BANGKALAN, BANGSAONLINE.com - Prof Dr KH Malik Madani selain mengungkap beberapa pelanggaran Muktamar NU ke-33 di alun-alun Jombang, juga mengkritisi tulisan KH Ma’ruf Amin berjudul Khitah Islam Nusantara yang dimuat Kompas pada 29 Agsutus 2015. (Baca juga: Napak Tilas Pendirian NU, yang Semula Menolak AHWA, Jadi Paling Aktif Kampanye AHWA)
Kiai Malik Madani mengapresiasi langkah Ma’ruf Amin yang begitu diangkat sebagai Rais Am langsung menulis di Kompas dengan title Rais Am, meski ia sejatinya bukan penulis. ”Tapi begitu menulis langsung salah,” kata Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta itu dalam acara Napak Tilas pendirian NU di musalla peninggalan Syaikhona Kholil bin Abdul Latif di Pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan Madura Jawa Timur.
Baca Juga: Mitos Khittah NU dan Logika Kekuasaan
Ia mencontohkan beberapa istilah berbahasa Arab yang diterjemahkan Ma’ruf Amin ke dalam bahasa Indonesia. ”Dalam tulisan itu jamiah oleh Kiai Ma’ruf Amin diterjemahkan organisasi. Itu salah. Jamiah artinya universitas. Kalau bahasa Arabnya organisasi itu jam’iyah,” kata Kiai Malik Madani.
Begitu juga susunan bahasa Arab yang dikutip Ma’ruf Amin banyak yang salah dari segi gramatika Arab maupun pemaknaan. Ia mencontohkan istilah yang dikutip Ma’ruf Amin Aljumud Almanqulat. ”Gak ada aljumud almanqulat itu. Yang ada Aljumud alal Manqulat,” kata Malik Madani yang dikenal alim kitab kuning. Dan masih banyak lagi istilah-istilah bahasa Arab lainnya yang tak pas penerjemahannya dalam bahasa Indonesia.
Menurut Kiai Malik Madani, Ma’ruf Amin dalam tulisannya itu tidak hanya salah menerjemahkan bahasa Arab tapi juga salah secara konseptual dalam memahami Ahlussunnah Wal Jamaah dan Islam Nusantara. ”Apa yang ditulis Kiai Ma’ruf Amin itu justru mempersempit Ahlusssunnah Wal Jamaah,” katanya.
Baca Juga: Kembangkan Kewirausahaan di Lingkungan NU, Kementerian BUMN Teken MoU dengan PBNU
Menurut dia, penganut Ahlussunnah Wal Jamaah itu tidak hanya umat Islam yang bernaung dalam organisasi NU, tapi juga yang bernaung dalam organisasi lain seperti al-Washliyah, PERTI dan sebagainya. ”Al-Washliyah itu banyak sekali di daerah Kiai Syaikh Ali Akbar Marbun ini,” kata Kiai Malik Madani sambil memegang lutut Kiai Syaikh Ali Akbar Marbun yang duduk berdampingan di jajaran para kiai.
Kiai Syaikh Ali Akbar Marbun adalah pengasuh Pondok Pesantren Al-Kautsar Al-Akbar Medan Sumatera Utara yang namanya dimasukkan sebagai Mustasyar PBNU nomor 1 oleh Said Aqil Siraj, tapi mengaku tak pernah dihubungi atau diberi tahu. ”Bahkan PERTI itu dulu pernah memasang spanduk bertuliskan PERTI bermadzhab Imam Syafii,” kata Kiai Malik Madani. ”Jadi PERTI itu berani menyatakan bermadzhab Syafi’i,” katanya.
Kiai Malik Madani berharap tulisan Ma’ruf Amin itu tidak dibaca oleh orang non NU yang pintar ilmu agama. Karena kalau dibaca orang luar NU yang paham ilmu agama niscaya warga NU jadi malu. ”Semoga tulisan itu hanya dibaca oleh orang-orang yang tak mengerti bahasa Arab. Karena kalau dibaca orang non NU yang mengerti bahasa Arab gimana,” katanya.
Baca Juga: Konflik Baru Cak Imin, Istri Said Aqil Mundur dari PKB, Akibat Khianat saat Muktamar NU?
Meski demikian, Malik Madani masih husnuddzan (baik sangka) terhadap Ma’ruf Amin. ”Bisa jadi itu karena kesalahan ketik atau salah orang yang mengetik,” katanya. Cuma kalau salah ketik, kenapa kesalahan terjemahan itu banyak sekali.
Namun bisa jadi tulisan itu bukan karya Ma’ruf Amin, melainkan karya orang lain tapi atas nama Ma’ruf Amin. Kalau dugaan terakhir ini benar maka sangat fatal secara intelektual bagi Ma’ruf Amin. Ma’ruf Amin bisa dituduh melakukan kebohongan publik karena memanipulasi karya orang lain diatasnamakan karyanya sendiri, meski penulisnya sengaja menulis untuk Ma’ruf Amin.
Namun harus diakui fenomena menulis “atas nama” orang lain ini belakangan kian marak. Di Jawa Timur banyak sekali politisi - seperti anggota legislatif, tokoh ormas dan tokoh lain menulis di media massa, tapi sebenarnya tulisan itu bukan karyanya sendiri. Mereka hanya “atas nama” seolah-olah hasil karyanya sendiri. Tujuannya cuma satu, yaitu: gagah-gagahan, seolah-olah dia punya kapasitas intelektual dan punya keterampilan menulis di media massa.
Baca Juga: Emil Dardak Dukung Muktamar NU ke-35 di Surabaya
Dengan demikian dia berharap ada penghargaan publik, prestise, legitimasi, meski faktanya yang ia dapat justru sebaliknya. Sebab umumnya masyarakat sudah tahu karakter penulis, apakah ia seorang penulis beneran atau sekedar “numpang” dan “nampang” nama di media massa.
Ironisnya, si pembuat tulisan kadang dengan bangga bercerita bahwa tulisan ketua parpol atau anggota legislatif tertentu itu adalah hasil karyanya, tapi atas nama mereka. (habis)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News