Oleh: Dr. KH. Ahmad Musta'in Syafi'i
Rubrik Tafsir Al-Quran Aktual ini diasuh oleh pakar tafsir Dr KH A. Musta'in Syafi'i, Mudir Madrasatul Qur'an Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Kiai Musta'in selain dikenal sebagai mufassir juga Ulama Hafidz (hafal al-Quran 30 juz). Tafsir ini ditulis secara khusus untuk pembaca HARIAN BANGSA, surat kabar yang berkantor pusat di Jl Cipta Menanggal I nomor 35 Surabaya. Tafsir ini terbit tiap hari, kecuali Ahad. Kali ini Kiai Musta’in menafsiri Surat Al-Abiya: 34-35. Selamat mengikuti.
Baca Juga: Ngaku Pelayan, Gus Fahmi Nangis saat Launching Majelis Istighatsah dan Ngaji Kitab At Tibyan
AL-ANBIYA’ : 34-35
TAFSIR
Setelah Allah SWT menegaskan eksistensi-Nya sebagai Tuhan satu-satunya yang mesti disembah dengan mengemukakan argumen-argumen wujudnya alam ini, langit, bumi, matahari, rembulan, malam, siang dan lain-lain, kini Tuhanmenjawab ocehan mereka terhadap diri Rasulullah SAW.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Nabi Daud Melahirkan Generasi Lebih Hebat, Bukan Memaksakan Jabatan
Mereka terus mengolok-olok Rasulullah SAW dengan berbagai cara. Dituduh sebagai tukang sihir, gila hormat, panyair dan lain-lain, “..Halah, Muhammad itu tidak ada apa-apanya, tak ubahnya seperti penyair Bani Fulan, penyair kampung. Biarkan saja, nanti akan mati sendiri…”. “ … sya’ir natarabbash bih raib al-manun”.
Kemudian Tuhan menjawab ocehan mereka itu dengan turunnya ayat ini. Dalam artian, bahwa kematian pasti menimpa setiap makhluq bernyawa. Nabi-nabi terdahulu juga mati dan tidak ada yang kekal, hidup terus sepanjang masa. Tidak terkecuali Rasulullah Muhammad SAW. Mosok, kamu (wahai Muhammad) mati, sementara rasul-rasul sebelum-mu hidup terus. ”..afa’in mitta fahum al-khalidun”.
Kata “basyar” arti aslinya adalah “kulit”. Mubasyarah, artinya ketemuan antar kulit, langsung, yang oleh disiplin fikih sering dipakai makna persetubuhan, bersenggama. Lalu, menjadi istilah untuk “manusia”. Lalu apa korelasi makna “basyar” (kulit) dengan manusia.? Atau, mengapa manusia disebut basyar..?
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: 70 Persen Hakim Masuk Neraka
Sebab manusia adalah satu-satunya makhluq, yang kulitnya paling nampak, ada di bagian luar, terbuka sebagai pamor. Berbeda dengan umumnya makhluq lain, seperti binatang. Yang kulitnya ditutupi oleh bulu, kayak unggas dan hewan-hewan darat. Juga ditutupi sisik atau lendir seperti hewan air. Bahkan ada yang tulangnya di luar melindungi dagingnya seperti kepiting, rajunagn, siput dan sebangsanya.
Dari falsafah “basyar” ini, manusia sangat perhatian kepada kulitnya, dirawat secara sungguhan karena sebagai pamor. Pemilik kulit indah dan bersih akan lebih berbangga ketimbang yang kotor dan panuan. Pemilik wajah kemilau nan menawan akan tampil lebih pede ketimbang yang kusam dan jerawatan.
Dari “basyar” ini, maka dalam agama, kulit menjadi media aurat yang mesti ditutupi sesuai aturan syari’ah. Ada aurat bagi pria yang sudah mukallaf dan ada aurat bagi wanita. Ada aturan aurat bagi sesama pria dan ada yang teruntuk sesama wanita. Ada aturan antar mahram dan bukan mahram. Bahkan lebih ketat lagi saat si mukallaf sedang beribadah, shalat, thawaf – misalnya.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
“ Wa ma ja’alna li basyar min qablik al-khuld”. Dari tesis ini terbaca ada khitab “min qablik” yang mengarah ke diri prbadi nabi Muhammad SAW. Maka makna “basyar” – secara implisit - adalah manusia yang jabatannya sama-sama nabi, utusan Allah SWT, seperti nabi Isa A.S., nabi Musa A.S dan lain-lain bukan manusia pada umumnya.
Termasuk Nabi Khadlir A.S. yang disinggung pada surah al-kahf dengan bahasa “ ‘abda min ibadina”. Khadlir A.S., dikisahkan sebagai guru spiritual Nabi Musa A.S., di mana ilmu nabi Musa A.S. tidak menjangkau kedalaman ilmu Nabi Khadlir A.S. Itu terbukti, tiga kali diuji dan ternyata Nabi Musa A.S. tidak lulus. Ya, meskipun tidak lulus, tidak tamat dari padepokan Khadlir, tapi tetap menjadi nabi. (bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News