Amerika Bentuk Mujahidin, Putin pun Tunjuk Si Rambut Putih Komandan Perang

Amerika Bentuk Mujahidin, Putin pun Tunjuk Si Rambut Putih Komandan Perang Dahlan Iskan

Saya ragu. Ini negara komunis. Kok ada yang mengucap salam sangat fasih. Mereka pakai penutup kepala gaya Afghanistan. Atau gaya Asia Tengah. Bajunya panjang khas orang sana. Lusuh. Kumuh. Mata tajam. Kumis lebat. Apalagi jenggot dan jambangnya. Mereka setengah memaksa masuk ke kamar.

Mereka pun duduk di tempat tidur saya. Mereka menjelaskan entah dalam bahasa apa. Tapi saya dengar ada kata-kata berkali-kali. Ada juga beberapa kata dalam bahasa Inggris. Exchange. Dolar. Rubel. Good price.

Intinya mereka minta agar saya jangan tukar dolar di hotel. Tukar ke mereka saja. Kursnya lebih bagus. Kurs pasar gelap. Sekalian membantu perjuangan Mujahidin.

"Dengan dolar yang sama saya bisa dapat rubel tiga kali lipat lebih banyak," kurang lebih begitu kira-kira yang mereka katakan.

Sebenarnya saya tidak perlu tukar uang. Di rombongan presiden ini semuanya tercukupi. Praktis tidak perlu uang. Saya hanya perlu memberi tips kepada petugas telex di belakang front office hotel itu.

Saya harus kirim telex banyak sekali. Panjang-panjang. Yakni naskah berita. Dalam bahasa Indonesia. Belum ada internet. Belum punya email.

Resminya itu tidak boleh. Semua telex yang dikirim harus dalam bahasa Inggris atau Rusia. Agar KGB –dinas rahasia Soviet– bisa mengontrol isinya.

Operator telex di situ seperti kebingungan. Naskah ini bukan bahasa Inggris. Juga terlalu panjang. Ia duduk-berdiri. Toleh kanan-kiri. Wanita. Gemuk sekali. Tinggi. Tua. Rambut pirang.

Telex yang harus dikirim biasanya hanya satu atau dua kalimat pendek. Ini lima halaman folio.

Wanita itu seperti mau menyerah. Ia harus mengetik satu huruf, lihat naskah, satu huruf lagi, lihat naskah lagi. Mungkin tiga hari lagi pun telex itu belum akan terkirim. Padahal malam itu juga harus sampai meja redaksi di Surabaya.

Untungnya Presiden turun tangan, membantu saya. Sang presiden mampu meyakinkan operator telex itu. Presidennya sendiri sudah lama almarhum tapi wajahnya masih sakti di atas lembaran warna kehijauan itu.

Akhirnya saya diizinkan masuk ruang telex. Juga diizinkan menyalin sendiri naskah itu di mesin telex. Satu jam selesai. Terkirim. Wanita itu minta: naskah saya jangan ditinggal di situ. Padahal seharusnya semua naskah telex tidak boleh dibawa.

Presiden memang sakti. Pun yang sudah lama meninggal dunia.

Rupanya dua orang yang datang malam-malam itu bagian dari pejuang Mujahidin. Setengah takut saya serahkan USD 200. Saya dapat sebungkus uang rubel. Banyak sekali. Saya tidak menghitungnya. Tidak mengerti. Saya takut. Saya hanya ingin dua orang itu cepat pergi.

Itu memang di akhir-akhir masa keruntuhan Soviet. Rupanya infiltrasi Mujahidin bisa sampai ke wilayah Soviet.

Setelah Soviet runtuh, Tashkent jadi ibu kota negara merdeka Uzbekistan.

Rubel yang banyak itu saya bawa ke Moskow dan Leningrad. Utuh. Di Moskow saya sempat ke shopping center. Toko-toko nyaris kosong. Tidak ada yang bisa dibeli. Tidak ada barang yang dijual. Toko baju, misalnya, hanya berisi sekitar lima baju.

Suasana tanpa ekonomi seperti itu mirip dengan yang saya lihat di Beijing tahun 1986. Itulah kali pertama saya ke Beijing. Masih sangat komunis.

Ketika Mujahidin mengalahkan Soviet saya merasa kagum dengan para pejuangnya. Tapi semua rubel Mujahidin itu utuh. Saya bawa pulang. Tidak lagi ada harganya.

Belakangan menganggap pemerintahan Mujahidin Afghanistan sebagai negara teroris. pun menyerang Afghanistan. Yang diserang kalah. Pemerintahan pro pun dibentuk di Afghanistan. Tidak mulus. Perlawanan rakyat terjadi di mana-mana. Sepanjang masa. pun kalah.

Mujahidin dengan bantuan mengalahkan Soviet. Mujahidin yang sama, tanpa bantuan Rusia mengalahkan .

Kini '''' Rusia mencoba mengalahkan Ukraina. Belum berhasil. Bahkan terjadi kemelut di dalam negeri. Khususnya akibat saling cemburu antara pasukan '''' swakarsa dan pasukan resmi pemerintah.

Apakah ''jalan tengah'' Putin bisa dijalankan di lapangan masih harus dilihat perkembangannya. Ujian ini akan membuat Putin lulus. Atau gagal. Atau ini bagian dari skenarionya untuk menghadapi Pilpres di sana tahun 2024.

Rusia akan menyelenggarakan Pilpres bulan Maret 2024. Putin pasti nyapres lagi. Sebagai capres independen. Dua tahun lalu ketika Covid mulai melanda dunia, Putin berhasil melakukan perubahan konstitusi. Batasan dua kali masa jabatan dihapus dari konstitusi. Di dalam negeri Putin terlihat amat kuat.

Di luar negeri Putin dapat ujian berat. Presiden Turkiye Tayeb Erdogan mulai kelihatan menjauh dari Putin. Tiba-tiba saja Turkiye setuju agar Swedia diterima jadi anggota NATO. Keanggotaan Swedia memang terkatung-katung. Masih ada satu negara yang menentang: Turkiye. Dengan sikap baru Turkiye itu keanggotaan Swedia pun mulus.

Mungkin Turkiye dapat kompensasi besar: akan disetujui menjadi anggota Masyarakat Eropa (EU). Puluhan tahun Turkiye melamar jadi anggota EU selalu dihambat. Kini Turkiye sudah berada di gerbangnya. Kalau tidak tertipu. (Dahlan Iskan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO