KH Afifuddin Muhajir Tolak Akui Muktamar NU dan Produknya

KH Afifuddin Muhajir Tolak Akui Muktamar NU dan Produknya KH Afifuddin Muhajir, Wakil Pengasuh Pesantren Salafiyah Syafiiyah Asembagus Situbondo dan Wakil Katib Syuriah PBNU 2010-2015

JEMBER, BANGSAONLINE.com - KH Afifuddin Muhajir, Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur, kembali menegaskan penolakannya terhadap hasil Muktamar NU ke-33 di alun-alun Jombang. Wakil Katib Syuriyah PBNU 2010-2015 itu secara tegas menolak karena hasil muktamar NU tersebut bermasalah, prosesnya tidak benar sehingga menghasilkan sesuatu yang tidak sah.

"Jadi hasil Muktamar NU tidak perlu diakui," kata KH. Afifuddin kepada wartawan, Minggu (9/8).

Ia menyoroti permasalahan utama dalam muktamar adalah pemaksaan mekanisme ahlul halli wal aqdi (AHWA) kepada peserta muktamar dalam bentuk keharusan pengisian calon anggota AHWA pada saat registrasi. Inilah yang menimbulkan kericuhan karena sebagian besar peserta menolak.

"AHWA itu kalau memang mau diberlakukan harusnya diputuskan di forum muktamar melalui mekanisme yang benar, bukan diberlakukan sebelum muktamar atau malah menjadi syarat ikut muktamar," katanya.

Menurutnya, pidato Gus Mus selaku Rois Aam waktu terjadi deadlock pada saat sidang tata tertib sebenarnya telah memberikan jalan tengah, yakni Rois Am dipilih oleh rais PWNU dan PCNU secara mufakat dan bila tidak sepakat maka dilakukan pemungutan suara sesuai dengan AD/ART.

Namun hal itu tidak dijalankan, karena terdapat pemaksaan mekanisme AHWA dengan cara penentuan sembilan anggota AHWA oleh panitia berdasarkan daftar isian saat pendaftaran. Sembilan nama hanya diusulkan oleh sebagian PWNU dan PCNU.

Sebagian besar PWNU dan PCNU tidak lagi diberikan kesempatan dan haknya ikut menentukan anggota AHWA pada sidang pemilihan anggota AHWA, karena yang terjadi saat itu hanyalah pengumuman oleh panitia dan pimpinan sidang tentang 9 nama anggota AHWA yang telah ditentukan.

Ia menilai sistem AHWA pada praktiknya tidak hanya melibatkan sembilan anggota melainkan sebelas, karena Nusron Wahid dan Saifullah Yusuf mengikuti jalannya sidang AHWA tersebut. "Jadi merekalah (Nusron dan Saifullah Yusuf) yang lebih dominan," ungkapnya.

Baca Juga: Mitos Khittah NU dan Logika Kekuasaan

Terbukti Saifullah Yusuf-lah yang mengumumkan hasil sidang AHWA, bukan para kiai yang diperankan sebagai anggota AHWA.

Muncul pertanyaan bahwa AD/ART NU bukan kitab suci, sehingga apakah bisa diubah atau tidak. “Tentu menurut saya bisa saja ditawar, tetapi itu pun harus disetujui oleh mayoritas muktamirin (peserta muktamar). Jika disetujui oleh mayoritas muktamirin maka tidak ada masalah,” ungkap dia.

Afifuddin menambahkan, pada saat berjalannya muktamar, ada forum rais syuriah, yang diikuti oleh seluruh Pengurus Syuriah PBNU dan Syuriah PWNU se-Indonesia, yang dipimpin langsung Gus Mus.

Baca Juga: Kembangkan Kewirausahaan di Lingkungan NU, Kementerian BUMN Teken MoU dengan PBNU

“Dalam forum itu beliau (Gus Mus) menyampaikan jika kiai dipilih kiai, artinya rais aam dipilih rais-rais, itu sesungguhnya tawaran juga, dan semuanya sepakat waktu itu, termasuk saya juga sepakat. Tetapi, hal itu juga mengandung dua pengertian, pertama rais-rais memilih langsung rais aam, atau rais-rais hanya memilih anggota AHWA,” kata Afifuddin.

Namun, lanjut Afifuddin, tawaran tersebut ternyata tidak dijalankan. Sebab, anggota AHWA tidak dipilih oleh rais-rais syuriah, melainkan dipilih panitia. “Itupun berdasarkan ranking pada saat registrasi, jadi itu bukan pilihan rais- rais. Dan saat itu, jumlah AHWA bukan sembilan orang, tetapi 11 orang, ditambah Gus Ipul dan Nusron Wahid. Sehingga merekalah yang kemudian lebih dominan,” tambah dia.

Berdasarkan fakta-fakta itulah, Afifuddin mengaku, secara pribadi dia tidak akan mengakui hasil muktamar di Jombang. “Ini pernyataan pribadi saya, silahkan yang mau mengakui, dan silahkan yang tidak mau mengakui. Dan yang pasti, saya tidak akan mau masuk dalam struktur kepengurusan PBNU periode mendatang,” kata dia.

Baca Juga: Konflik Baru Cak Imin, Istri Said Aqil Mundur dari PKB, Akibat Khianat saat Muktamar NU?

Sebelumnya, Kiai Afifuddin juga mengutip syair Arab yang intinya, seseorang yang tidak punya sesuatu, tidak bisa memberikan sesuatu. “Orang yang tidak punya uang tak bisa memberikan uang. Orang yang tidak punya kejujuran tak bisa bersikap jujur kepada orang lain,” kata Kiai Afifuddin menyindir PBNU dan Panitia Muktamar NU ke-33.

Kiai Afifuddin bahkan juga menyinggung soal Islam Nusantara yang disebut ingin membangun peradaban. ”Orang yang tidak beradab tak bisa membangun peradaban,” katanya. (tim)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Mobil Dihadang Petugas, Caketum PBNU Kiai As'ad Ali dan Kiai Asep Jalan Kaki ke Pembukaan Muktamar':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO