SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Pondok Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur mencopot dan tak memakai sprei serta sarung bantal berlambang NU yang disediakan Panitia Muktamar NU ke-33. Pihak Tebuireng menilai sangat tidak etis dan tak sopan jika lambang NU dijadikan alas tidur. Apalagi peserta Muktamar NU adalah para kiai yang sangat menghormati NU, termasuk lambang NU.
”Sangat tidak sopan kalau lambang NU ditiduri,” kata Ustadz Aswani, salah seorang pengurus Pesantren Tebuireng yang kini sibuk menyiapkan akomodasi untuk peserta Muktamar NU.
Baca Juga: Mitos Khittah NU dan Logika Kekuasaan
Apalagi, menurut dia, tak tertutup kemungkinan peserta Muktamar yang memakai sprei itu kadang melewati atau melintas di atas kasur sehingga lambang NU itu terinjak kaki. ”Kan tidak sopan kalau lambang NU diinjak-injak,” katanya.
Ramadan Sukardi, mantan pengurus PWNU Jawa Timur mengaku heran terhadap Panitia Muktamar NU yang tak peka dan tidak menghargai lambang NU yang seharusnya dijunjung tinggi. Menurut dia, seharusnya Panitia Muktamar NU segera menarik sprei dan sarung bantal yang sudah terlanjur diedarkan kepada empat pesantren itu agar tak terjadi penistaan terhadap lambang NU. Sebab masalah lambang bagi organisasi sangat dihormati. Apalagi NU adalah organisasi keagamaan yang dilahirkan dan dipimpin para ulama atau kiai.
Menurut Ustadz Aswani, bukan hanya sprei dan sarung bantal yang tak dipakai di Pesantren Tebuireng. Kasur dan bantal pemberian Panitia Muktamar NU juga tak dipakai karena terlalu tipis. ”Kasur dan bantal yang diberikan kepada Pesantren Tebuireng berbeda dengan kasur dan bantal yang diberikan kepada pesantren lain,” ungkap Ustadz Aswani.
Baca Juga: Kembangkan Kewirausahaan di Lingkungan NU, Kementerian BUMN Teken MoU dengan PBNU
Menurut Aswani, Pantia Muktamar NU memang sangat diskriminatif terhadap Pesantren Tebuireng. Padahal Tebuireng adalah warisan mulia pendiri NU Hadratussyakh Hasyim Asy’ari.
Ia menjelaskan bahwa kasur dan bantal dari Panitia Muktamar yang diberikan kepada Tebuireng kurang layak untuk fasilitas para kiai. Ukurannya 170x90 cm dan tebalnya cuma 5 cm. Padahal, menurut dia, KH Ir Salahuddin Wahid (Gus Solah) selaku Pengasuh Pesantren Tebuireng wanti-wanti agar Tebuireng memberi pelayanan istimewa terhadap peserta Muktamar NU. ”Kiai (Gus Solah) berpesan jangan sampai peserta Muktamar nanti ada masalah soal fasilitas dan kenyamanan,” kata Aswani.
Karena dianggap kurang layak untuk para kiai akhirnya Pesantren Tebuireng membeli sendiri kasur dan bantal untuk peserta Muktamar. ”Kami beli kasur dan bantal sendiri. Jadi terpaksa pondok (Tebuireng) yang menanggung semua biaya,” katanya.
Baca Juga: Konflik Baru Cak Imin, Istri Said Aqil Mundur dari PKB, Akibat Khianat saat Muktamar NU?
Kasur hasil belanja Pesantren Tebuireng ini lebih tebal. Yaitu sekitar 12 cm. Panjangnya dua meter dan lebarnya satu meter. ”Padahal dana dari Panitia Muktamar untuk beli kasur dan bantal saja tak cukup. Belum lagi untuk konsumsi peserta Muktamar,” katanya.
Seperti diketahui, ada empat Pesantren yang dijadikan tempat Muktamar NU. Yaitu Pesantren Tebuireng, Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras, Pesantren Mambaul Maarif Denanyar, dan Pesantren Darul Ulum Peterongan Jombang. Namun dari empat pesantren itu, pesantren Tebuireng yang selalu dianak tirikan. Bahkan sempat tersiar kabar bahwa Pesantren Tebuireng semula tidak akan ditempati Muktamar NU. Pantia Muktamar dikabarkan mau memindah lokasi Muktamar ke Pesantren Pacul Goang milik KH Aziz Manshur yang Ketua Dewan Syuro Dewan Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (DPP PKB). (Baca juga: muktamar-nu" style="background-color: initial;">Ada Upaya Pondok Pesantren Tebuireng tak Ditempati Muktamar NU) (tim)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News