100 Hari Kekuasaan Prabowo-Gibran: PDB Seret 'Besar Pasak Daripada Tiang'

100 Hari Kekuasaan Prabowo-Gibran: PDB Seret

BANGSAONLINE.com - Pemerintahan Presiden Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka genap memasuki pada 28 Januari 2025. 

Sejumlah program dan kebijakan yang dijalankan menjadi sorotan publik publik.

Baca Juga: Dari hasil Survei, 46,9 Persen Anggap Program Makan Bergizi Gratis Berpotensi Dikorupsi

Ekonom Center of Reform on Economic (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, mengambil pucuk kepemimpinannya dengan mengerjakan pekerjaan rumah yang diwariskan dari pemerintahan sebelumnya.

Misalnya saja dari aspek penerimaan negara, di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo belum mampu mendorong penerimaan pajak lebih tinggi dalam konteks rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB).

“Di saat yang bersamaan pertambahan belanja negara itu kerap kali mengalami pertumbuhan yang relatif lebih tinggi sehingga upaya untuk menjaga defisit anggaran terutama berada pada target yang disusun oleh pemerintah itu menjadi tidak mudah,” ujar Yusuf melansir Kontan, Senin (27/1/2024).

Warisan utang jatuh tempo

Baca Juga: Gerindra Sebut PDIP Dukung Pemerintahan Prabowo Subianto

Disamping itu, juga menerima warisan dari pemerintahan sebelumnya yakni pembayaran utang jatuh tempo utang dalam 5 tahun ke depan.

Melihat kondisi tersebut, Yusuf menilai, tidak mudah bagi untuk menjalankan kebijakan janji kampanyenya yang membutuhkan anggaran jumbo, mengingat ruang fiskal terbatas.

Di satu sisi, Yusuf juga melihat terdapat inkonsistensi terutama dari visi kebijakan fiskal yang disampaikan di awal pemerintahan presiden , yang menyatakan akan lebih efisien dalam mengelola .

Baca Juga: Dukung Ketahanan Pangan, Polsek Ngrambe Pantau Pemanfaatan Pekarangan Rumah untuk Pertanian

Namun, tidak lama setelah itu pemerintah justru melakukan hal yang sifatnya inefisiensi terutama dalam konteks menambah jumlah kementerian/lembaga (K/L)

“Sehingga tentu penambahan ini akan menambah beban belanja yang sebelumnya sebenarnya sudah cukup besar terutama dalam konteks belanja yang berkaitan dengan K/L,” ungkapnya.

Lebih lanjut, untuk menjaga ruang fiskal, Yusuf menyarankan pemerintah perlu melakukan konsolidasi terutama dengan otoritas moneter untuk melakukan simulasi apabila terjadi perubahan anggaran, serta perekonomian bisa berjalan dengan optimal.

Baca Juga: Jokowi Panik Dengarkan Pidato Mega? Ini Kata Bang Nalar

Ia mencontohkan, apabila pemerintah menjalankan kebijakan defisit anggaran yang lebih tinggi, maka rencana tersebut harus dikomunikasikan dengan otoritas moneter untuk dilakukan simulasi stress, apakah rencana kebijakan tersebut akan mempengaruhi aspek moneter terutama dalam hal ini inflasi.

Ruang fiskal sempit

Disamping itu, dengan menyempitnya ruang fiskal, pemerintah juga disarankan untuk mencari opsi ekstensifikasi pajak. Misalnya melalui pajak karbon atau misalnya pajak orang kaya, yang bisa dijadikan sebagai alat mitigasi dalam potensi menyempitnya ruang fiskal.

Meski begitu, Yusuf menambahkan, pada tahap awal pemerintah tampaknya masih akan mengandalkan utang baru untuk menjalankan kebijakannya.

Baca Juga: Rencana Dihadiri Prabowo, Kongres XVIII Muslimat NU Bakal Luncurkan 2 Program Nasional dari Nganjuk

“Tentu rencana penerbitan utang juga bisa ikut melibatkan berbagai skenario terutama di dalamnya misalnya mendorong penggunaan pinjaman luar negeri terutama untuk program tertentu,” tambahnya.

Selain itu, pemerintah juga bisa melakukan penghematan belanja untuk menjaga ruang fiskal tetap prudent, namun dengan syarat, penghematan anggaran tidak boleh mengorbankan stimulus perekonomian baik di level pemerintah pusat maupun di level pemerintah daerah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO