JAKARTA, BANGSAONLINE.com – Ternyata tatanan negara - di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo banyak mengalami kerusakan parah. Bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), salah satu institusi negara yang semula berperan sangat strategis dalam pemberantasan korupsi, dilumpuhkan oleh Jokowi. Padahal KPK merupakan anak kandung reformasi. Bahkan KPK didirikan lantaran kepolisian dan kejaksaan dianggap tak memadai dalam upaya pemberantasan korupsi.
Belum lagi Mahkamah Konstitusi (MK) yang menurut majalah Tempo melahirkan “anak haram konstitusi” yaitu Cawapres Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi.
Baca Juga: Eks Wakil Ketua KPK Jadikan Peserta Seminar Responden Survei: 2024 Masih Sangat Banyak Korupsi
Majalan Tempo bahkan kini memberikan julukan baru pada Jokowi. Yaitu sebagai presiden paling jago dalam melemahkan KPK.
“Dalam hal melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi, Presiden Joko Widodo memang jagonya,” tulis opini Majalah Tempo edisi 18-24 Desember 2023.
Menurut catatan Tempo, berkali-kali pemeritah dan DPR berusaha merevisi Undang-Undang KPK sejak 2010. Baru pada akhir periode pertama pemerintahan Jokowi sukses melemahkan KPK. Perubahan Undang-Undang nomor 30 Tahun 2002 disahkan DPR pada 17 September 2019 dengan mengabaikan penolakan publik secara yang masif. Bahkan, ironisnya, Undang-Undang itu hanya dibahas dua pekan.
Baca Juga: Kasus Hibah Pokmas APBD Jatim, Anak Cabup Jombang Mundjidah Dipanggil KPK
“Sejak itulah independensi KPK hilang,” tulis Tempo.
Lembaga anti rusuah itu berada di bawah presiden dengan anggota Dewan Pengawas KPK dipilih oleh kepala pemerintahan. Gilanya, para penyidiknya pun jadi aparatur sipil negara.
“Pengajuan Firli Bahuri sebagai calon Ketua KPK semakin membuktikan pelemahan itu,” tulis Tempo lagi.
Baca Juga: Nama-Nama Anggota DPRD Jatim yang Diperiksa KPK dalam Kasus Dugaan Korupsi Dana Hibah
Firli adalah jenderal polisi yang banyak melakukan pelanggaran etik saat menjabat Deputi Penindakan KPK pada 2018-2019.
Menurut Tempo, keinginan melemahkan KPK datang dari Jokowi sendiri. Ia menganggap KPK terlalu kuat sehingga mengganggu pembangunan. Menurut dia, banyak program kepala daerah macet karena diawasi KPK. Waktu itu KPK baru saja menetapkan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf sebagai tersangka korupsi proyek infrastruktur yang memakai dana otonomi khusus.
Baca Juga: Dukung Swasembada Pangan, Menteri ATR/BPN: Butuh Tata Kelola Pertanahan yang Baik
Sikap Jokowi menolak mempertahankan independensi KPK hari-hari ini menjadi penting di tengah kontroversi Ketua KPK 2015-2019 Agus Rahardjo. Kepada Kompas TV, Agus diminta Jokowi menghentikan penyidikan korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elekronik yang menjerat Ketua DPR Setya Novanto. Menjelang pemilihan presden 2019, Jokowi tengah membangun koalisi dengan Partai Golkar yang kala itu dipimpin Setya.
Permintaan Jokowi itu membuktikan bahwa Presiden telah bergerak melemahkan Komisi sebelum Undang-Undang KPK direvisi. Untuk memperkuat pemerintahannya, Jokowi rela membiarkan korupsi merajalela.
Pembangunanisme Jokowi mengantarkannya pada hipotesis sungsang: makin ketat pembangunan dijaga dari para maling, makin tertatih-tatih roda pembangunan. Jokowi tampak setuju pada adagium politikus bahwa korupsi adalah oli pembangunan.
Baca Juga: Kota Pasuruan Perkuat Komitmen Antikorupsi lewat Sosialisasi dan Pakta Integritas DPRD
Analisis lain menyebutkan Presiden sedang memberi gula-gula agar DPR menyeujui usul pemerintah membentuk Undang-Undang Cipta Kerja. Aturan ini mengoreksi hampir 90 undang-undang yang dianggap menyulitkan investasi. Disahkan DPR pada Oktober 2020, Undang-Undang Cipta Kerja secara brutal mengabaikan tata kelola, termasuk peraturan yang menjaga lingkungan, atas nama pembangunan.
Dalam banyak wawancara dengan media di awal periode kedua pemerintahannya pada 2020, Jokowi mengatakan akan memprioritaskan pembangunan melalui investasi seraya menomorduakan perlindungan lingkungan dana hak asasi manusia. Omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja adalah cara Jokowi mewujudkan keinginannya itu.
Dengan kata lain, argumentasi itu memperkuat fakta bahwa pembangunanisme Jokowi adalah biang keladi pelemahan KPK. “Keladi” lain adalah kepentingan politikus DPR. Selama 20 tahun usia KPK, lembaga ini mengungkap 344 kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR – terbanyak ketiga setelah pengusaha dan pejabat pemerintah.
Baca Juga: Eks Kades Kletek Sidoarjo Dituntut 1 Tahun 10 Bulan Penjara di Kasus Dugaan Korupsi PTSL
Kekuasaan, tulis sejarawan Inggris, Lord Acton, dalam suratnya kepada Gereja Katholik Roma pada 1887, cenderung korup. Karena itu, kekuasaan – di tangan Jokowi atau bukan – cenderung tak suka pada pemberantasan korupsi. Kini nasi sudah basi dan tak sekedar jadi bubur. Ke depan, penguatan kembali KPK membutuhkan kerja keras yang tak mudah.
Soal pemberantasan korupsi, tiga kandidat presiden 2024-2029 baru sekedar menanam tebu di bibir. Disokong partai yang punya rekam jejak dalam pemberantasan korupsi, siapapun yang terpilih tahun depan tak akan bisa berbuat banyak. Pembiayaan politik yang kotor dan tak transparan juga akan menyandera mereka setelah nanti terpilih.
Yang menyedihkan bukan tak mungkin terjadi: diam-diam presiden terpilih berterimakasih kepada Jokowi karena telah melempangkan jalan bagi penguatan korupsi.
Baca Juga: Vinanda-Gus Qowim dapat Pesan Peningkatan Industri Pariwisata dari Jokowi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News