Oleh: Khariri Makmun*
Situasi Suriah setelah tergulingnya Bashar al-Assad menggambarkan potret tragis sebuah negara yang pernah menjadi simbol kemandirian ekonomi, sosial, dan politik di Timur Tengah. Dahulu, Suriah berdiri kokoh dengan ekonomi mandiri, layanan kesehatan dan pendidikan gratis, serta tingkat melek huruf yang terus meningkat. Suriah adalah contoh bagaimana negara dapat membangun sistem yang berdaulat tanpa tunduk pada kepentingan asing. Namun, semua itu kini hanya tinggal kenangan.
Baca Juga: Muhibah Khofifah di Irak: Napak Tilas Kota Kelahiran Ibrahim di Babilonia
Revolusi yang berujung pada konflik berkepanjangan dan intervensi asing mengubah Suriah menjadi medan perang geopolitik. Alih-alih menciptakan masa depan yang lebih baik, perubahan rezim diprediksi akan membawa keterpurukan yang memprihatinkan. Suriah kini menghadapi kerusakan infrastruktur masif, disintegrasi sosial, dan eksploitasi ekonomi oleh kekuatan asing.
Pada masa sebelum konflik, Suriah berhasil menjaga stabilitas ekonomi dengan kebijakan moneter yang independen dan tidak memiliki utang luar negeri. Kemandirian finansial ini membuat Suriah mampu mengelola sumber daya alamnya—minyak, gas, gandum, dan kapas—untuk kepentingan rakyat. Model ini menjadi ancaman bagi kepentingan negara-negara Barat yang bergantung pada hegemoni finansial untuk mengontrol kawasan.
Namun, pasca tergulingnya Assad, peta ekonomi Suriah berubah drastis. Rezim baru di Damaskus membuka pintu bagi ekonomi pasar bebas, yang dalam praktiknya menjadi tiket masuk bagi investor asing untuk mengambil alih kontrol atas kebijakan ekonomi negara. Kebijakan ini justru memperparah ketergantungan Suriah pada kekuatan eksternal, melemahkan kedaulatan, dan mempercepat degradasi sosial.
Baca Juga: Sarat Nilai Keimanan, Khofifah Ajak Teladani Sifat Zuhud Abu Wahb Bahlul bin An as Shairofi Al Kufi
Keputusan Amerika Serikat untuk menghapus Hayat Tahrir al-Sham (HTS), cabang Al-Qaeda di Suriah, dari daftar teroris menjadi salah satu indikasi kuat permainan geopolitik yang sedang berlangsung. Dengan dalih stabilisasi keamanan, langkah ini membuka ruang bagi aktor non-negara untuk beroperasi lebih bebas di wilayah Suriah, yang berkontribusi pada fragmentasi kekuasaan di negara tersebut.
Sementara itu, eksploitasi sumber daya alam Suriah oleh kekuatan asing juga semakin menjadi-jadi. Gas Suriah, yang seharusnya menjadi aset strategis bagi pembangunan nasional, kini menjadi rebutan. Pola ini serupa dengan yang terjadi di Gaza dan Lebanon, di mana kekayaan gas dicuri untuk menggantikan pasokan gas dari Iran dan Rusia yang disanksi oleh Barat.
Mengulang Tragedi Irak dan Libya
Baca Juga: Khofifah Petik Keteladanan Tokoh Sufi Imam Ma’ruf Al-Karkhi soal Kesantunan dan Cinta Pencipta
Nasib Suriah tak ubahnya cerminan dari apa yang telah terjadi di Irak dan Libya. Sebelum intervensi NATO, kedua negara tersebut memiliki tingkat kemandirian yang tinggi. Irak, misalnya, memiliki cadangan minyak besar yang memungkinkan negara itu membiayai pembangunan tanpa utang luar negeri. Demikian pula dengan Libya di bawah Muammar Qaddafi, yang menjadikan kekayaan minyaknya sebagai dasar untuk menciptakan program kesejahteraan sosial yang meluas.
Irak di bawah Saddam Hussein pernah menjadi salah satu negara paling stabil di kawasan Timur Tengah. Namun, invasi Amerika Serikat pada 2003 dengan dalih keberadaan senjata pemusnah massal (yang kemudian terbukti tidak ada) menghancurkan struktur negara. Pemerintahan Saddam yang otoriter digantikan oleh kekacauan yang berlangsung hingga kini.
Setelah jatuhnya rezim Saddam, Irak kehilangan kendali atas sumber daya minyaknya yang kini dikuasai oleh perusahaan multinasional. Lebih buruk lagi, invasi tersebut memicu konflik sektarian yang tajam, menciptakan vakum kekuasaan yang kemudian dimanfaatkan oleh kelompok ekstremis seperti ISIS. Rakyat Irak, yang dahulu menikmati stabilitas ekonomi, kini menghadapi pengangguran, kemiskinan, dan krisis kemanusiaan yang parah.
Baca Juga: Menjelajah Perpustakaan Al Qadiriyah, Perpusatakaan Tertua dan Terbesar di Baghdad Irak
Libya sebelum intervensi NATO pada 2011 merupakan salah satu negara terkaya di Afrika, dengan pendapatan per kapita yang tinggi dan program kesejahteraan sosial yang luas. Di bawah Muammar Qaddafi, Libya menerapkan kebijakan yang menekankan distribusi kekayaan minyak untuk kesejahteraan rakyat, termasuk pendidikan gratis, layanan kesehatan, dan subsidi perumahan.
Namun, intervensi militer NATO, yang didorong oleh revolusi Arab Spring, menggulingkan Qaddafi dan menciptakan kekosongan kekuasaan yang segera diisi oleh berbagai faksi bersenjata. Hasilnya adalah disintegrasi politik dan sosial yang membuat Libya menjadi negara gagal. Hingga saat ini, Libya terpecah menjadi beberapa wilayah yang dikuasai oleh kelompok-kelompok milisi yang saling bersaing, sementara rakyatnya menderita dalam kemiskinan dan ketidakamanan.
Suriah kini mengikuti pola yang sama, di mana kejatuhan rezim hanya membawa kehancuran tanpa prospek pemulihan jangka panjang.
Baca Juga: Di Baghdad, Khofifah Belajar Kedermawanan dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani
Di dunia yang semakin bergantung pada sistem perbankan global, utang menjadi instrumen kontrol yang efektif. Negara-negara seperti Amerika Serikat memiliki utang besar yang terus meningkat, namun tetap memegang kendali atas kebijakan moneter global melalui dominasi dolar. Sebaliknya, negara-negara seperti Suriah yang tidak memiliki utang dianggap sebagai ancaman karena mereka dapat menentukan kebijakan ekonomi tanpa campur tangan asing.
Kemandirian finansial ini memungkinkan Suriah menjaga identitas budaya dan politiknya. Namun, ini juga yang menjadikannya target bagi kekuatan asing, termasuk Amerika Serikat dan Israel, yang memandang sistem perbankan independen Suriah sebagai hambatan terhadap agenda geopolitik mereka.
Dengan kerusakan yang begitu luas, baik fisik maupun sosial, masa depan Suriah terlihat suram. Reformasi ekonomi yang dijanjikan rezim baru tidak menunjukkan hasil yang signifikan, sementara rakyat terus menderita di bawah beban kemiskinan, pengangguran, dan krisis kemanusiaan. Dalam dua tahun ke depan, rakyat Suriah mungkin akan mengenang masa lalu di bawah Bashar al-Assad sebagai masa yang lebih stabil, meski penuh kontroversi.
Baca Juga: Khofifah Terbang ke Baghdad Irak, Ziarah ke Makam Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Namun, apa yang terjadi di Suriah bukan hanya tentang kegagalan sebuah negara. Ini adalah refleksi dari dinamika global di mana kedaulatan nasional semakin terkikis oleh kekuatan ekonomi dan militer internasional. Suriah adalah korban dari sistem yang lebih besar, di mana negara-negara kecil dipaksa tunduk pada aturan permainan yang ditetapkan oleh kekuatan besar.
Suriah, Irak, dan Libya adalah contoh bagaimana intervensi asing, dengan dalih demokratisasi, sering kali hanya membawa kehancuran. Dunia perlu belajar dari kegagalan ini dan menata ulang pendekatan terhadap konflik dan pembangunan. Kemandirian suatu negara seharusnya dihormati, bukan dihancurkan.
Dalam konteks ini, penting bagi komunitas internasional untuk tidak hanya fokus pada pemulihan Suriah secara fisik, tetapi juga membangun kembali kedaulatannya. Ini mencakup penghormatan terhadap identitas budaya, hak untuk mengelola sumber daya alam, dan kebebasan dari campur tangan asing.
Baca Juga: Temui Pengusaha di Vietnam, Jokowi Ajak untuk Berinvestasi di IKN
Tanpa perubahan mendasar dalam tatanan global, tragedi seperti yang dialami Suriah akan terus berulang. Dan pada akhirnya, rakyat biasa yang akan menanggung akibatnya—menderita dalam lingkaran kemiskinan, ketidakadilan, dan kehilangan harapan akan masa depan yang lebih baik.
Penutup
Suriah, seperti Irak dan Libya, adalah pelajaran pahit tentang pentingnya kedaulatan nasional di tengah dinamika geopolitik global. Ketiga negara ini menunjukkan bahwa tanpa kedaulatan, stabilitas dan kesejahteraan hanyalah mimpi. Namun, tragedi ini juga mengingatkan kita bahwa harapan akan masa depan yang lebih baik hanya dapat diwujudkan jika kedaulatan dihormati, baik oleh kekuatan global maupun oleh rakyatnya sendiri.
Baca Juga: Jaksa Khusus Kasus Dugaan Korupsi Anak Presiden
Dunia kini berada di persimpangan jalan: melanjutkan pola destruktif yang telah ada, atau menciptakan tatanan baru yang lebih adil dan menghormati hak setiap negara untuk menentukan nasibnya sendiri. Suriah, Irak, dan Libya berhak mendapatkan yang lebih baik. Begitu pula dengan seluruh dunia.
Tantangan ke depan adalah bagaimana mencegah tragedi serupa terjadi di tempat lain, sambil membantu Suriah bangkit kembali. Namun, ini hanya mungkin jika ada perubahan paradigma global yang menghormati hak setiap negara untuk menentukan nasibnya sendiri. Tanpa itu, dunia hanya akan terus menyaksikan lingkaran kehancuran yang tak berkesudahan.
*Penulis adalah Direktur Moderation Corner, Jakarta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News