Oleh: Rosdiansyah (Peneliti JPIPNetwork)
Everett Rogers atau sohor disingkat EM Rogers bukanlah pakar ilmu pemerintahan. Ia juga bukan pakar kebijakan publik. Rogers dikenal sebagai pakar kajian komunikasi. Namun, karya klasik Rogers bertajuk 'Diffusion of Innovations' yang terbit tahun 1962, justru menjadi kitab rujukan para inovator di berbagai bidang. Mulai dari bidang manajemen, politik, pemerintahan, organisasi, partai politik, sampai ke strategi berbasis teori permainan (game theory). Semua pengkaji inovasi di bidang itu setidaknya pernah mengenal atau mendengar risalah Rogers.
Baca Juga: Penemuan Bayi di Atap Rumah, Polisi akan Periksa Pemilik Rumah
Menurut Rogers, difusi merupakan proses di mana inovasi dikomunikasikan atau diperbincangkan warga/masyarakat dari waktu ke waktu. Warga masyarakat selalu mengaitkan gagasan baru atau ide anyar pada kiprah inovator. Selain juga, warga tiada henti memperbincangkan kemanfaatan hasil inovasi. Sehingga terbentuk ingatan kolektif yang pada gilirannya juga diketahui generasi berikutnya.
Di Jawa Timur dan juga beberapa provinsi lain, warga daerah juga acap memperbincangkan beragam program atau kebijakan prakarsa pemerintah daerah yang telah dinilai berdampak bagus untuk masyarakat. Diantaranya, aplikasi Sistem Informasi Andalan, Santun, Inovatif, dan Kreatif (SI ASIK) yang telah diterapkan di Kecamatan Asemrowo, Kota Surabaya.
Camat Asemrowo, Bambang Udi Ukoro, secara jeli melihat kemanfaatan IT untuk membuat aplikasi yang mempermudah siapapun mengakses berbagai informasi serta data kecamatan Asemrowo. Tidak perlu datang ke kantor kecamatan atau OPD, jika ingin mengetahui data geografis, jumlah sekolah, data pendidikan, demografis, UMKM, sarana dan prasarana. Semua tersedia dalam fitur aplikasi tersebut. Semua terbuka untuk siapa saja. Memberi kemudahan, menerapkan keterbukaan.
Baca Juga: Gagal Curi Sepeda Angin, Pria Tanpa Identitas Tewas Dihakimi Warga di Surabaya
Lima elemen Rogers telah tampak dalam SI ASIK ini. Pertama, ada terobosan baru memudahkan layanan pemda kepada siapapun. Kedua, ada adopsi perkembangan baru teknologi untuk memudahkan urusan warga. Ketiga, fitur-fitur dalam aplikasi adalah kanal komunikasi warga dan OPD.
Biasanya, kanal komunikasi warga ke birokrasi tersumbat, lamban atau diblok kerahasiaan. Berkat aplikasi, kini komunikasi jadi lancar. Keempat, selalu ada update data. Ini berkaitan dengan waktu dan data terbaru yang dibutuhkan warga. Kelima, aplikasi itu ada dalam sistem sosial melek aplikasi. Itulah modal sosial (social capital) saat ini.
Kelemahan Difusi
Baca Juga: Blusukan ke Kelurahan Balowerti, Bunda Fey Sebut Programnya Dongkrak Potensi Kuliner Lokal
Walaupun difusi menjadi faktor penting dalam inovasi, namun perlu juga dicermati apa saja yang bisa menyebabkan difusi menjadi lemah di masyarakat. Rogers menyebut, yang sering terjadi dalam kelemahan itu ada beberapa penyebab. Selain sering dikarenakan kebijakan bersifat top-down, juga disebabkan waktu serta minimnya partisipasi komunitas.
Misalnya, untuk mengakses ke aplikasi SI ASIK tentu dibutuhkan sinyal internet. Sebab, aplikasi bersifat daring. Jika mendadak sinyal wifi hilang atau paketan internet di telepon genggam warga telah habis, maka update data dalam fitur aplikasi belum tentu bisa dilihat. Akibatnya, warga tak bisa mengakses update data.
Ketiadaan partisipasi komunitas juga menjadi kelemahan difusi. Warga komunitas memang terlayani dengan baik bahkan prima. Semua kebutuhan warga tersedia dalam program top-down, bukan hasil bottom-up. Contoh untuk soal ini adalah pada program Wisata Arsip untuk Anak Sekolah (WARAS) dari Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur.
Baca Juga: Inilah 7 Panelis Debat Kedua Pilgub Jatim 2024 yang Diselenggarakan KPU
WARAS sangat baik untuk memperkenalkan khazanah sekaligus konten arsip kepada warga. Ini merupakan program top-down untuk menyadarkan masyarakat, bahwa arsip mempunyai dimensi luas bukan sekadar tumpukan berkas lama atau kuno. Program ini untuk memenuhi kebutuhan warga, namun kesadaran warga akan pentingnya pengarsipan tidak bisa segera terlihat. Diperlukan waktu untuk itu.
Dampak Pada Masyarakat
Sesungguhnya, baik program top-down maupun bottom-up, keduanya membutuhkan masyarakat heterofilia. Yakni, masyarakat beragam dari segi latar-belakang. Sebab, program atau kebijakan pemda, utamanya untuk layanan publik, perlu diserap masyarakat yang beragam. Tak semata untuk masyarakat yang seragam. Latar-belakang warga boleh berbeda, tapi kebutuhan warga tetap sama. Misalnya, kebutuhan pada layanan kesehatan prima dan lancar.
Baca Juga: Korban Begal Perempuan di Surabaya Tewas
Pun pertukaran informasi seputar program inovatif menemukan momentum besar dalam masyarakat beragam. Ada perbincangan disitu, ada baku respon ihwal kemanfaatan juga kelemahan program terkait. Perbincangan warga ini pada gilirannya bisa menjadi umpan-balik (feedback) untuk pembuat kebijakan (decision maker).
Ala kulli hal, apapun program atau kebijakan inovatif, tetaplah membutuhkan difusi di masyarakat. Perlu selalu menjadi topik perbincangan antar warga karena dari situasi itulah bisa diharapkan kegairahan berinovasi.***
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News