Oleh: Dr. KH. Ahmad Musta'in Syafi'ie
Rubrik Tafsir Al-Quran Aktual ini diasuh oleh pakar tafsir Dr. KH. A. Musta'in Syafi'i, Mudir Madrasatul Qur'an Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Kiai Musta'in selain dikenal sebagai mufassir mumpuni juga Ulama Hafidz (hafal al-Quran 30 juz). Kiai yang selalu berpenampilan santai ini juga Ketua Dewan Masyayikh Pesantren Tebuireng.
Baca Juga: Elemen Masyarakat Jatim Dukung Putusan MK soal Netralitas ASN dan Polisi dalam Pilkada 2024
Tafsir ini ditulis secara khusus untuk pembaca HARIAN BANGSA, surat kabar yang berkantor pusat di Jl Cipta Menanggal I nomor 35 Surabaya. Tafsir ini terbit tiap hari, kecuali Ahad. Kali ini Kiai Musta’in menafsiri Surat Al-Anbiya': 41-43. Selamat mengaji serial tafsir yang banyak diminati pembaca.
78. Wadaawuuda wasulaymaana idz yahkumaani fii alhartsi idz nafasyat fiihi ghanamu alqawmi wakunnaa lihukmihim syaahidiina
(Ingatlah) Daud dan Sulaiman ketika mereka memberikan keputusan mengenai ladang yang dirusak pada malam hari oleh kambing-kambing milik kaumnya. Kami menyaksikan keputusan (yang diberikan) oleh mereka itu.
Baca Juga: Pascaputusan MK, PDIP Gresik Minta Bawaslu Tindak Pejabat dan TNI-Polri Tak Netral di Pilkada 2024
79. Fafahhamnaahaa sulaymaana wakullan aataynaa hukman wa’ilman wasakhkharnaa ma’a daawuuda aljibaala yusabbihna waalththhayra wakunnaa faa’iliina
Lalu, Kami memberi pemahaman kepada Sulaiman (tentang keputusan yang lebih tepat). Kepada masing-masing (Daud dan Sulaiman) Kami memberi hikmah dan ilmu. Kami menundukkan gunung-gunung dan burung-burung untuk bertasbih bersama Daud. Kamilah yang melakukannya.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
TAFSIR AKTUAL:
"Wa Dawud wa Sulaiman idz yahkuman...". Ayat kaji ini mengunggah dua sosok hakim, Daud A.S. dan Sulaiman A.S. yang diapresiasi Tuhan. Meski keputusannya berbeda, tapi kedua keputusan tersebut sama-sama berdasar wahyu. Maka pasti benarnya.
Bila saja dipakai salah satunya, maka hasilnya tetap benar dan tidak menyalahi syari’ah. Tidak sama dengan keputusan hakim sekarang, mungkin saja karena tekanan atau tendensi duniawi.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Itulah sebabnya, maka Rasulullah SAW jauh-jauh telah mewanti-wanti sekaligus memberi gambaran mengerikan, bahwa hakim itu ada tiga. Yang dua di neraka dan satu di surga.
"Al-qudlah tsalatsah. Itsnan fi al-nar wa wahid fi al-jannah".
Diramalkan dua pertiga dari para hakim itu kelak bakal masuk neraka. Artinya, mayoritas mereka tidak jujur dan mengambil keputusan yang tidak sesuai aturan.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Tentu saja, sepertiga hakim yang masuk surga di atas adalah hakim yang jujur dan memutus perkara berdasar kebenaran. Hakim yang tidak bisa dipengaruhi oleh siapa pun dan apa pun.
Membaca tesis ini, sejatinya orang yang menjadi hakim itu sudah membaca bahwa 70 persen nasib di akhiratnya kelak lebih berpotensi masuk neraka. Tetapi terpujilah sebagai hakim yang jujur. Surganya bagus nanti di sono. Bisa ketemu Nabi Daud, Nabi Sulaiman. Semoga.
Dialah al-Imam Ali ibn Abi Thalib, sang khalifah keempat yang berperkara dengan seorang Yahudi soal baju perang. Hakimnya adalah Syuraih, seorang hakim super jujur dari kalangan Tabi’in qurun awal.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Qadli Syuraikh meminta agar sang khalifah menunjukkan bukti atau menghadirkan saksi, bahwa si Yahudi adalah malingnya.
Akan tetapi sang khalifah tidak bisa membuktikan maupun menghadirkan saksi sesuai permintaan sang hakim.
"Saksinya adalah anak saya sendiri, Hasan," ujar Ali ibn Abi Thalib.
Baca Juga: Lantik PAW PPK Candi, Ketua KPU Sidoarjo Tekankan Bekerja Profesional
Qadli Syuraikh menolak: "Saksi keluarga tidak bisa diterima, wahai khalifah".
Khalifah Ali sedikit bersuara tinggi: "Apakah kamu menolak dia, sementara kakeknya (Rasulullah SAW) telah menobatkannya sebagai pemimpin paguyuban remaja surga nanti".
Tapi, Rasulullah SAW juga memberi panduan tegas, bahwa saksi keluarga tidak diterima di pengadilan. "Dan ini pengadilan, ini tanggung jawab saya....".
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Sang khalifah diam dan menyerah, lalu keputusan dimenangkan untuk pihak yahudi. Sidang perkara perdata, pidana, selesai. Mereka bergegas meninggalkan ruang persidangan.
Di tengah jalan, si Yahudi terheran-heran melihat kejujuran sekaligus ketegasan qadli Syuraih. Hakim super jujur dan tidak takut risiko apa-apa.
Meski dirinya Yahudi, meski dirinya yang salah dan memang yang maling, tapi karena fakta persidangan dan syariahnya begitu, maka dia tetap dimenangkan.
Hal yang tidak pernah dia lihat di kalangannya, di masyarakat Yahudi sendiri.
Termenung sejenak, lalu si Yahudi tersebut memutuskan untuk menyerahkan baju perang yang dicuri dari lawannya, Khalifah Ali ibn Abi Thalib dengan sadar setelah menyaksikan kehebatan hakim Syuraih. Lalu bersyahadah di depan sang khalifah.
Kejujuran membuka kesadaran wong kafir menjadi tercerahkan dan menjadi muslim.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News