Taqlid Itu "Wajib", Ini Alasannya

Taqlid Itu "Wajib", Ini Alasannya Dr KH A. Musta'in Syafi'i. Foto: NOJ

Oleh: Dr KH A. Musta'in Syafi'i

PENGANTAR REDAKSI BANGSAONLINE

Baca Juga: Terima Dubes Jepang untuk Indonesia, Pj Gubernur Jatim Bahas Pengembangan Kerja Sama

Rubrik Tafsir Al-Quran Aktual diasuh Dr KH A. Musta'in Syafi'i dari Pesantren Jombang Jawa Timur. Tafsir ini dimuat di HARIAN BANGSA tiap hari, kecuali Ahad. Selamat mengikuti:  

“ Fa is’alu ahl al-dzikr in kuntum La ta’lamun”. 

Telah disinggung sebelumnya, bahwa siyaq pada ayat ini maqlub, dibalik. Yakni jawab al-syart dulu baru fi’ilnya. Ini menyalahi struktur jumlah mujazah pada disiplin ilmu nahwu. Tapi al-qur’an tidak tunduk pada ilmu nahwu dasar, justeru sebaliknya.

Baca Juga: Silaturahmi ke Keluarga Pendiri NU, Mundjidah-Sumrambah Minta Restu

Hal demikian karena al-qur’an punya tujuan sendiri di balik redaksinya. Yakni, saking pentingnya bertanya, saking perlunya berjaga-jaga agar tidak tersesat dan tidak terpeleset, maka perintah bertanya yang secara grammar terletak pada bagian akhir, menjadi didahululkan.

Perintah “bertanya” ini merambah ke semua lini, meki ada sisi-sisi tertentu yang mesti dicedasi. Seperti tidak boleh bertanya yang sifatnya mengusut dan menyebabkan suasana berantakan.

Contoh, jika anda pedagang, maka jangan bertanya soal asal usul uang pembeli. “.. dari mana pak anda mendapatkan uang ini. Dengan cara halal atau haram..dsb.”… dijamin buyar kabeh. Gak jadi transaksi, malah jotos-jotosan.

Baca Juga: Persiapan Konferwil NU Jatim Capai 100 Persen, Pembukaan Siap Digelar Malam ini

Para mufassirun sepakat bahwa ayat tersebut adalah dasar “taqlid”, yaitu mengikuti fatwa, arahan, nasehat ahli ketika seseorang tidak mengerti. Orang awam mesti mengikuti fatwa cendikiawan. “al-ammah ‘alaiha taqlid ulama’iha”.

Maka benar para kiai negeri ini mewajibkan umat yang nota benenya awam bermadzhab, mengikuti pendapat salah satu maszhab empat yang sudah diakui dunia.

Pertama, Abu Hanifah, al-Nu’man ibn Tsabit, al-Hanafi. Followerya disebut al- Ahnaf atau al-Hanafiyah.

Baca Juga: Ponpes Tebuireng Siap Gelar Konferwil NU XVIII

Kedua, Malik ibn Anas, al-Maliky. Followernya disebut al- Malikiyyah. 

Ketiga, Muhammad ibn Idris, al-Syafi’iy. Followernya disebut al- syafi’iyyah. Dan keempat, Ahmad ibn Hanbal, al-Hanbaly. Followernya disebut al- Hanabilah.

Bagi anda yang punya kemampuan dan bisa mengambil sendiri dari sumbernya, al-Qur’an dan al-Hadis, maka silakan menggunakan hasil karya anda sendiri. Itu amal terpuji dan anda berjuluk al-Mujtahid. Atau anda hanya mengerti sumber dan cara ulama mengunduh fatwa dari sumbernya, maka anda berjuluk al- Muttabi’.

Baca Juga: Ribuan Santri Tebuireng Takbir Keliling dan Bakar Sate Massal, Idul Adha Makin Seru

Bagi anda yang tak mengerti arab-araban, maunya instan saja, maka tinggal menelan saja pendapat ahli dan pasti benar, lalu anda bersebutan al-Muqallid.

Jangan sok ijtihad, itu kelincipen Cak, Lha wong di kitab-kitab dan di buku-buku sudah tertulis sebelum anda lahir.

Para ulama dulu menyajikan pendapat sudah dengan cara yang benar, bahkan rumit dan mengagumkan. Bagaimana mereka bisa menyusun dan menyajikan syarat dan rukunnya shalat, ada sekian dan sekian. Sunnahnya ada sekian, pembatalnya ada sekian dengan instan dan jadi. Wudhu dan air wudhu itu begini dan begini. Belum ibadah lainnya, nikah, mu’amalah, puasa, zakat, haji dan lain-lain.

Baca Juga: Rutinitas Pengajian Ikapete di Kabupaten Pasuruan, Bahas Kitab At-Tibyan Karya Mbah Hasyim

Mereka pasti kerja ijtihad yang sangat serius, totalitas dan konfrehenship. Jika tidak, maka akan ada cacat dalam apa yang mereka fatwakan. Mereka pasti mengerti sekian dalil al-qur’an dan al-Hadis, semuanya, lalu dipilih dan dipilah menjadi bahan dan komposisi untuk menghasilkan hukum yang instan dan tinggal pakai.

Mereka tidak menyebutkan komposisi dalil yang mereka pakai, karena ini disajikan untuk orang awam. Tidak ada gunanya, malah membingungkan. Namun bagi yang ingin mengerti tehnik memasak, maka dipersilahkan masuk ke “dapur ijtihad” untuk menyaksikan sendiri. Lalu silahkan berkomentar atau bahkan mengkritik.

Chef, Koki, juru masak roti tidak harus memberi tahu komposisi roti yang disajikan. Andai penikmat roti diberi tahu, bahwa roti itu dari dubur ayam, maka dia malah muneg dan tidak percaya. Setelah dijelaskan, bahwa roti itu ada telornya dan telor itu dari dubur ayam, maka mereka manggut-manggut. (bersambung)

Baca Juga: Temu Alumi Tebuireng, Gus Kikin: Kalau Tak Ada Resolusi Jihad Tak Ada Perang 10 November

Ikuti tafsir selanjutnya: SOPIR TAQLID DAN SOPIR GOBLOK

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO