Dr. KH. Ahmad Musta'in Syafi'i
Rubrik Tafsir Al-Quran Aktual ini diasuh oleh pakar tafsir Dr KH A. Musta'in Syafi'i, Mudir Madrasatul Qur'an Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Kiai Musta'in selain dikenal sebagai mufassir juga Ulama Hafidz (hafal al-Quran 30 juz). Tafsir ini ditulis secara khusus untuk pembaca HARIAN BANGSA, surat kabar yang berkantor pusat di Jl Cipta Menanggal I nomor 35 Surabaya. Tafsir ini terbit tiap hari, kecuali Ahad. Kali ini Kiai Musta’in menafsiri Surat Al-Abiya: 25. Selamat mengikuti.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
KEIMANAN SAMA, SYARI’AH BOLEH BERBEDA
AL-ANBIYA : 25
TAFSIR
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Ayat sebelumnya bertutur tentang keimanan kepada Allah SWT sebagai Tuhan satu-satunya. Tuhan yang sah disembah, sedang Tuhan selain-Nya tidak pantas dan tidak memenuhi syarat. Tuhan Allah SWT ini memberi kriteria tentang Diri-Nya, yakni sebagai Dzat yang mencipta dan berkuasa. Lalu… apa ada yang bisa mencipta selain Dia? Apa ada yang maha kuasa selain Dia?
Ayat kaji ini melanjutkan pesan-Nya tentang Tuhan, bahwa Tuhan alam semesta ini, sejak dulu ya cuma SATU, Allah SWT saja, lain tidak. Di alam langit sono, sebelum bumi ini dihuni manusia, Iblis saja bertuhan kepada Allah SWT. Iblis mengakui, bahwa Dia, Allah adalah Tuhannya, adalah Rabbnya.
Itu dikemukakan dua kali oleh Iblis sendiri ketika dia kecewa atas Keputusan Tuhan yang mengutuknya sebagai pendurhaka gara-gara tidak mau bersujud kepada Adam. Iblis kemudian menggugat Tuhan dengan kalimat :” Rabbi faandhirni ila yaum yub’atsun”. Dan “Rabbi, bi ma aghwaitany..”. Rabbi, artinya wahai Tuhanku. (al-Hijr: 36 dan 39). Itu artinya, Iblis mengakui bahwa Allah SWT adalah Rabbnya.
Baca Juga: Tambah Wawasan soal Dunia Jurnalistik, Siswa SMA AWS Kunjungi Kantor HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE
Jadi, kalau ada manusia, punya akal sehat, membaca sejarah keimanan, bisa berlogika secara benar, lalu tidak mengakui Allah SWT sebagai Tuhan satu-satunya, dipersekutukan dan seterusnya, maka silakan berpikir sendiri : Apakah dia lebih bodoh dari Iblis? atau, apakah dia justeru lebih durhaka ketimbang Iblis?
Untuk itu, pada ayat kaji ini ditandaskan kembali bahwa misi utama seorang Rasul itu satu, yakni :” Annah La ilah illa ana fa’budun(i)”. Sungguh, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku. Tesis teologis ini azali, mutlak, paten dan unlimited sejak Allah SWT wujud hingga kapanpun dan tak ada batas.
Tetapi, syariah bisa berbeda sesuai zaman dan keadaan, sesuai era masing-masing utusan. Zaman nabi Adam A.S. tidak ada larangan mencuri. Ya mesti saja, lha wong sedunia miliknya sendiri. Zaman Nabi Nuh A.S. Luth A.S. dan yang lain, tak ada aturan nikah beda agama.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Zaman Nabi Dawud A.S. tidak ada batasan jumlah wanita yang dinikahi. Silakan menikah sekuatnya. Hal itu karena lelaki pengikut Firaun (era Nabi Musa A.S.) ditenggelamkan di laut Merah. Itu berdampak pada populasi lelaki jauh lebih sedikit dibanding jumlah wanita.
Kemudian sambung era Nabi Dawud A.S. sementara keadaan masih seperti itu. Makanya, dalam syariah nikah, seorang laki-laki dipersilakan menikahi Wanita semampunya, tanpa ada batas jumlah atas dasar kemanusiaan.
Islam memperhatikan kebutuhan biologis umat manusia, agar jangan sampai ada wanita yang tidak pernah merasakan hangatnya pelukan laki-laki sepanjang hidupnya. Itulah agama “rahmah li al-‘alamin”. Kok ada agama berkonsep tidak nikah, meski itu pilihan, tapi pasti menyalahi konsep beologis. Betah ta..?.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News