Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*
89. Tsumma atba’a sababaan
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Kemudian, dia mengikuti suatu jalan (yang lain).
90. Hattaa idzaa balagha mathli’a alsysyamsi wajadahaa tathlu’u ‘alaa qawmin lam naj’al lahum min duunihaa sitraan
Hingga ketika sampai di posisi terbitnya matahari (arah timur), dia mendapatinya terbit pada suatu kaum yang tidak Kami buatkan suatu pelindung bagi mereka dari (cahaya) matahari itu.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
91. Kadzaalika waqad ahathnaa bimaa ladayhi khubraan
Demikianlah (kisahnya). Sungguh, Kami mengetahui segala sesuatu yang ada padanya (Zulqarnain).
TAFSIR AKTUAL
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Pada ayat ini disebutkan tempat blusukan Dzu al-Qarnain kedua, yaitu “mathli’ al-syams”. Tempat matahari terbit dan yang dimaksud adalah daerah bagian paling timur dari wilayah yang dikuasai Dzu al-Qarnain. Sama misterinya dengan daerah-daerah sebelumnya, di wilayah mana itu sekarang?
Al-Qur’an tidak menjelaskan siapa-siapanya, melainkan menjelaskan sifat-sifatnya. Dikatakan, bahwa masyarakat di daerah tersebut sungguh sangat tertinggal, primitif, dan belum tersentuh perabadan, ilmu, apalagi agama. Mereka dibahasakan dengan “.. Qaum, lam naj’al lahum min duniha sitra”. Masyarakat tak bertutup. Maksudnya:
Pertama, mereka hidup di alam terbuka dan pindah-pindah sesuai kebutuhan. Daerah yang mereka diami sangat luas, berupa padang pasir, bebatuan, maupun pegunungan. Yang jelas, mereka belum mengenal budaya berumah tinggal seperti kita sekarang ini. Tidak punya tempat tinggal khusus, masih terbiasa hidup membelantara.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Kedua, yang dimaksud tak bertutup (sitra) adalah badannya. Yakni, mereka belum mengenal pakaian yang menutup badan sebagai pelindung atau sebagai berbudaya. Mungkin hanya menutupi daerah kemaluannya saja secara apa adanya kayak suku Asmat di pedalaman Papua atau sama sekali, sehingga telanjang bulat. Allah a’lam.
Terhadap masyarakat ini tidak ada penjelasan detail tentang apa yang dilakukan oleh Dzu al-Qarnain. Tidak sama dengan pada blusukan pertama atau yang ketiga nanti, diungkap problem yang terjadi, kemudian dimintakan solusi. Hanya ada bahasa singkat yang penuh arti, “Kadzalik”, ya begitulah. Begitulah itu apanya?
Kira-kira yang dimaksud adalah bahwa apa yang dilakukan Dzu al-Qarnain setelah mengetahui kondisi demikian sudah bisa ditebak oleh pembaca sendiri. Sehingga tidak perlu dijelaskan.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Seperti layaknya orang berilmu menyikapi orang yang belum mengerti. Seperti layaknya orang yang sudah berperadaban maju menyikapi orang yang terbelakang. Seperti guru menyikapi murid yang belum paham pelajaran. Yaitu, diajari.
Itulah, maka Tuhan hanya menyatakan: “wa qad ahathna bi ma ladaih khubra”. Aku sangat menguasai pengetahuan dia. Di sini, statemen ilmu (khubra) disebut sebagai kata kunci untuk mengetahui perlakuan Dzu al-Qarnain pada mereka, yaitu dididik, dibimbing, dan dicerahkan. Kini kita pelajaran:
Pertama, orang bodoh itu tidak mengerti apa yang mesti dilakukan. Hidupnya seperti sudah mapan sehingga tidak ada problem. Makanya mereka menjalani hidup biasa-biasa saja. Meskipun ada raja adil di depannya, mereka dingin-dingin saja. Tidak melapor dan tidak mengajukan persoalan seperti yang terjadi pada blusukan lain.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman
Untuk itu, pemimpin harus cerdas membaca karakter umat, membaca keadaan sehingga tidak menunggu sodoran problem, melainkan mengerti sendiri apa yang mestinya dikerjakan demi umat. Kata “khubra” menunjukkan bahwa Dzu al-Qarnain dengan inisiatif sendiri mendidik mereka, sehingga menjadi bangsa yang berperadaban.
Kedua, bahwa bangsa yang tertinggal, yang terbelakang, yang primitif, tidak boleh dilestarikan. Harus dididik, diubah dan dicerahkan. Artinya, jika budaya itu buruk, terbelakang, apalagi tidak sesuai dengan agama, maka pemimpin tidak boleh diam apalagi melestarikan.
Pengertian melestarikan adalah mengawetkan, menghidup-hidupkan, tidak memberantas, tidak mengubahnya menjadi maju, tidak mendidik dan tidak mencerahkan. Melestarikan budaya buruk sesungguhnya sama dengan tega menenggelamkan saudara sendiri, bangsa sendiri dalam kegelapan berkepanjangan.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman
Jika budaya itu nyata-nyata bertentangan dengan syari’ah Islam, kok dilestarikan, itu artinya rela terhadap kemaksiatan tumbuh subur. Melestarikan budaya buruk sama dengan melestarikan kemaksiatan, sama dengan melestarikan dosa dan itu di larangan agama.
Jika pelestarian budaya buruk itu harus dilakukan sebagai khazanah bangsa, maka cukuplah diabadikan sebagai dokumen saja, dicatat di museum seni dan budaya sebagai kenangan masa lalu yang buruk, yang mesti ditinggalkan, bukan dipraktikkan dalam kehidupan nyata.
Apa yang dilakukan Dzu al-Qarnain ini sama dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika berdakwah kepada orang-orang kafir. Mereka diseru agar memeluk agama Islam, tapi menolak dengan alasan tetap berpegang teguh pada budaya, agama nenek moyang yang menyembah berhala dan patung-patung.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani
Kemudian al-Qur’an mengajukan pertanyaan yang menohok mereka: “Gimana jika nenek moyang kalian itu orang-orang bodoh yang tidak punya pengetahuan dan punya pemikiran benar. Masihkah kalian mengikuti mereka?”
Mereka diam dan tetap menyembah berhala karena gengsi.
*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News