GRESIK, BANGSAONLINE.com - Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Fajar Trilaksana, Andi Fajar Yulianto, menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Rapat Koordinasi Investasi 2022 pada 30 November 2022 yang menyebut, dana transfer pemerintah pusat untuk kabupaten dan kota sebesar Rp278 triliun belum terserap.
"Tidak terserapnya dana transfer Rp278 triliun karena ada beberapa faktor," kata Fajar kepada BANGSAONLINE.com, Jumat (2/12/2022).
Baca Juga: Eks Wakil Ketua KPK Jadikan Peserta Seminar Responden Survei: 2024 Masih Sangat Banyak Korupsi
Ia lantas membeberkan lima faktor yang menyebabkan hal itu terjadi. Pertama, belum berhasilnya pemerintah pusat dalam menjalankan 'Revolusi Mental', karena masih banyak didapat operasi tangkap tangan (OTT) dari KPK
"Banyaknya oknum pejabat negara, oknum aparat penegak hukum seperti oknun hakim, jaksa, polisi dan advokat yang kena OTT. Sehingga revolusi mental ini outputnya lahir para pejabat berintegritas tinggi yang anti korupsi," ungkapnya.
Kedua, kata Fajar, terjadinya traumatik sindrome para pejabat di level bawah, karena berkaca terhadap rekan-rekan sejawatnya ditangkap oleh Aparat Penegak Hukum (APH), baik oleh KPK, Kejaksaan, maupun Kepolisian karena diduga melakukan perbuatan melawan hukum berupa korupsi uang yang bersumber dari keuangan negara.
Baca Juga: Satpol PP Gresik Gagalkan Pengiriman Miras asal Bali ke Pulau Bawean
"Jadi, uang tersebut (dana transfer) mending dibiarkan tidak dimanfaatkan, karena takut akan dibidik oleh oknum APH yang mempunyai target demi keuntungan, baik jabatan maupun pribadi," tuturnya.
Kemudian, lanjut Fajar, belum adanya bimbingan teknis (bimtek) dan diklat dengan tema penyadaran hukum agar terbebas dari jeratan hukum terhadap penggunaan anggaran negara terhadap para gubernur, bupati, wali kota, camat, hingga lurah dan kepala desa.
Diklat atau bimtek dimaksud juga belum dikatakan berhasil optimal. Terbukti, masih ditemukannya terhadap beberapa kasus dianggap merugikan keuangan negara yang tidak sampai 300 juta dipaksakan untuk diproses hukum dan pelakunya dipenjara.
Baca Juga: Kasus Hibah Pokmas APBD Jatim, Anak Cabup Jombang Mundjidah Dipanggil KPK
"Pembinaaan semacam apa yang diharapkan selain pembinasaan pagi pejabat? Bukanya seharusnya bimtek sebuah aoutputnya adalah membuat solusi, dengan batas toleransi kepatutan terhadap temuan jumlah yang dianggap kerugian negara," ucap Fajar.
Ia menjelaskan, sebuah hukuman proposional dan logis bagi pejabat terkait haruslah semisal dikembalikan, dilengkapi, dicukupi, disempurnaan, diberikan sanksi administratif hingga pembinaan diikuti pengawasan melekat.
"Tidak harus menjadi penghuni penjara yang di sana sini sudah overload. Belum lagi lihat dari sisi perbandingan dengan biaya taktis. Berapa juta besaran bagi aparat penegak hukum dalam melakukan progres penyidikan hingga persidangan yang dibutuhkan," paparnya.
Baca Juga: Nama-Nama Anggota DPRD Jatim yang Diperiksa KPK dalam Kasus Dugaan Korupsi Dana Hibah
"Jika misal temuan hanya berkisar 300 juta, niat menyelamatakan uang negara, namun justru biaya lebih besar pasak dari pada tiang. Karena faktanya banyak temuan kerugian negara tersebut pada akhirnya diganti dengan hukuman kurungan/penjara," imbuhnya.
Terakhir, kata Fajar, ada proyek yang lumayan jumlah anggarannya. Ibarat di mana ada gula di situ ada semut. Maka traumatik juga terjadi karena ketika proyek itu dilaksanakan, maka banyak oknum organisasi swadaya masyarakat dan oknum penggiat anti korupsi yang mendekat.
Mereka melakukan pengawasan bukan sesuai tugas pokok dan fungsinya, tapi melebihi dari itu. Intervensi dan bahkan melakukan intimidasi demi keuntungan pribadi.
Baca Juga: Di Pasar Baru Gresik, Khofifah Panen Dukungan dan Gelar Cek Kesehatan Gratis
"Adapun yang kelima intinya, para pejabat dalam mempergunakan anggara tersebut perlu jaminan dari pemerintah pusat atas keselamatannya, baik secara pribadi maupun dalam jabatanya agar tidak menjadi korban dari para oknum penegak hukum, dan oknum pegiat anti korupsi," pungkasnya. (hud/mar)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News