BANGSAONLINE.com - KHA Muchith Muzadi yang dikenal sebagai penggagas khittah 26 yang kemudian diratifikasi KH Ahmad Sidiq dipanggil Yang Maha Kuasa. Kiai sepuh NU yang dikenal sangat bersahaya itu menghembuskan nafas terakhir pada pukul 5.00 pagi, Minggu (6/9/2015) di Rumah Sakit Persada Malang Jawa Timur. “Jenazah disalati di Pesantren Al-Hikam Malang dan dimakamkan di Jalan Kalimantan Jember,” tutur KHA Hasyim Muzadi, adik kandung KHA Muchith Muzadi, Minggu (6/9/2015).
Mbah Muchith - panggilan KH Muchith Muzadi – adalah santri langsung Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Jadi dia bagian dari otensitas sejarah NU. Meski demikian Mbah Muchith sangat tawaddlu alias rendah hati.
Baca Juga: Mitos Khittah NU dan Logika Kekuasaan
Semula, ketika media massa pada tahun 1984 ramai memberitakan NU kembali ke khitah 26 dalam Muktamar NU ke-27 di Pesantren Salafiyah Syafiiyah Asembagus Sukorejo Situbondo Jawa Timur, Mbah Muchith seolah berada di balik meja yang tak terendus media. Namun tak lama kemudian media akhirnya tahu bahwa di balik hingar bingar khitah 26 itu ternyata ada peran besar Mbah Muchith.
Para wartawan pun berusaha untuk mewawancarai Mbah Muchith. Namun Mbah Muchith selalu menjawab dengan rendah hati. ”Saya ini hanya juru ketik,” katanya merendah. Maksudnya, ia menjadi juru ketik Kiai Ahmad Sidiq yang terpilih sebagai Rais Am Syuriah PBNU pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo.
Khitah 26 adalah sejarah penting dalam perjalan NU. Karena melalui khitah 26 itulah NU akhirnya bisa diselamatkan dari keterlibatan politik praktis. Peristiwa ini tak lepas dari posisi KH Idham Chalid sebagai Ketua Umum Tanfidziah PBNU.
Baca Juga: Kembangkan Kewirausahaan di Lingkungan NU, Kementerian BUMN Teken MoU dengan PBNU
Kiai Idham Chalid terpilih sebagai Ketua Umum PBNU pada Muktamar NU ke-21 di Medan bulan Desember 1955. Saat dipercaya menjadi orang nomor satu NU ia masih berusia 34 tahun. Namun ternyata ia bisa menjabat ketua umum paling lama dalam sejarah NU. Ia menjabat ketua umum PBNU sampai 28 tahun.
Sayangnya pada era kepemimpinan Idham Chalid ini NU terlalu jauh berkecimpung dalam politik praktis sehingga fungsi NU sebagai organisasi keagamaan banyak terabaikan. Maka para kiai sepuh dan berpengaruh di NU seperti KH As’ad Syamsul Arifin (Situbondo), KH Ali Maksum (Lasem), KH Mahrus Ali (Lirboyo), KH Ali Maskur (Jakarta) dan kiai-kiai lain bersama para kader muda NU seperti KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH Ahmad Siddiq, KHA Mustofa Bisri (Gus Mus), KH Hasyim Muzadi, KH Imron Hamzah dan kiai muda lainnya saat itu berinisiatif untuk menyelamatkan NU dari cengkeraman politik praktis yang selama ini telah banyak merugikan NU. Para kiai itu kemudian menunjuk KHA Hasyim Muzadi sebagai ketua Panitia Muktamar NU ke-27 di Situbondo.
Namun niat mulia para kiai itu tak mudah untuk direalisasikan karena Kiai Idham Chalid yang didukung para politisi seperti KH Chalid Mawardi yang kemudian dikenal sebagai kubu Cipete sangat kuat mengakar di PCNU dan PWNU seluruh Indonesia. Maklum, Kiai Idham Chalid mimpin PBNU selama 28 tahun.
Baca Juga: Konflik Baru Cak Imin, Istri Said Aqil Mundur dari PKB, Akibat Khianat saat Muktamar NU?
Maka para kiai di bawah pengaruh Kiai As’ad Syamsul Arifin dan kiai lain yang kemudian dikenal sebagai kubu Situbondo berinisiatif memakai sistem pemilihan Ahlul Halli Wal Aqdi untuk memotong mata rantai gerakan Idham Chalid pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo.
Namun berbeda dengan sistem Ahlul Halli Wal Aqdi yang dipraktikkan di Muktamar NU ke-33 di alun-alun Jombang yang penuh rekayasa, pemaksaan dan riswah (money politics), sistem Ahlul Halli Wal Aqdi yang diterapkan di Muktamar NU ke-27 di Situbondo bertumpu pada kharisma para kiai NU yang memang bersih dan wira’i, di samping disiapkan secara matang melalui prosedur sesuai dengan AD/ART.
Sehingga para Muktamirin yang hadir dalam Muktamar NU ke-27 merasa ikhlas karena hak-hak mereka tak terampas seperti pada Muktamar NU ke-33 di alun-alun Jombang. Selain itu, para kiai yang mimpin Ahlul Halli Wal Aqdi dalam Muktamar NU ke-27 di Situbondo memang punya muruah tinggi dan tak satupun cacat moral.
Baca Juga: Emil Dardak Dukung Muktamar NU ke-35 di Surabaya
Maka dengan tekad kembali ke khitah 26 Ahlul Halli Wal Aqdi yang dipimpin Kiai As’ad Syamsul Arifin itu mulus memilih KH Ahmad Siddiq sebagai Rais Am Syuriah dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Ketua Umum Tanfidziah PBNU. Bahkan Kiai Idham Chalid yang semula tarik ulur antara menerima dan menolak karena pengaruh para politisi di sekelilingnya, akhirnya sam’an wathaatan kepada para kiai.
Sejak itulah sejarah NU berubah 180 derajat. NU yang semula dikendalikan para politisi berubah menjadi gerakan sosial keagamaan di bawah kendali para kiai. Bahkan Gus Dur kemudian menggerakkan NU ke dalam gerakan civil society yang mengarah kapada pembedayaan warga NU di akar rumput. Sementara di kalangan elit NU bisa menyelamarkan keutuhan nasional lewat penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam bernegara. Praktis NKRI dan Pancasila aman dan menjadi perekat bangsa. Karena itu banyak pihak menganggap NU sebagai penyeimbang dan penyelamat Negara Republik Indoensia.
Nah, dari proses sejarah NU yang sangat dramatis itu tampak sekali peran Mbah Muchith sangat besar di balik peran besar para kiai besar NU. (bersambung)
Baca Juga: Satu Abad Nahdlatul Ulama, Eri Cahyadi Ingin Surabaya jadi Tuan Rumah Muktamar NU ke-35
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News