Tafsir Al-Anbiya' 100-103: Al-Faza' Al-Akbar

Tafsir Al-Anbiya Dr. KH. A. Musta'in Syafi'i.

Lalu, para ulama berbeda pendapat soal maksud “al-faza’ al-akbar” pada ayat kaji ini. Kebanyakan berkisar pada huru-hara dan kedahsyatan hari kiamat dan segala kondisi yang terkait dengan hari mengerikan itu. Termasuk hari kebangkitan dari kubur, digiring di padang makhsyar, dihadapkan di pintu neraka dan sebagainya.

Ibn Juraij memilih, kobaran api neraka yang diterpakan ke wajah orang-orang durhaka dan mereka tidak akan mati, hanya pedih berkepanjangan. Ya, sebab pada hari itu, namanya “kematian” telah disembelih dan tidak ada.

Jadi, di akhirat itu manusia hanya hidup saja dan tidak akan mengalami kematian. Untungnya mereka yang di surga, enak terus. Celakanya yang di neraka, pedih terus.

Mengenai “al-faza’ al-akbar” ini, Rasulullah SAW bersabda: Ada tiga orang yang aman-aman saja dari al-faza’ al-akbar di hari kiamat nanti. Bahkan dia nampil glowing dan harumnya bukan main. Yaitu:

Pertama, “Rajul amma qauma muhtasiba wa hum lah radlun”. orang yang menjadi pemimpin di masyarakat, di suatu bangsa secara ikhlas dan rakyat suka banget kepadanya. Kebijakannya sangat bermaslahah dan kesejahteraan ummat menggembirakan.

Kebalikannya, jika ada pemimpin tidak seperti ini, ya bakal parah dihantam al-faza’ al-akbar di akhirat nanti, pasti.

Kedua, “Rajul azzan li qaum muhtasiba”. Juru azan yang ikhlas. Termasuk orang memimpin ibadah dan keberagamaan, memberi nasihat dan aktif, mengajar, menyelenggarakan pendidikan secara tulus dan tidak money oriented.

Baik pada item pertama maupun kedua tertera kata “muhtasiba” (untuk Allah semata). Itu artinya aktivis agama, ibadah, pendidikan, tersebut melakukannya dengan ikhlas dan tidak memanfaatkan pendidikan sebagai lahan bisnis dan ditransaksikan, dikomersilkan, dan diperdagangkan.

Bahwa benar, memungut bayaran, honor, itu boleh dan halal hukumnya. Tapi kalau sampai mematok tarif untuk sebuah ceramah, – misalnya – rasanya kurang etis. Sebab, jika ceramah dan tarif difikihkan secara detail, malah susah. Kalau tarif (harga, honor) sebagai tsaman, maka musyahadah, jelas besarannya dan ini yang sah.

Tetapi kalau materi ceramahnya yang berperan sebagai al-mabi’, sungguh susah didefinitifkan. Seperti apa bobotnya? Ilmiahnya? Waktunya? dsb. Justru ini yang ghair musyahadah dan ini yang bermasalah.

Bisa dibayangkan ketika sudah membayar mahal, tapi cemarahnya tidak bermutu, tidak sesuai harapan pembelinya. Pada kasus seperti ini, halalkah upah itu?

Ketiga, orang yang diuji duniawi, tetapi tidak mempengaruhi ketaatannya kepada Allah SWT. Diuji miskin dan kekurangan, tetap saja beribadah secara tekun seperti biasanya. Begitu pula diuji dengan harta melimpah, sama saja, dan tak berubah sedikit pun ketekunan beribadahnya.

Beda lagi dengan Abu Said al-Khudry ketika mengelaborasi al-faza’ al-akbar. Abu Salamah ibn Abd al-Rahman melihat seorang majikan menghajar budaknya karena ada sesuatu dan budak itu meminta tolong. Abu Salamah menasihati si majikan yang kemudian budak tersebut dimaafkan.

Kasus itu dikabarkan kepada Abu Sa’id al-Khudry dan dia berkomentar: “Hai keponakanku, barang siapa yang menolong orang kesusahan nan tertindas, maka Tuhan akan membebaskannya dari api neraka pada hari al-faza’ al-akbar nanti”.