RABAT, BANGSAONLINE.com – Benteng Kasbah des Oudaias sangat populer. Benteng ini terletak di Rabat, Ibu Kota Maroko. Hingga sekarang bangunan benteng ini berdiri kokoh. Lengkap dengan pintu gerbangnya yang gagah dan kuat.
Yang menakjubkan, benteng ini menghadap ke samudera Atlantik. Otomatis berada di kawasan pesisir yang indah.
Baca Juga: Ahli Baca Quran Tapi Minim Ilmu Al Quran
Bukan hanya itu. Di balik benteng ini ada perkampungan Yahudi. “Tapi banyak orang Yahudi yang sudah menjual rumahnya kepada orang Prancsis dan warga Maroko,” tutur Muhammad, petugas sebuah travel.
Kemana mereka? “Mereka sekarang tinggal di Israel,” kata Muhammad. Di Maroko kini tinggal sedikit, terutama di kawasan benteng ini. “Orang Yahudi sekarang tinggal di bagian dalam kampung, tidak di pinggir jalan, ” tambahnya.
Di tengah perkampungan itu memang ada jalan - atau lebih tepatnya gang - membentang dari pintu gerbang Kasbah tembus ke pantai samudra Atlantik. Panjang jalan itu sekitar 700 atau 800 meter. Di kanan kiri jalan itu banyak orang berjualan macam-macam produk, termasuk souvenir dan makanan serta minuman. Juga ada kafe dan toko buku.
Baca Juga: Ngajar 17 Tahun, Guru ini tak Pernah Doakan Muridnya, Beda dengan Kiai Asep dan Syaikh Qadhi 'Iyadh
CEO HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE, M Mas’ud Adnan, sempat mencermati beberapa bangunan di sepanjang jalan yang penuh orang lalu lalang itu. Ternyata di situ ada masjid, tapi pintunya tertutup rapat. Di dekat pintu itu ada tulisan, diantaranya, berbahasa Inggris: Hanya orang Muslim yang boleh masuk.
(Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA, dan istri tercintanya, Nyai Hj Alif Fadhilah di pantai Samudra Atlantik di Benteng Kasbah des Oudaias, Rabat, Maroko. Foto: M Mas'ud Adnan/BANGSAONLINE.com)
Baca Juga: (Rezim) Israel itu Hitler, Pakar Timteng: Bakal Kalah karena Melanggar Hak Asasi Manusia
Seperti diberitakan BANGSAONLINE, Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA, berkunjung ke Maroko, seusai umrah dan berkunjung ke Mesir. Kiai Asep didampingi istrinya, Nyai Hj Alif Fadhilah dan putranya, Gus Ilyas, yang kuliah di Universitas Qadhi Iyyadh Maroko.
Kiai Asep juga didampingi Dr KH Mauhibur Rokhman (Gus Muhib), Rektor Institut Pesantren KH Abdul Chalim (IKHAC), Dr Eng Fadly Usman, Wakil Rektor IKHAC dan M Mas’ud Adnan, CEO HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.com serta para mahasiswa asal Indonesia yang kuliah di Maroko, termasuk alumni Amanatul Ummah.
Kerajaan Maroko yang kini dipimpin Raja Muhammad VI memberlakukan Islam sebagai agama resmi kerajaan atau pemerintah. Maroko memang kerajaan Islam. Tapi raja Maroko sangat moderat dan plural. Pemeluk agama Yahudi sangat dihargai, meski kini populasinya tinggal sedikit alias minoritas.
Baca Juga: Profil dan Daftar Pemain Timnas Maroko, Calon Lawan Indonesia di Laga Penentu Piala Dunia U-17 2023
Populasi Yahudi di Maroko kini tinggal sekitar 2.000 atau 2.500 orang. Padahal pada tahun 1940-an populasi mereka mencapai 250 ribu orang.
(M Mas'ud Adnan, CEO HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE di pantai samudra Atlantik di kawasan Benteng Kasbah des Oudaias, Rabat, Maroko. Foto: BANGSAONLINE.COM)
Baca Juga: Siapkan Program Dasar Bencana, BMH Ajak Masyarakat Ringankan Korban Gempa Maroko
Raja Maroko memang memiliki toleransi tinggi. Sedemikian tolerannya, bahkan Raja Muhammad VI mengangkat salah seorang penasehat kerajaan dari tokoh Yahudi, yaitu Andre Azoulay. Raja Mohammed VI juga memerintahkan mendirikan sebuah monumen persahabatan umat Islam dan Yahudi di kota Essaouira. Museum tersebut menyimpan jejak panjang kiprah warga Yahudi di jantung kerajaan Islam.
Museum persahabatan itu diberi nama House of Memory atau disebut Bayt Dakira. Museum itu terletak di antara rumah warga di jantung labirin kota tua Maroko.
Museum itu didirikan di bekas rumah seorang saudagar Yahudi yang membangun sinagoge kecil di rumahnya sendiri. Rumah ibadah itu berhias ukiran kayu dan mebel tradisional khas lokal.
Baca Juga: Belajar di Saudi, Pulang Membid'ahkan, Prof Samir Maroko-Kiai Asep Larang Santrinya Belajar di Saudi
Andre Azoulay, satu-satunya penasehat kerajaan dari unsur Yahudi mengatakan bahwa gedung perhabatan umat Islam dan Yahudi itu menjadi saksi sebuah periode, di mana Islam dan Yahudi membina kedekatan yang intim. Azoulay berasal dari minoritas Yahudi di Essaouira. Azoulay menggagas museum itu bersama Kementerian Kebudayaan.
"Kami katakan kepada kami sendiri, kami akan melanjutkan tradisi ini dan melindungi apa yang pernah menjadi cara hidup bersama dengan saling menghormati," tegasnya. (MMA)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News