oleh: KH. Musta'in Syafi'ie. . .
BANGSAONLINE.com - "Wa naza'na ma fi shudurihim min ghill". Sebelumnya telah dijelaskan soal makna "ghill", yakni kedengkian, sehingga penghuni surga adalah orang yang tak punya kedengkian barang sedikit di hatinya. Namum bias filologis menunjuk, bahwa "ghill" serumpun dengan kata : "Ghalla yaghullu ghulul" artinya korup. Yaitu mengambil sebagian dari harta milik umum secara melawan hukum.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Aslinya, kata ghulul adalah untuk merujuk tindakan korup pada harta rampasan perang (ghanimah) sebelum dibagi. Begitu harta dibagi, dia mendapat jatah aslinya sebagai prajurit, sehingga mendapat bagian ganda. Ini haram hukumnya. Barang yang dikorup tersebut kelak di akhirat akan dikalungkan di lehernya. (Ali Imran:161). Bila dua makna ini digabung, jadinya : Penghuni surga itu orang yang hatinya legowo, tidak punya rasa dengki terhadap sesama juga tidak pernah mengambil hak orang lain atau korup.
Yang kedua dari prilaku penghuni surga seperti tertulis dalam ayat studi adalah:" ikhwana". Mereka hidup dalam suasana brotherness (persaudaran) yang alamiah, benar-benar rukun, terpadu, sejalan, seirama bagai satu jasad. Segala sesuatu disikapi indah, terbuka dan serba nikmat tanpa ada ganjalan apa-apa. Dasar persaudaraan yang mereka bangun adalah keimanan, ketaqwaan atau nilai-nilai ketuhanan. Persaudaraan yang didasari agama pasti abadi dan tidak pernah bisa pudar, karena kepentingannya cuma satu, yakni ridha Tuhan saja.
Artinya, semua koalisi, persekutuan, persatuan, perkumpulan apa saja, bila dasarnya adalah kepentingan atau orientasi duniawi, uang, kekuasaan, maka pasti terjadi gesekan, saling mengkalkulasi, saling mencurigai, lalu kontra dan bubar.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Makanya, dalam koalisi politik tidak ada yang abadi, selain kepentingan itu sendiri. Meskipun yang diurus itu masjid, lembaga pendidikan, pesantren, jika di antara pengurusnya ada yang curang, maka berpotensi bubar. Obatnya cuma satu, setiap yang curang harus dibuang.
Dulu, bimbingan ibadah haji itu mulia. Tapi, seiring perkembangan ekonomi dan persaingan bisnis, pengusaha KBIH tidak beda dengan travel biasa. Ini bisnis halal dan menjanjikan. Kongsi KBIH bisa jadi awalnya bagus, saling memberi, saling menjual pamor dan saling percaya. Begitu penghasilan melimpah, kadang ada yang curang dengan merasa lebih berjasa, bisa berdiri sendiri, lalu mendepak temannya seolah tanpa pernah punya jasa.
Itulah potret pengurus KBIH yang sudah terasuki nafsu syaithaniah. Tapi karena labelnya Ka'bah dan citranya tanah suci, pelaku bisnisnya juga berjubah dan berpeci putih, habib, uztadz, gus atau kiai, maka masih nampak sebagai bisnis suci, meskipun di dalamnya umeg rebutan pasar, merasa punya wilayah, mengklaim "iki wong-ku, jama'ah-ku, wilayah-ku dst,". Jika dalam bisnis ka'bah ini ada kedengkian dan perseteruan, maka surga-pun enggan menyapa, meski mereka setiap bulan merangkul ka'bah.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Bisa jadi, orang yang diantar umrah atau haji mendapatkan balasan surga karena kemabrurannya, sedangkan KBIH yang ngantar ada di neraka karena ada kedengkian antar sesama dan upahnya sudah diambil dulu waktu di dunia. Semoga kita terhindar dari dengki dan iri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News