SURABAYA, BAGNSAONLINE.com - Oknum-oknum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang memaksakan Ahlull Halli Wal Aqdi (AHWA) untuk pemilihan Rais Am PBNU telah terjebak pada simplifikasi kekuasaan.
Demikian Dr KH Jamaluddin Maryajang, Rais Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Sulawesi Tengah (Sulteng) dalam keterangan tertulisnya yang dikirim kepada BANGSAONLINE.com
Baca Juga: Mitos Khittah NU dan Logika Kekuasaan
”Harus kita ingatkan jangan membawa NU pada jurang politisasi agama. Pandangan PWNU dan PCNU yang menolak AHWA murni karena hampir seluruh pengurus PWNU dan PCNU bersih dari kader politik,” katanya.
Ia menyayangkan sikap pemaksaan AHWA yang dilakukan PBNU. Karena, menurut dia, pemaksaan AHWA itu akan menimbulkan implikasi laten, yaitu konstestasi kiai. ”Padahal kiai bukan pesilat sehingga punya peringkat.” katanya.
Menurut dia, AHWA menghendaki 9 kiai yang dianggap hebat ilmunya. ”Mereka yang menentukan siapa di antara mereka paling layak menjabat Rais Am. Tanpa sadar cara ini justru mengadu kiai,” kata Kiai Jamaluddin Maryajang.
Baca Juga: Kembangkan Kewirausahaan di Lingkungan NU, Kementerian BUMN Teken MoU dengan PBNU
”Kalau tidak menggunakan cara-cara pemaksaan mana bisa 9 orang kiai ini dipilih secara obyektif. Inilah cara yang teramat fasih disebut politisasi agama,” tambahnya.
Menurut dia, mungkin dianggap bias prilaku politik mereka yang sudah terbiasa mendefinisikan agama dan umat sebagai sumber legitimasi kekuasaan. Kekuasaan itu sendiri, menurut dia, selalu bersifat eksklusif, dominan, memaksa dan memberi peran sentral pada kelompok kecil terpilih. ”AHWA persis model ini,” katanya. (tim)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News