Etika Gibran Bertentangan dengan Budaya Tawadlu dan Akhlak Pesantren

Etika Gibran Bertentangan dengan Budaya Tawadlu dan Akhlak Pesantren Penampilan Calon Wakil Presiden 02 Gibran Rakabuming Raka dalam Debat Cawapres saat mencari jawaban Mahfud MD di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Minggu (21/1/2024), Foto: KPU RI

JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Ada hikmah besar dari gelaran Debat Cawapres 2024 yang berlangsung pada Ahad (21/01/2024). Kini masyarakat ramai memperbincangkan betapa pentingnya akhlak, etika atau adab. Peristiwa ini tak lepas dari penampilan Gibran Rakabuming Raka, Cawapres 02, yang penuh (gimik), atraksi, dan gestur tubuh diluar kepantasan sehingga dianggap tak beretika.

Bahkan Gibran dalam debat Cawapres yang berlangsung di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Ahad (21/1/2024), itu banyak menyerang personal, bukan gagasan dan kebijakan. Padahal beberapa hari sebelumnya Presiden Jokowi, ayahnya, mengeritik gelaran Debat Capres yang menampilkan Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo. Saat itu Prabowo yang didukung Presiden Jokowi kedodoran, tak bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan Ganjar dan Anies. Presiden Jokowi bahkan minta KPU RI agar mengubah format debat Capres, meski tak digubris oleh Ketua KPU Hasyim Asy'ari.

Baca Juga: Terungkap, Gus Miftah juga Rendahkan Mahfud MD, Cak Nun, Ustadz Maulana dan Yati Pesek

Banyak sekali tokoh nasional yang heran dan tak habis pikir menyaksikan penampilan Gibran yang penuh gimik dalam Debat Cawapres 2024 itu. Mereka menganggap wali kota Solo itu tuna akhlak dan nihil etika. 

“Pelajaran penting untuk kita yang punya anak, terutama yang belum dewasa: bantu mereka membedakan sikap kritis & sikap tegas, dengan sikap merendahkan & sikap melecehkan,” tulis Alissa Wahid, putri Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang kini menjadi salah seorang ketua PBNU.

Lukman H. Saifuddin, mantan Menteri Agama RI, juga menulis di Twitter (X). “Malam ini aku belajar bagaimana beretika dan menaruh hormat kepada teman debat. Jangan pernah menjadi tuna etika...,” tulis putra tokoh besar NU KH Saifuddin Zuhri itu.

Baca Juga: Menteri Rame-Rame Minta Tambah Anggaran, Cak Imin Rp 100 T, Maruar Rp 48,4 T, Menteri Lain Berapa T

Akhlak atau etika adalah pondasi dasar bagi sebuah negara. Gus Dur dengan lantang pernah berkata bahwa negeri ini tak akan hancur karena bencana atau berbeda. Tetapi akan hancur karena moral bejat dan perilaku korupsi.

Itulah kenapa The Founding Fathers, pendiri negeri ini membuat Undang-Undang sekaligus menetapkan batasan usia calon presiden dan wakil presiden minimal 40 tahun. Karena pada usia itulah seseorang mulai memasuki fase kejiwaan matang, termasuk secara akhlak. Artinya, batasan usia capres dan cawapres minimal 40 tahun itu sangat pas dan ideal.

Apalagi secara faktawi, semua pelanggaran hukum, termasuk korupsi, pasti dilakukan oleh orang tak beretika atau berakhlak. Celakanya, Gibran lolos sebagai calon wakil presiden justru lewat cara-cara tak beretika. Tak aneh, jika Majalah Tempo menjuluki Gibran sebagai anak haram konstitusi.

Baca Juga: Mahfud MD: Seharusnya Polisi Tak Sungkan Periksa Budi Arie, karena Jantung Persoalan

Seperti kita pahami, meski Gibran belum berusia 40 tahun, tapi Mahkamah Konstitusi (MK) - yang saat itu diketuai pamannya, Anwar Usman - meloloskannya. Sang paman “menyiasati” aturan: meski belum mencapai usia 40 tahun tapi pernah menjabat sebagai kepala daerah.

Untungnya, Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang diketuai Prof Dr Jimly Ashiddhiqy tegas: memutuskan memecat Anwar Usman karena dianggap telah melakukan pelanggaran etika berat. 

Memang pemecatan Anwar Usman yang adik ipar Presiden Jokowi itu tak mengubah putusan MK. Tapi paling tidak, publik paham bahwa telah terjadi pelanggaran etika berat dalam putusan gugatan batas usia capres-cawapres yang kemudian meloloskan Gibran sebagai cawapres. 

Baca Juga: Hadiri Kampanye Akbar Luluk-Lukman di Gresik, Cak Imin akan Sanksi Anggota DPRD yang tak Bergerak

Dalam akhlak menempati posisi sangat sentral. Sedemikian sentral sampai posisi akhlak ditempatkan lebih tinggi di atas ilmu. Memang faktanya, sehebat apa pun ilmu seseorang, jika ia tak berakhlak, tak akan dihargai masyarakat. Apalagi ia tak berilmu malah nihil etika.

“Pelajari adab sebelum mempelajari ilmu,” ujar Imam Malik, salah satu imam madzhab yang dianut warga NU.

Nabi Muhammad SAW juga secara tegas bersabda: Innama buitstu liutammima makarimal akhlaq. Saya diutus untuk menyempurnakan akhlak.

Baca Juga: Luruskan Penyebutan Hakim dalam Tap MPRS, Mahfud MD: Yang Mulia atau Yang Memalukan?

Dalam tradisi pesantren ada sikap tawaddlu’ (rendah hati). Mengutip Ibnu Hajar dalam Kitab Fathul Bari (11: 341), tawadlu merupakan sikap atau penampakan diri lebih rendah pada orang yang ingin mengagungkannya. Ada pula yang mengatakan bahwa tawadhu adalah memuliakan orang yang lebih mulia darinya. Tapi tidak rendah diri.

Para santri umumnya sangat tawaddlu. Baik secara fisik maupun jiwa. Lihat saja saat santri bersalaman dengan para kiai atau orang tuanya. Juga ketika bersalaman dengan orang yang lebih tua. Mereka tawaddlu secara lahiriah dan bathiniah. Artinya, gestur tubuh dan jiwanya klop karena dilandasi rasa tulus.

Tidak seperti Gibran. Membungkukkan tubuh tapi saat berdebat tidak punya sopan santun. Otomatis terasa sekedar acting. Setidaknya, itulah yang kita saksikan dalam Debat Cawapres Ahad lalu. Ia secara atraktif merendahkan bahkan melecehkan lawan debatnya: Prof Mahfud dan

Baca Juga: Viral Pernyataan Babe Haikal Terkait Sertifikasi Halal, Mahfud MD Beri Tanggapan Menohok

Gimmick Gibran dengan gaya celingak-celinguk mencari jawaban Mahfud MD adalah gestur tubuh penghinaan yang sangat vulgar dan kasar.  Padahal secara materi Gibran kerap tak bisa menjawab ketika Mahfud MD melontarkan pertanyaan. Gibran justru banyak menampilkan , atraksi, seolah-olah ia paling menguasai debat dan materi.

Dalam atraksi Gibran yang over acting itu dinamakan suul adab atau akhlak buruk, ngelonjak atau tindakan melampaui batas yang tercela.  

Maka sangat wajar, jika Gibran lalu dikecam mayoritas rakyat Indonesia. Terutama mereka yang beradab, beretika dan berakhlak. Bahkan simpati publik langsung drop pada Gibran. Analisis data yang dilansir Drone Emprit di media sosial X (Twitter) pada Minggu (21/1/2024) pukul 19.00-22.00 WIB menunjukkan sebanyak 60% dari percakapan di X tentang Gibran adalah negatif, 33% positif, dan 7% netral.

Baca Juga: Sama Pernah Naik Jet Pribadi, Tapi Mahfud MD Bukan Gratifikasi, Kaesang Belum Berani Klarifikasi

"Ini menunjukkan adanya sentimen yang kurang menguntungkan atau permasalahan yang mungkin sedang dihadapi oleh Gibran Rakabuming di media sosial selama jangka waktu yang ditentukan," tulis Ismail Fahmi, founder Drone Emprit, dalam cuitannya, Senin (22/1/2024).

Menurut pendiri Drone Emprit itu, para pengguna X memberikan sentimen negatif karena sikap Gibran selama debat berlangsung. Mereka mengkritik Gibran karena melanggar aturan debat dengan meninggalkan podium untuk bicara. Selain itu, putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu juga dinilai tidak memiliki adab dan etika saat debat dengan cawapres nomor urut 3 Mahfud MD.

"Ada yang menganggap Gibran sombong dan ingin merendahkan Prof Mahfud," tulis Ismail Fahmi dalam hasil analisis Drone Emprit yang dibagikan di akun X-nya.

Baca Juga: Politikus PKB Kota Batu Beri Ucapan Selamat kepada KH Ma'ruf Amin dan Gus Muhaimin

Bahkan warganet menyebut Gibran songong, kemlinthi, tak punya adab, dan tak layak sebagai calon wakil presiden. Alasannya, selain banyak yang merendahkan juga karena pertanyaan yang disampaikan lebih banyak bersifat teknis dan tebak-tebakan bukan kebijakan.

Sebaliknya, dan Mahfud MD justru menuai simpati publik. Data yang dilansir Drone Emprit menyebutkan bahwa Muhaimin mendapat sentimen positif 80%, sentimen negatif 6% setimen netral 14%.

Sedangkan Mahfud MD mendapat sentimen positif 79%, sentimen negatif 12% dan setimen netral 9%.

Secara umum, warganet mengapresiasi penampilan Mahfud MD dalam Debat Cawapres itu. Warganet menilai Mahfud MD punya pengetahuan baik dalam berbagai isu yang dibahas. Mahfud juga dianggap sebagai sosok arif, bijaksana, dan cerdas dalam menyampaikan pendapatnya.

Otomatis Gibran - yang secara keilmuan dan pengalaman jauh di bawah Mahfud - gagal total untuk menjatuhkan tokoh NU yang dikenal sebagai sahabat dekat Gus Dur itu.

Alhasil, etika Gibran sangat kontras dengan budaya tawaddlu para santri. Para santri tidak pongah, tidak berwatak menghina, tidak berwatak menjatuhkan orang lain, tidak sok pintar atau jumawa, terutama kepada orang yang lebih tua dan berilmu. Sebaliknya, para santri sangat hormat dan memuliakan orang lain, terutama orang yang berilmu dan lebih tua, sekaligus menyayangi yang lebih muda.

Karena itu para kiai pesantren harus membentengi para santri dari watak buruk atau suul adab seperti yang diatraksikan putra Presiden Jokowi dalam Debat Cawapres 2024 itu. Wallahua’lam bisshawab. (MMA)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Sejumlah Pemuda di Pasuruan Dukung Muhaimin Maju Calon Presiden 2024':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO