dzu al-Qarnain di daerah itu sungguh anugerah bagi masyarakat setempat, tepat, dan sangat diperlukan.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Dalam pertemuan bersama para tokoh, muncullah permohonan masyarakat agar Dzu al-Qarnain menyelesaikan secara hukum setiap perbuatan manusia sesuai aturan yang berlaku di wilayah kekuasaan sang raja. Di hukum atau diberi penghargaan.
Kunjungan Dzu al-Qarnain pertama ini seperti kunjungan presiden ke daerah terpencil yang mana aturan-aturan di daerah tersebut bobrok dan tidak berlaku. Penguasanya zalim, kerusuhan terjadi di mana-mana, dan tidak ada yang mampu bertindak tegas. Lalu presiden turun sendiri bersama para menteri untuk meninjau dan melakukan perbaikan.
Keputusan Dzu al-Qarnain seperti ini: Pertama, mereka yang terbukti secara sah dan meyakinkan sebagai berbuat zalim dan melakukan tindak pidana, maka segera dihukum sesuai aturan. Perkara di akhirat nanti, terserah Tuhan, mungkin saja akan disiksa lebih parah.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman
“amma man dzalam fa sauf nu’adz-dzibuh …” (87). Sedangkan mereka yang beriman dan berbuat kebajikan akan diberi penghargaan luar biasa dan segala urusan kehidupan dipermudah (88).
Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa raja Dzu al-Qarnain menerima laporan buruk dan dan laporan baik. Selanjutnya dia menyelasaikan laporan buruk lebih dahulu dengan mengambil keputusan adil, tegas, dan tuntas. Mereka dihukum tanpa ampun, tanpa pandang bulu, dan tanda-tunda. Baru menyikapi mereka yang berbuat baik, dihargai dan didorong agar lebih baik lagi.
Itu artinya, Dzu al-Qarnain adalah pemimpin yang cerdas dan berlaku benar, sesuai arahan agama yang tertera pada akidah fiqhiyah, di mana pencegahan lebih diutamakan ketimbang perbaikan, “dar’ al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih”. Dengan membuntu semua kenegatifan, maka peluang hal-hal baik lebih terbuka dan mudah. Petani yang cerdas mendahulukan pembasmian hama ketimbang memupuk tanaman.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman
*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News