Oleh: Dr. KH. Ahmad Musta'in Syafi'i
Rubrik Tafsir Al-Quran Aktual ini diasuh oleh pakar tafsir Dr KH A. Musta'in Syafi'i, Mudir Madrasatul Qur'an Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Kiai Musta'in selain dikenal sebagai mufassir juga Ulama Hafidz (hafal al-Quran 30 juz). Tafsir ini ditulis secara khusus untuk pembaca HARIAN BANGSA, surat kabar yang berkantor pusat di Jl Cipta Menanggal I nomor 35 Surabaya. Tafsir ini terbit tiap hari, kecuali Ahad. Kali ini Kiai Musta’in menafsiri Surat Al-Abiya: 30. Selamat mengikuti.
Baca Juga: Haul Gus Dur di Tebuireng, Nurani Gus Dur Terasah di Pesantren
TEORI BIGBANG (?)
AL-ANBIYA : 30
TAFSIR
Baca Juga: Ning Inayah Wahid Sebut Gus Dur Selalu Bela Orang Lemah, Yakin Menolak Kenaikan PPN 12 %
Setelah Tuhan bertutur tentang Diri-Nya yang maha Esa, malaikat yang tunduk total kepada-Nya dan beberapa utusan yang gigih berdakwah menyampaikan agama, kini berbicara soal asal-usul kejadian bumi dan langit.
Bahwa, dulu, bumi dan langit itu dempet, menyatu menjadi satu, lalu dipisahkan.
“Kanata ratqa fa fataqnahuma”. Jadinya kayak sekarang yang kita saksikan, menjadi terpisah, sendiri-sendiri. Ada langit di atas dan ada bumi yang kita injak. Perkoro dempetnya itu seperti apa, apa kayak onde-onde atau bola, Allah a’lam.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Gunung-Gunung Ikut Bertasbih
Beberapa tahun silam, kita disuguhi teori bigbang, dentuman raksasa. Maksudnya, bumi ini dulu merupakan bulatan dan kesatuan benda, lalu terjadi dentuman raksasa menimpa bumi ini sehingga menyebabkan antara bumi dan langit terbelah.
Bigbang itu, selanjutnya berefek pada wujudnya daratan dan lautan. Ada benua, laut dan pulau-pulau. Para ilmuwan muslim terkesima dengan temuan ini, lalu mencari-cari pembenaran dalam ayat suci. Ketemulah ayat kaji ini dan dijadikan dasar pembenaran teori bigbang tersebut. Malahan, sebagian kiai, ustadz, penceramah menjadikan temuan ini sebagai materi ceramahnya. Dan bangga sekali.
Teori itu sempat menjadi kajian ilmiah dalam seminar-seminar dan bahkan menjadi materi kuliah. Beberapa ilmuwan muslim makin yakin tentang kebenaran al-Qur’an, khususnya terkait ayat ini. Sayang, beberapa tahun kemudian, dengar- dengar, katanya teori itu gugur dengan fakta ilmiah lain. Lalu, para sponsor diam semua. Allah a’lam.
Baca Juga: Ngaku Pelayan, Gus Fahmi Nangis saat Launching Majelis Istighatsah dan Ngaji Kitab At Tibyan
Tafsir aktual ini tidak memiliki kapasitas berbicara soal alam semesta, astronomi, fisika atau apa. Karena hal itu ada disiplinnya sendiri dan ada pakarnya sendiri.
Hanya mengedepankan, bahwa kebenaran wahyu itu mutlak, titik. Soal seperti apa kebenaran tersebut ditilik dari keilmuan, atau keilmuan ditilik dari nash al-Qur’an itu membutuhkan kajian tersendiri.
Hanya saja, dalam disiplin bertafsir ada disebut al-Tafsir al-‘Ilmy. Tafsir corak ini lazimnya menyoroti ayat-ayat kawniyah dan al-imam al-Thanthawy al-Jauhary telah memulai menulis disiplin ini dan menyajikan temuan-temuan sesuai zamannya.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Nabi Daud Melahirkan Generasi Lebih Hebat, Bukan Memaksakan Jabatan
Kebenaran wahyu itu mutlak, tapi kebenaran ilmu tidak mutlak, bisa berubah, apalagi bidang sains dan tehnologi. Temuan-temuan abad modern ini berkembang pesat dan menggugurkan temuan lama. Lihat saja perubahan alat komunikasi, dari menggunakan media kabel beralih ke gelombang dan signal.
Seratus tahun yang lalu, orang tidak percaya ada orang bisa omong-omong langsung dengan wong di Arab Saudi, tanpa kabel. “waw, wali be-e, dan lain-lain.”.
Ya, karena Allah SWT belum membuka ilmu tentang itu. Sekarang, justeru kalau tidak nyambung malah dipersoalkan. Hp-mu error, pulsamu habis dan lain-lain.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: 70 Persen Hakim Masuk Neraka
Thomas Samuel Kuhn, ilmuwan Amerika Serikat (1996) terkenal sebagai ahli yang punya idiom paradigma. Mulanya adalah ilmu normal, ilmu yang sudah mapan dan diakui dunia pada masanya. Lalu, dalam perjalanannya berhadapan dengan anomali-anomali sehingga terjadi chaos, kekacauan. Kemudian timbul paradigma baru atau new paradigm. Dan siklus macam itu terus bergerak.
Itulah sebabnya, maka al-imam al-Ghazaly tidak sependapat dengan adanya hukum Kausalita, sebab dan musabbab yang exact dan berkonsekuensi pasti.
“Api itu panas”. Ya, tapi itu tidak berlaku atas diri Nabi Ibrahim A.S. yang dibakar oleh raja Namrudz. Termasuk tidak berlaku di kalangan santri salaf yang main sepak bola api.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Seirama dengan Kuhn adalah Karl Raimund Popper (1994), ilmuwan Inggris yang mengedepankan madzhab Falsifikasi. Hal demikian mengingatkan kita kepada teori naskh dalam pandangan ulama ushul fiqh atau qaul qadim dan qaul jadid al- Syafi’ie, meskipun di kalangan ashabnya bersilang pandang : “ apakah al-qaul al- jadid itu serta merta menaskh al-qaul al-qadim..?”
Artinya, dalam bertafsir ilmy itu hendaknya ilmuwan tidak menggagahi dan tidak memutlakkan makna sebuah ayat sesuai temuan ilmu atau tehnologi. Hal demikian karena sangat mungkin ke depan terjadi perubahan dan adanya temuan baru sehingga menyisakan kesan, yang salah siapa : Mufassirnya atau al- Qur’annya?
Yang dianjurkan oleh para ahli adalah, ngerumangsani, mengakui keterbatasan diri sebagai manusia di hadapan luasnya kalam Tuhan. “..ala hasab al-thaqah al- basyariah”. Mufassir dituntut berkata demikian :”.. hanya inilah yang aku bisa. Sampai hari ini, tafsir ayat ini demikian, sesuai dengan temuan ilmu dan tehnologi, selanjutnya: allah a’lam”.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News